Pages

Rabu, 19 Juni 2013

sebenarnya apa itu ilmu mantiq?

Definisi dan Urgensi Mantiq
Mantiq adalah alat atau dasar yang penggunaannya akan menjaga kesalahan dalam berpikir.

Lebih jelasnya, Mantiq adalah sebuah ilmu yang membahas tentang alat dan formula berpikir, sehingga seseorang yang menggunakannya akan selamat dari cara berpikir salah. Manusia sebagai makhluk yang berpikir tidak akan lepas dari berpikir. Namun, saat berpikir, manusia seringkali dipengaruhi oleh berbagai tendensi, emosi, subyektifitas dan lainnya sehingga ia tidak dapat berpikir jernih, logis dan obyektif. Mantiq merupakan upaya agar seseorang dapat berpikir dengan cara yang benar, tidak keliru.

Sebelum kita pelajari masalah-masalah mantiq, ada baiknya kita mengetahui apa yang dimaksud dengan "berpikir".

Berpikir adalah proses pengungkapan sesuatu yang misteri (majhul atau belum diketahui) dengan mengolah pengetahuan-pengetahuan yang telah ada dalam benak kita (dzihn) sehingga yang majhul itu menjadi ma'lûm (diketahui).

Faktor-Faktor Kesalahan Berpikir 1. Hal-hal yang dijadikan dasar (premis) tidak benar. 2. Susunan atau form yang menyusun premis tidak sesuai dengan kaidah mantiq yang benar.

Argumentasi (proses berpikir) dalam alam pikiran manusia bagaikan sebuah bangunan. Suatu bangunan akan terbentuk sempurna jika tersusun dari bahan-bahan dan konstruksi bangunan yang sesuai dengan teori-teori yang benar. Apabila salah satu dari dua unsur itu tidak terpenuhi, maka bangunan tersebut tidak akan terbentuk dengan baik dan sempurna. Sebagai misal, "[1] Socrates adalah manusia; dan [2] setiap manusia bertindak zalim; maka [3] Socrates bertindak zalim". Argumentasi semacam ini benar dari segi susunan dan formnya. Tetapi, salah satu premisnya salah yaitu premis yang berbunyi "Setiap manusia bertindak zalim", maka konklusinya tidak tepat. Atau misal, "[1] Socrates adalah manusia; dan [2] Socrates adalah seorang ilmuwan", maka "[3] manusia adalah ilmuwan". Dua premis ini benar tetapi susunan atau formnya tidak benar, maka konklusinya tidak benar. (Dalam pembahasan qiyas nanti akan dijelaskan susunan argumentasi yang benar, pen).

Ilmu dan Idrak
Dua kata di atas, Ilmu dan Idrak, mempunyai makna yang sama (sinonim). Dalam ilmu mantiq, kedua kata ini menjadi bahasan yang paling penting karena membahas aspek terpenting dalam pikiran manusia, yakni ilmu. Oleh karena itu, makna ilmu sendiri perlu diperjelas. Para ahli mantiq (mantiqiyyin) mendefinisikan ilmu sebagai berikut:

Ilmu adalah gambaran tentang sesuatu yang ada dalam benak (akal). Benak atau pikiran kita tidak lepas dari dua kondisi yang kontradiktif, yaitu ilmu dan jahil (ketidak tahuan). Pada saat keluar rumah, kita menyaksikan sebuah bangunan yang megah dan indah, dan pada saat yang sama pula tertanam dalam benak gambaran bangunan itu. Kondisi ini disebut "ilmu". Sebaliknya, sebelum menyaksikan bangunan tersebut, dalam benak kita tidak ada gambaran itu. Kondisi ini disebut "jahil".

Pada kondisi ilmu, benak atau akal kita terkadang hanya [1] menghimpun gambaran dari sesuatu saja (bangunan, dalam misal). Terkadang kita tidak hanya menghimpun tetapi juga [2] memberikan penilaian atau hukum (judgement). (Misalnya, bangunan itu indah dan megah). Kondisi ilmu yang pertama disebut tashawwur dan yang kedua disebut tashdiq. Jadi tashawwur hanya gambaran akan sesuatu dalam benak. Sedangkan tashdiq adalah penilaian atau penetapan dengan dua ketetapan: "ya" atau "tidak/bukan". Misalnya, "air itu dingin", atau "air itu tidak dingin"; "manusia itu berakal", atau "manusia itu bukan binatang" dan lain sebagainya.

Kesimpulan, ilmu dibagi menjadi dua; tashawwuri dan tashdiqi.

Dharuri dan Nadzari
Ilmu tashawwuri dan ilmu tashdiqi mempunyai dua macam: dharuri dan nadzari. Dharuri adalah ilmu yang tidak membutuhkan pemikiran lagi (aksiomatis). Nadzari adalah ilmu yang membutuhkan pemikiran.

Lebih jelasnya, dharuri (sering juga disebut badihi) adalah ilmu dan pengetahuan yang dengan sendirinya bisa diketahui tanpa membutuhkan pengetahuan dan perantaraan ilmu yang lain. Jadi Ilmu tashawwuri dharuri adalah gambaran dalam benak yang dipahami tanpa sebuah proses pemikiran. Contoh: 2 x 2 = 4; 15 x 15 = 225 atau berkumpulnya dua hal yang kontradiktif adalah mustahil (tidak mungkin terjadi) adalah hal yang dharuri. Sedangkan nadzari dapat diketahui melalui sebuah proses pemikiran atau melalui pengetahuan yang sudah diketahui sebelumnya. (Lihat kembali definisi berpikir). Jadi ilmu tashawwuri nadzari adalah gambaran yang ada dalam benak yang dipahami melalui proses pemikiran. Contoh: bumi itu bulat adalah hal yang nadzari.

Kulli dan Juz'i
Pembahasan tentang kulli (general) dan juz'i (parsial) secara esensial sangat erat kaitannya dengan tashawwur dan juga secara aksidental berkaitan dengan tashdiq.

Kulli adalah tashawwur (gambaran benak) yang dapat diterapkan (berlaku) pada beberapa benda di luar. Misalnya: gambaran tentang manusia dapat diterapkan (berlaku) pada banyak orang; Budi, Novel, Yani dan lainnya.

Juz'i adalah tashawwur yang dapat diterapkan (berlaku) hanya pada satu benda saja.

Misalnya: gambaran tentang Budi hanya untuk seorang yang bernama Budi saja. Manusia dalam berkomunikasi tentang kehidupan sehari-hari menggunakan tashawwur-thasawwur yang juz'i. Misalnya: Saya kemarin ke Jakarta; Adik saya sudah mulai masuk sekolah; Bapak saya sudah pensiun dan sebagainya. Namun, yang dipakai oleh manusia dalam kajian-kajian keilmuan adalah tashawwur-thasawwur kulli, yang sifatnya universal. Seperti: 2 x 2 = 4; Orang yang beriman adalah orang bertanggung jawab atas segala perbuatannya; Setiap akibat pasti mempunyai sebab dan lain sebagainya. Dalam ilmu mantiq kita akan sering menggunakan kulli (gambaran-gambaran yang universal), dan jarang bersangkutan dengan juz'i.

Nisab Arba'ah
Dalam benak kita terdapat banyak tashawwur yang bersifat kulli dan setiap yang kulli mempunyai realita (afrad) lebih dari satu. (Lihat definisi kulli ). Kemudian antara tashawwur kulli yang satu dengan yang lain mempunyai hubungan (relasi). Ahli mantiq menyebut bentuk hubungan itu sebagai "Nisab Arba'ah". Mereka menyebutkan bahwa ada empat kategori relasi: [1] Tabâyun (diferensi), [2] Tasâwi (ekuivalensi), [3] Umum wa khusus Mutlaq (implikasi) dan [4] Umum wa Khusus Minwajhin (asosiasi).

Tabâyunadalah dua tashawwur kulli yang masing-masing dari keduanya tidak bisa diterapkan pada seluruh afrad tashawwur kulli yang lain. Dengan kata lain, afrad kulli yang satu tidak mungkin sama dan bersatu dengan afrad kulli yang lain. Misal: tashawwur manusia dan tashawwur batu. Kedua tashawwur ini sangatlah berbeda dan afradnya tidak mungkin sama. Setiap manusia pasti bukan batu dan setiap batu pasti bukan manusia.
Tasâwi adalah dua tashawwur kulli yang keduanya bisa diterapkan pada seluruh afrad kulli yang lain. Misal: tashawwur manusia dan tashawwurt berpikir. Artinya setiap manusia dapat berpikir dan setiap yang berpikir adalah manusia.
Umum wa khusus mutlak adalah dua tashawwur kulli yang satu dapat diterapkan pada seluruh afrad kulli yang lain dan tidak sebaliknya. Misal: tashawwur hewan dan tashawwur manusia. Setiap manusia adalah hewan dan tidak setiap hewan adalah manusia. Afrad tashawwur hewan lebih umum dan lebih luas sehingga mencakup semua afrad tashawwur manusia.
Umum wa khusus min wajhin adalah dua tashawwur kulli yang masing-masing dari keduanya dapat diterapkan pada sebagian afrad kulli yang lain dan sebagian lagi tidak bisa diterapkan. Misal: tashawwur manusia dan tashawwur putih. Kedua tashawwur kulli ini bersatu pada seorang manusia yang putih, tetapi terkadang keduanya berpisah seperti pada orang yang hitam dan pada kapur tulis yang putih.
Hudud dan Ta'rifat
Kita sepakat bahwa masih banyak hal yang belum kita ketahui (majhul). Dan sesuai dengan fitrah, kita selalu ingin dan mencari tahu tentang hal-hal yang masih majhul.

Pertemuan lalu telah dibahas bahwa manusia memiliki ilmu dan pengetahuan (ma'lûm), baik tashawwuri ataupun tashdiqi. Majhul (jahil) sebagai anonim dari ma'lûm (ilmu), juga terbagi menjadi dua majhul tashawwuri dan majhul tashdiqi. Untuk mengetahui hal-hal majhul tashawwuri, kita membutuhkan ma'lûm tashaswwuri. (Lihat definisi berpikir. Pencarian majhul tashawwur dinamakan "had" atau "ta'rif".

Had/ta'rif adalah sebuah jawaban dan keterangan yang didahului pertanyaan "Apa?".

Saat menghadapi sesuatu yang belum kita ketahui (majhul), kita akan segara bertanya "apa itu?". Artinya, kita bertanya tentang esensi dan hakikat sesuatu itu. Jawaban dan keterangan yang diberikan adalah had (definisi) dari sesuatu itu.

Oleh karena itu, dalam disiplin ilmu, mendefinisikan suatu materi yang akan dibahas penting sekali sebelum membahas lebih lanjut masalah-masalah yang berkaitan dengannya. Perdebatan tentang sesuatu materi akan menjadi sia-sia kalau definisinya belum jelas dan disepakati. Ilmu mantiq bertugas menunjukkan cara membuat had atau definisi yang benar.

Macam-Macam Definisi (Ta'rif)
Setiap definisi bergantung pada kulli yang digunakan. Ada lima kulli yang digunakan untuk mendefinisikan majhul tashawwuri (biasa disebut "kulliyat khamsah"). Lima kulli itu adalah: [1] Nau' (spesies), [2] jins (genius), [3] fashl (diferentia), [4] 'aradh 'aam (common accidens) dan [5] 'aradh khas (proper accidens). Pembahasan tentang kulliyat khamsah ini secara detail termasuk pembahasan filsafat, bukan pembahasan mantiq.

Had Tâm, adalah definisi yang menggunakan jins dan fashl untuk menjelaskan bagian-bagian dari esensi yang majhul. Misal: Apakah manusia itu? Jawabannya adalah "Hewan yang berpikir (natiq)". "Hewan" adalah jins manusia, dan "berpikir" adalah fashl manusia. Keduanya merupakan bagian dari esensi manusia.
Had Nâqish, adalah definisi yang menggunakan jins saja. Misal: "Manusia adalah hewan". Hewan adalah salah satu dari esensi manusia.
Rasam Tâm, adalah definisi yang mengunakan 'ardh khas. Misal: "Manusia adalah wujud yang berjalan, tegak lurus dan dapat tertawa". "Maujud yang berjalan", "tegak lurus" dan "tertawa" bukan bagian dari esensi manusia, tetapi hanya bagian yang eksiden.
Rasam Nâqish, adalah definisi yang menggunakan 'ardh 'âm, misalnya, "Manusia adalah wujud yang berjalan".
Qadhiyyah (Proposisi)
Sebagaimana yang telah kita ketahui, tashdiqi adalah penilaian dan penghukuman atas sesuatu dengan sesuatu yang lain (seperti: gunung itu indah; manusia itu bukan kera dan lain sebagainya). Atas dasar itu, tashdiq berkaitan dengan dua hal: maudhu' dan mahmul ("gunung" sebagai maudhu' dan "indah" sebagai mahmul). Gabungan dari dua sesuatu itu disebut qadhiyyah (proposisi).

Macam-macam Qadhiyyah
Setiap qadhiyyah terdiri dari tiga unsur: 1) mawdhu', 2) mahmul dan 3) rabithah (hubungan antara mawdhu' dan mahmul). Berdasarkan masing-masing unsur itu, qadhiyyah dibagi menjadi beberapa bagian.

Berdasarkan rabithah-nya, qadhiyyah dibagi menjadi dua: hamliyyah (proposisi kategoris) dan syarthiyyah (proposisi hipotesis).

Qadhiyyah hamliyyah adalah qadhiyyah yang terdiri dari mawdhu', mahmul dan rabithah.

Lebih jelasnya, ketika kita membayangkan sesuatu, lalu kita menilai atau menetapkan atasnya sesuatu yang lain, maka sesuatu yang pertama disebut mawdhu' dan sesuatu yang kedua dinamakan mahmul dan yang menyatukan antara keduanya adalah rabithah. Misalnya: "gunung itu indah". "Gunung" adalah mawdhu', "indah" adalah mahmul dan "itu" adalah rabithah (Qadhiyyah hamliyyah, proposisi kategorik)

Terkadang kita menafikan mahmul dari mawdhu'. Misalnya, "gunung itu tidak indah". Yang pertama disebut qadhiyyah hamliyyah mujabah (afirmatif) dan yang kedua disebut qadhiyyah hamliyyah salibah (negatif).

Qadhiyyah syarthiyyah terbentuk dari dua qadhiyyah hamliyah yang dihubungkan dengan huruf syarat seperti, "jika" dan "setiap kali".

Contoh: jika Tuhan itu banyak, maka bumi akan hancur. "Tuhan itu banyak" adalah qadhiyyah hamliyah; demikian pula "bumi akan hancur" sebuah qadhiyyah hamliyah. Kemudian keduanya dihubungkan dengan kata "jika". Qadhiyyah yang pertama (dalam contoh, Tuhan itu banyak) disebut muqaddam dan qadhiyyah yang kedua (dalam contoh, bumi akan hancur) disebut tali.

Qadhiyyah syarthiyyah dibagi menjadi dua: muttasilah dan munfasilah. Qadhiyyah syarthiyyah yang menggabungkan antara dua qadhiyyah seperti contoh di atas disebut muttasilah, yang maksudnya bahwa adanya "keseiringan" dan "kebersamaan" antara dua qadhiyyah. Tetapi qadhiyyah syarthiyyah yang menunjukkan adanya perbedaan dan keterpisahan antara dua qadhiyyah disebut munfasilah, seperti, Bila angka itu genap, maka ia bukan ganjil. Antara angka genap dan angka ganjil tidak mungkin kumpul.

Qadhiyyah Mahshurah dan Muhmalah
Pembagian qadhiyyah berdasarkan mawdhu'-nya dibagi menjadi dua: mahshurah dan muhmalah. Mahshurah adalah qadhiyyah yang afrad (realita) mawdhu'-nya ditentukan jumlahnya (kuantitasnya) dengan menggunakan kata "semua" dan "setiap" atau "sebagian" dan "tidak semua". Contohnya, semua manusia akan mati atau sebagian manusia pintar. Sedangkan dalam muhmalah jumlah afrad mawdhu'-nya tidak ditentukan. Contohnya, manusia akan mati, atau manusia itu pintar.

Dalam ilmu mantiq, filsafat, eksakta dan ilmu pengetahuan lainnya, qadhiyyah yang dipakai adalah qadhiyyah mahshurah.

Qadhiyyah mahshurah terkadang kulliyah (proposisi determinatif general) dan terkadang juz'iyyah (proposisi determinatif partikular) dan qadhiyyah sendiri ada yang mujabah (afirmatif) dan ada yang salibah (negatif) . Maka qadhiyyah mahshurah mempunyai empat macam:

Mujabah kulliyyah: Setiap manusia adalah hewan
Salibah kulliyyah: Tidak satupun manusia yang berupa batu.
Mujabah juz'iyyah: Sebagian manusia pintar
Salibah juz'iyyah: Sebagian manusia bukan laki-laki.
Sebenarnya masih banyak lagi pembagian qadhiyyah baik berdasarkan mahmul-nya (qadhiyyah muhassalah dan mu'addlah), atau jihat qadhiyyah (dharuriyyah, daimah dan mumkinah) dan qadhiyyah syarthiyyah muttasilah (haqiqiyyah, maani'atul jama' dan maani'atul khulw). Namun qadhiyyah yang paling banyak dibahas dalam ilmu filsafat, mantiq dan lainnya adalah qadhiyyah mahshurah.

Hukum-Hukum Qadhiyyah
Setelah kita ketahui definisi dan pembagian qadhiyyah, maka pembahasan berikutnya adalah hubungan antara masing-masing dari empat qadhiyyah mahshurah. Pada pembahasan terdahulu telah kita ketahui bahwa terdapat empat macam hubungan antara empat tashawwuri kulli: [1] tabâyun, [2] tasâwi, [3] umum wa khusus mutlak dan [4] umum wa khusus min wajhin. Demikian pula terdapat empat macam hubungan antara masing-masing empat qadhiyyah mahshurah: [1] tanaqudh, [2] tadhadd, [3] dukhul tahta tadhadd dan [4] tadakhul.

Tanaqudh (mutanaqidhain [kontradiktif]) adalah dua qadhiyyah yang mawdhu' dan mahmul-nya sama, tetapi kuantitas (kam) dan kualitasnya (kaif) berbeda, yakni yang satu kulliyah mujabah dan yang lainnya juz'iyyah salibah. Misalnya, "Semua manusia hewan" (kulliyyah mujabah) dengan "Sebagian manusia bukan hewan" (juz'iyyah salibah).
Tadhad (kontrariatif) adalah dua qadhiyah yang sama kuantitasnya (keduanya kulliyyah), tetapi yang satu mujabah dan yang lain salibah. Misalnya, "Semua manusia dapat berpikir" (kulliyyah mujabah) dengan "Tidak satupun dari manusia dapat berpikir" (kulliyyah salibah).
Dukhul tahta tadhad (dakhilatain tahta tadhad [interferensif sub-kontrariatif]) adalah dua qadhiyyah yang sama kuantitasnya (keduanya juz'iyyah), tetapi yang satu mujabah dan lain salibah. Misalnya: "Sebagian manusia pintar" (juz'iyyah mujabah) dengan "Sebagian manusia tidak pintar" (juz'iyyah salibah).
Tadakhul (mutadakhilatain [interferensif]) adalah dua qadhiyyah yang sama kualitasnya tetapi kuantitasnya berbeda. Misalnya: "Semua manusia akan mati" (kulliyyah mujabah) dengan "Sebagian manusia akan mati" (juz'iyyah mujabah) atau "Tidak satupun dari manusia akan kekal" (kulliyyah salibah) dengan "Sebagian manusia tidak kekal" (juz'iyyah salibah). Dua qadhiyyah ini disebut pula
Hukum dua qadhiyyah mutanaqidhain (kontradiktif) jika salah satu dari dua qadhiyyah itu benar, maka yang lainnya pasti salah. Demikian pula jika yang satu salah, maka yang lainnya benar. Artinya tidak mungkin (mustahil) keduanya benar atau keduanya salah. Dua qadhiyyah biasa dikenal dengan ijtima' al naqidhain mustahil (kombinasi kontradiktif).

Hukum dua qadhiyyah mutadhaddain (kontrariatif), jika salah satu dari dua qadhiyyah itu benar, maka yang lain pasti salah. Tetapi, jika salah satu salah, maka yang lain belum tentu benar. Artinya keduanya tidak mungkin benar, tetapi keduanya mungkin salah.

Hukum dua qadhiyyah dakhlatain tahta tadhad (interferensif sub-kontrariatif), jika salah satu dari dua qadhiyyah itu salah, maka yang lain pasti benar. Tetapi, jika yang satu benar, maka yang lain belum tentu salah. Dengan kata lain, kedua qadhiyyah itu tidak mungkin salah, tetapi mungkin saja keduanya benar.

Hukum dua qadhiyyah mutadakhilatain (interferentif), berbeda dengan masalah tashawwuri. (Lihat pembahasan tentang nisab arba'ah, pen); bahwa tashawwur kulli (misalnya, manusia) lebih umum dari tashawwur juz'i (misalnya, Ali). Di sini, qadhiyyah kulliyyah lebih khusus dari qadhiyyah juz'iyyah. Artinya, jika qadhiyyah kulliyyah benar, maka qadhiyyah juz'iyyah pasti benar.

Tetapi, jika qadhiyyah juz'iyyah benar, maka qadhiyyah kulliyyah belum tentu benar. Misalnya, jika "setiap A adalah B" (qadhiyyah kulliyyah), maka pasti "sebagian A pasti B". Tetapi jika "sebagian A adalah B", maka belum pasti "setiap A adalah B".

Tanaqudh
Salah satu hukum qadhiyyah yang menjadi dasar semua pembahasan mantiq dan filsafat adalah hukum tanaqudh (hukum kontradiksi). Para ahli mantiq dan filsafat menyebutkan bahwa selain mawdhu' dan mahmul dua qadhiyyah mutanaqidhain itu harus sama, juga ada beberapa kesamaan dalam kedua qadhiyyah tersebut. Kesamaan itu terletak pada:

Kesamaan tempat (makan)
Kesamaan waktu (zaman)
Kesamaan kondisi (syart)
Kesamaan korelasi (idhafah)
Kesamaan pada sebagian atau keseluruhan (juz dan kull )
Kesamaan dalam potensi dan aktual (bil quwwah dan bil fi'li). Qiyas (silogisme)
Pembahasan tentang qadhiyyah sebenarnya pendahuluan dari masalah qiyas, sebagaimana pembahasan tentang tashawwur sebagai pendahuluan dari hudud atau ta'rifat. Dan sebenarnya inti pembahasan mantiq adalah hudud dan qiyas.

Qiyas adalah kumpulan dari beberapa qadhiyyah yang berkaitan yang jika benar, maka dengan sendirinya (li dzatihi) akan menghasilkan qadhiyyah yang lain (baru).

Sebelum kita lebih lnjut membahas tentang qiyas, ada baiknya kita secara sekilas beberapa macam hujjah (argumentasi ). Manusia disaat ingin mengetahui hal-hal yang majhul, maka terdapat tiga cara untuk mengetahuinya:

Pengetahuan dari juz'i ke juz'i yang lain. Argumenatsi ini sifatnya horisontal, dari sebuah titik yang parsial ke titik parsial lainnya. Argumentasi ini disebut tamtsil (analogi).
Pengetahuan dari juz'i ke kulli. Atau dengan kata lain, dari khusus ke umum (menggeneralisasi yang parsial) Argumentasi ini bersifat vertikal, dan disebut istiqra' (induksi).
Pengetahuan dari kulli ke juz'i. Atau dengan kata lain, dari umum ke khusus. Argumentasi ini disebut qiyas (silogisme)
Macam-macam Qiyas
Qiyas dibagi menjadi dua; iqtirani (silogisme kategoris) dan istitsna'i (silogisme hipotesis). Sesuai dengan definisi qiyas di atas, satu qadhiyyah atau beberapa qadhiyyah yang tidak dikaitkan antara satu dengan yang lain tidak akan menghasilkan qadhiyyah baru. Jadi untuk memberikan hasil (konklusi) diperlukan beberapa qadhiyyah yang saling berkaitan. Dan itulah yang namanya qiyas.

1. Qiyas Iqtirani
Qiyas iqtirani adalah qiyas yang mawdhu' dan mahmul natijahnya berada secara terpisah pada dua muqaddimah. Contoh: "Kunci itu besi" dan "setiap besi akan memuai jika dipanaskan", maka "kunci itu akan memuai jika dipanaskan". Qiyas ini terdiri dari tiga qadhiyyah; [1] Kunci itu besi, [2] setiap besi akan memuai jika dipanaskan dan [3] kunci itu akan memuai jika dipanaskan. Qadhiyyah pertama disebut muqaddimah shugra (premis minor), qadhiyyah kedua disebut muqaddimah kubra (premis mayor) dan yang ketiga adalah natijah (konklusi).

Natijah merupakan gabungan dari mawdhu' dan mahmul yang sudah tercantum pada dua muqaddimah, yakni, "kunci" (mawdhu') dan "akan memuai jika dipanaskan" (mahmul). Sedangkan "besi" sebagai had awshat.

Yang paling berperan dalam qiyas adalah penghubung antara mawdhu' muqadimah shugra dengan mahmul muqaddimah kubra. Penghubung itu disebut had awsath. Had awsath harus berada pada kedua muqaddimah (shugra dan kubra) tetapi tidak tecantum dalam natijah. (Lihat contoh, pen).

Empat Bentuk Qiyas Iqtirani
Qiyas iqtirani kalau dilihat dari letak kedudukan had awsath-nya pada muqaddimah shugra dan kubra mempunyai empat bentuk :

1. Syakl Awwal adalah Qiyas yang had awsth-nya menjadi mahmul pada muqaddimah shugra dan menjadi mawdhu' pada muqaddimah kubra. Misalnya, "Setiap Nabi itu makshum", dan "setiap orang makshum adalah teladan yang baik", maka "setiap nabi adalah teladan yang baik". "Makshum" adalah had awsath, yang menjadi mahmul pada muqaddimah shugra dan menjadi mawdhu' pada muqaddimah kubra.

Syarat-syarat syakl awwal.

Syakl awwal akan menghasilkan natijah yang badihi (jelas dan pasti) jika memenuhi dua syarat berikut ini:

a. Muqaddimah shugra harus mujabah.
b. Muqaddimah kubra harus kulliyah.
2. Syakl Kedua adalah Qiyas yang had awshat-nya menjadi mahmul pada kedua muqaddimah-nya. Misalnya, "Setiap nabi makshum", dan "tidak satupun pendosa itu makshum", maka "tidak satupun dari nabi itu pendosa".

Syarat-syarat syakl kedua.

a. Kedua muqaddimah harus berbeda dalam kualitasnya (kaif, yakni mujabah dan salibah).
b. Muqaddimah kubra harus kulliyyah.
3. Syakl Ketiga adalah Qiyas yang had awshat-nya menjadi mawdhu' pada kedua muqaddimahnya. Misalnya, "Setiap nabi makshum", dan "sebagian nabi adalah imam", maka "sebagian orang makshum adalah imam".

Syarat-syarat Syakl ketiga.

a. Muqaddimah sughra harus mujabah.
b. Salah satu dari kedua muqaddimah harus kulliyyah.
4. Syakal Keempat adalah Qiyas yang had awsath-nya menjadi mawdhu' pada muqaddimah shugra dan menjadi mahmul pada muqaddimah kubra (kebalikan dari syakl awwal.)

Syarat-syarat Syakl keempat.

a. Kedua muqaddimahnya harus mujabah.
b. Muqaddimah shugra harus kulliyyah. Atau
c. Kedua muqaddimahnya harus berbeda kualitasnya (kaif)
d. Salah satu dari keduanya harus kulliyyah.
Catatan: Menurut para mantiqiyyin, bentuk qiyas iqtirani yang badihi (jelas sekali) adalah yang pertama sedangkan yang kedua dan ketiga membutuhkan pemikiran. Adapun yang keempat sangat sulit diterima oleh pikiran. Oleh karena itu Aristoteles sebagai penyusun mantiq yang pertama tidak mencantumkan bentuk yang keempat.

Qiyas Istitsna'i
Berbeda dengan qiyas iqtirani, qiyas ini terbentuk dari qadhiyyah syarthiyyah dan qadhiyyah hamliyyah. Misalnya, "Jika Muhammad itu utusan Allah, maka dia mempunyai mukjizat. Oleh karena dia mempunyai mukjizat, berarti dia utusan Allah". Penjelasannya: "Jika Muhammad itu utusan Allah, maka dia mempunyai mukjizat" adalah qadhiyyah syarthiyyah yang terdiri dari muqaddam dan tali (lihat definisi qadhiyyah syarthiyyah), dan "Dia mempunyai mukjizat" adalah qadhiyyah hamliyyah. Sedangkan "maka dia mempunyai mukjizat" adalah natijah. Dinamakan istitsna'i karena terdapat kata " tetapi", atau "oleh karena". Macam-Macam Qiyas istitsna'i (silogisme) Ada empat macam qiyas istitsna'i: Muqaddam positif dan tali positif. Misalnya, "Jika Muhammad utusan Allah, maka dia mempunyai mukjizat. Tetapi Muhammad mempunyai mukjizat berarti Dia utusan Allah". Muqaddam negatif dan tali positif. Misalnya, "Jika Tuhan itu tidak satu, maka bumi ini akan hancur. Tetapi bumi tidak hancur, berarti Tuhan satu (tidak tidak satu)". Tali negatif dan muqaddam negatif. Misalnya, "Jika Muhammad bukan nabi, maka dia tidak mempunyai mukjizat. Tetapi dia mempunyai mukjizat, berarti dia Nabi (bukan bukan nabi)". Tali negatif dan muqaddam positif. Misalnya, "Jika Fir'aun itu Tuhan, maka dia tidak akan binasa. Tetapi dia binasa, berarti dia bukan Tuhan".

(Makalah Ust. Husein Al-Kaff dalam Kuliah Logika "Pengantar Menuju Filsafat Islam"
)





Senin, 17 Juni 2013

The Issue of Equality in Marriage (Kafa'ah)


A.  ABSTRAK
Banyak hal yang dapat menjadi dasar terjadinya pernikahan. Cinta, sayang, ingin, perlu, mampu, adalah beberapa hal yang kerap alas an utama dua insane melangsungkan pernikahan.
Pernikahan merupakan sebuah kebutuhan manusia yang harus dipenuhi, karena hal itu merupakan kebutuhan biologis dan psikologis yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Kasarnya, pernikahan merupakan runtutan dari hasrat seksualitas yang dimiliki manusia (eros).
Namun, terlepas dari berbagai alasan tersebut, islam menganjurkan beberapa syarat yang hendaknya dapat dipenuhi sebelum seseorang menjalani sebuah pernikahan. Bukan syarat adanya wali dan perangkat pernikahan lainnya, akan tetapi syarat kafa’ah atau kecocokan dan kesesuaian antara kedua insan yang berkasih dan juga keluarga.
Mengapa demikian, pada awalnya keduan insan ini adalah individu yang berbeda, kemudian ingin untuk disatukan dengan tatacara yang benar menurut syariat islam. Nah, kalimat ‘individu yang berbeda’ inilah yang kemudian menjadi disyaratkan adanya kafa’ah dalam sebuah pernikahan. Agar kelak terdapat kesesuaian, keseimbangan dan kesinambungan antara dua insan yang akan mengarungi kehidupan berdua.

B.     DEFINISI
Kafa’ah menurut bahasa berarti kesamaan atau kesetaraan. Dalam perkawinan, yang dimaksud dengan kufu’ yaitu laki-laki sebanding dengan calon istrinya, sama kedudukan, sebanding dalam tingkat sosial dan sederajat dalam akhlaq, kekayaan dan keturunannya.
Secara definitif memang yang di tujukan dalam kafa’ah adalah kesesuaian seorang lelaki terhadap calon istrinya, lelaki yang memiliki hak untuk memilih. Sepertihalnya dalam madzhab Hanafi dikatakan bahwa kafa’ah hanya dipersyaratkan atas laki-laki, dan tidak atas wanita. Jadi seorang laki-laki boleh menikah dengan wanita manapun yang ia sukai, meskipun budak atau pelayan. Akan tetapi dalam implementasinya, hal ini juga berlaku kebalikan. Seorang perempuan juga dapat memilih orang yang ‘sesuai’ dengan dirinya. Dalam kedudukan, akhlaq dan hal-hal lain dalam kesetaraan.
Secara sekilas mungkin hal ini menjadikan seolah-olah seseorang ‘terlalu idealis’ atau pilih-pilih. Memang benar itu pilih-pilih, tetapi bukan terlalu idealis. Karena, seseorang memilih pendamping hidup bukan hal yang dilakukan untuk waktu sekejap saja, melainkan dilakukan untuk sepanjang hidupnya, sehingga memilah dan memilih harus dilakukan terlebih dahulu agar tidak didapatkan penyesalan dikemudian hari.
Pengertian dari kafa'ah (biasanya diucapkan kufu/sekufu) menurut bahasa adalah setara dan seimbang, sedangkan menurut syari'at kafa'ah adalah suatu perkara yang ketiadaannya akan menimbulkan celaan. Sedangkan pakem/dhobid dari kafa'ah adalah kesetaraan antara seorang suami dengan istrinya dalam kesempurnaan dan kerendahannya selain dalam hal terbebasnya seseorang dari aib-aib nikah.

Menurut madzhab Syafi'i dan mayoritas ulama' Kafa'ah atau kesetaraan derajat antara seorang lelaki dan seorang perempuan yang akan menikah hukumnya wajib. Dalil disyari'atkannya kafa'ah dalam pernikahan adalah hadits ;

تَخَيَّرُوا لِنُطَفِكُمْ، وَانْكِحُوا الْأَكْفَاءَ، وَأَنْكِحُوا إِلَيْهِمْ 

"Pilihlah (tempat) untuk mani kalian, dan nikahilah orang-orang yang sepadan, dan nikahkanlah (wanita) dengan orang-orang yang sepadan." (Sunan Ibnu Majah, no.1968, Mustadrok Lil-hakim, no.2687, Sunan Daruqutni, no.3788 dan Sunan Kubro Lil-Baihaqi, no.13758)

Tujuan disyari'atkannya kafa'ah adalah untuk menghindari celaan yang terjadi apabila pernikahan dilangsungkan antara sepasang pengantin yang tidak sekufu (sederajat) dan juga demi kelanggengan kehidupan pernikahan, sebab apabila kehidupan sepasang suami istri sebelumnya tidak jauh berbeda tentunya tidak terlalu sulit untuk saling menyesuaikan diri dan lebih menjamin keberlangsungan kehidupan rumah tangga.

Namun kafa'ah bukanlah termasuk syarat sahnya suatu pernikahan, dalam arti akad nikah tetap sah meskipun kedua mempelai tidak sekufu apabila memang ridho, sebab  kafa'ah adalah hak yang diberikan kepada seorang wanita dan walinya, dan mereka diperbolehkan menggugurkan hak itu dengan melangsungkan suatu pernikahan antara pasangan yang tidak sekufu, apabila wanita tersebut dan walinya ridho/setuju.

Dalil sahnya suatu pernikahan yang tidak sekufu adalah hadits yang mengisahkan tentang pernikahan antara Fatimah binti Qois dan Usamah, padahal Fatimah binti Qois adalah wanita merdeka dan keturunan dari suku Quraisy sedangkan Usamah adalah seorang budak. Imam Muslim rohimahulloh meriwayatkan ;

عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ قَيْسٍ، أَنَّ أَبَا عَمْرِو بْنَ حَفْصٍ طَلَّقَهَا الْبَتَّةَ، وَهُوَ غَائِبٌ، فَأَرْسَلَ إِلَيْهَا وَكِيلُهُ بِشَعِيرٍ، فَسَخِطَتْهُ، فَقَالَ: وَاللهِ مَا لَكِ عَلَيْنَا مِنْ شَيْءٍ، فَجَاءَتْ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَذَكَرَتْ ذَلِكَ لَهُ، فَقَالَ: «لَيْسَ لَكِ عَلَيْهِ نَفَقَةٌ»، فَأَمَرَهَا أَنْ تَعْتَدَّ فِي بَيْتِ أُمِّ شَرِيكٍ، ثُمَّ قَالَ: «تِلْكِ امْرَأَةٌ يَغْشَاهَا أَصْحَابِي، اعْتَدِّي عِنْدَ ابْنِ أُمِّ مَكْتُومٍ، فَإِنَّهُ رَجُلٌ أَعْمَى تَضَعِينَ ثِيَابَكِ، فَإِذَا حَلَلْتِ فَآذِنِينِي»، قَالَتْ: فَلَمَّا حَلَلْتُ ذَكَرْتُ لَهُ أَنَّ مُعَاوِيَةَ بْنَ أَبِي سُفْيَانَ، وَأَبَا جَهْمٍ خَطَبَانِي، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَمَّا أَبُو جَهْمٍ، فَلَا يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتِقِهِ، وَأَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوكٌ لَا مَالَ لَهُ، انْكِحِي أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ» فَكَرِهْتُهُ، ثُمَّ قَالَ: «انْكِحِي أُسَامَةَ»، فَنَكَحْتُهُ، فَجَعَلَ اللهُ فِيهِ خَيْرًا، وَاغْتَبَطْتُ بِهِ

" Dari Abu Salamah bin Abdurrahman dari Fathimah binti Qais bahwa Abu Amru bin Hafsh telah menceraikannya dengan talak tiga, sedangkan dia jauh darinya, lantas dia mengutus seorang wakil kepadanya (Fathimah) dengan membawa gandum, (Fathimah) pun menolaknya. Maka (Wakil 'Amru) berkata; Demi Allah, kami tidak punya kewajiban apa-apa lagi terhadapmu. Karena itu, Fathimah menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam untuk menanyakan hal itu kepada beliau, beliau bersabda: "Memang, dia tidak wajib lagi memberikan nafkah." Sesudah itu, beliau menyuruhnya untuk menghabiskan masa iddahnya di rumah Ummu Syarik. Tetapi kemudian beliau bersabda: "Dia adalah wanita yang sering dikunjungi oleh para sahabatku, oleh karena itu, tunggulah masa iddahmu di rumah Ibnu Ummi Maktum, sebab dia adalah laki-laki yang buta, kamu bebas menaruh pakaianmu di sana, jika kamu telah halal (selesai masa iddah), beritahukanlah kepadaku." Dia (Fathimah) berkata; Setelah masa iddahku selesai, kuberitahukan hal itu kepada beliau bahwa Mu'awiyah bin Abi Sufyan dan Abu Al Jahm telah melamarku, lantas Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Abu Jahm adalah orang yang tidak pernah meninggalkan tongkatnya dari lehernya (suka memukul -pent), sedangkan Mu'awiyah adalah orang yang miskin, tidak memiliki harta, karena itu nikahlah dengan Usamah bin Zaid." Namun saya tidak menyukainya, beliau tetap bersabda: "Nikahlah dengan Usamah." Lalu saya menikah dengan Usamah, Allah telah memberikan limpahan kebaikan padanya hingga bahagia." (Shohih Muslim, no.1480).

Pertimbangan kafa'ah yang dimaksud dalam hal ini adalah dari pihak laki-laki, dan bukan dari pihak perempuan, maksudnya seorang wanita itu yang mempertimbangkan  apakah lelaki yang akan menikah dengannya sekufu atau tidak, sedangkan apabila derajat seorang wanita dibawah seorang lelaki itu tidaklah menjadi masalah. Sebab semua dalil yang ada itu mengarah pada pihak lelaki dan sebagaimana diketahui semua wanita yang dinikahi Nabi shollallohu 'alaihi wasallam derajatnya dibawah beliau, karena tak ada yang sederajat dengan beliau, hal ini bisa dilihat dari beragam latar belakang istri-istri Nabi. Selain itukemuliaan seorang anak itu pada umumnya dinisbatkan pada ayahnya, jadi jika seorang lelaki yang berkedudukan tinggi menikah dengan wanita biasa itu bukanlah suatu aib.

Rosululloh shollallohu 'alaihi wasallam bersabda :

 ثَلاَثَةٌ يُؤْتَوْنَ أَجْرَهُمْ مَرَّتَيْنِ: الرَّجُلُ تَكُونُ لَهُ الأَمَةُ، فَيُعَلِّمُهَا فَيُحْسِنُ تَعْلِيمَهَا، وَيُؤَدِّبُهَا فَيُحْسِنُ أَدَبَهَا، ثُمَّ يُعْتِقُهَا فَيَتَزَوَّجُهَا فَلَهُ أَجْرَانِ

"Ada tiga macam orang yang akan memperoleh pahala 2 kali ; seorang laki-laki yang memiliki budak perempuan, kemudian ia mengajarinya dengan baik dan mendidik akhlaknya dengan baik lalu ia memerdekakannya dan menikahinya, maka ia mendapat 2 pahala.. (Shohih Bukhori, no.3011 dan Shohih Muslim, no.154)

Sedangkan hal-hal yang menjadi pertimbangan dalam kafa'ah (hisholul kafa'ah) itu ada 6; yaitu agama, iffah (menjauhkan diri dari dosa), nasab,merdeka (bukan budak),  pekerjaannya tidak rendahan dan terbebas dari aib-aib nikah, sebagian ulama' menyatakan ada 5, dengan menggabungkan  iffah dan agama

seperti penjelasan dari kitab I'anatut Tholibin, Juz : 3  Hal : 377-378

فصل في الكفاءة أي في بيان خصال الكفاءة المعتبرة في النكاح لدفع العار والضرر. وهي لغة: التساوي والتعادل. واصطلاحا أمر يوجب عدمه عارا. وضابطها مساواة الزوج للزوجة في كمال أو خسة ما عدا السلامة من عيوب النكاح (قوله: وهي) أي الكفاءة. وقوله معتبرة في النكاح لا لصحته: أي غالبا، فلا ينافي أنها قد تعتبر للصحة، كما في التزويج بالاجبار، وعبارة التحفة: وهي معتبرة في النكاح لا لصحته مطلقا بل حيث لا رضا من المرأة وحدها في جب ولا عنة ومع وليها الاقرب فقط فيما عداهما.اه. ومثله في النهاية وقوله بل حيث لا رضا، مقابل قوله لا لصحته مطلقا، فكأنه قيل لا تعتبر للصحة على الاطلاق وإنما تعتبر حيث لا رضا.اه.ع ش. (والحاصل) الكفاءة تعتبر شرط للصحة عند عدم الرضا، وإلا فليست شرطا لها (قوله: بل لانها حق للمرأة) أستفيد منه أن المراعى فيها جانب الزوجة لا الزوج. وقوله والولي: أي واحدا كان أو جماعة مستوين في الدرجة، فلا بد مع رضاها بغير الكف ء من رضا سائر الاولياء به. ولا يكفي رضا أحدهم دون الباقين، كما سيأتي في كلامه، (قوله: فلهما) أي المرأة والولي (قوله: إسقاطها) أي الكفاءة: أي ولو كانت شرطا لصحة العقد مطلقا لما صح حينئذ. والمراد بالسقوط رضاهما بغير الكف ء وذلك لانه (ص) زوج بناته من غير كف ء ولا مكافئ لهن، وأمر فاطمة بنت قيس نكاح أسامة فنكحته وهو مولى وهي قرشية ولو كانت شرطا للصحة مطلقا لما صح ذلك (قوله: ولا يكافئ حرة الخ) شروع في بيان خصال الكفاءة. والذي يؤخذ من كلامه متنا وشرحا أنها ست وهي الحرية والعفة والنسب والدين والسلامة من الحرف الدنيئة والسلامة من العيوب، وبعضهم عدها خمسا وأدرج العفة في الدين

Al Fiqhul Manhaji, Juz : 4  Hal : 44

والكفاءة في الزواج من حق الزوجة وأوليائها، وهي وإن لم تكن شرطا في صحة النكاح، لكن مطلوبة ومقررة دفعا للعار عن الزوجة وأوليائهما، وضمانا لاستقامة الحياة بين الزوجين، وذلك لأن أسلوب حياتهما، ونوع معيشتهما يكونان متقاربين، ومألوفين لهما، فلا يضطر أحدهما لتغيير مألوفة
فللزوجة وأوليائها إسقاط حق الكفاءة، فلو زوجها وليها غير كفء برضاها صح الزواج، لأن الكفاءة حقها وحق الأولياء، فإن رضوا بإسقاطها، فلا اعتراض عليهم. ويشير إلى مراعاة الكفاءة، قول النبي - صلى الله عليه وسلم -: " تخيروا لنطفكم وانكحوا الأكفاء وانكحوا إليهم ". رواه الحاكم (النكاح، باب: تخيروا لنطفكم .. ، رقم: 2/ 163) وصححه

Al Mausu'ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, Juz : 34  Hal : 267

حكم الكفاءة في النكاح
اختلف الفقهاء في الحكم التكليفي لاعتبار الكفاءة في النكاح: فذهب الحنفية والحنابلة إلى أنه يجب اعتبارها فيجب تزويج المرأة من الأكفاء، ويحرم على ولي المرأة تزويجها بغير كفء. وذهبوا إلى أن الكفاءة تعتبر في جانب الرجال للنساء، ولا تعتبر في جانب النساء للرجال؛ لأن النصوص وردت باعتبارها في جانب الرجال خاصة، فإن النبي صلى الله عليه وسلم لا مكافئ له، وقد تزوج من أحياء العرب، وتزوج صفية بنت حيي رضي الله تعالى عنها، وقال: ثلاثة يؤتون أجرهم مرتين الرجل تكون له الأمة فيعلمها فيحسن تعليمها، ويؤدبها فيحسن تأديبها، فيتزوجها، فله أجران ؛ ولأن المعنى الذي شرعت الكفاءة من أجله يوجب اختصاص اعتبارها بجانب الرجال؛ لأن المرأة هي التي تستنكف لا الرجل، فهي المستفرشة، والزوج هو المستفرش، فلا تلحقه الأنفة من قبلها، إذ إن الشريفة تأبى أن تكون فراشا للدني، والزوج المستفرش لا تغيظه دناءة الفراش، وكذلك فإن الولد يشرف بشرف أبيه لا بأمه

Ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan dalam kafa’ah, diantaranya nasab, akhlaq, fisik dan agama. Dari hal-hal tersebut para ahli fiqih masih berselisih pendapat dalam  menjadikan kesemuanya sebagai unsur dari kafa’ah. Namun para ahli fiqih telah bersepakat bahwa agama termasuk dalam kafa’ah.
Secara rasional adalah hal yang wajar dan normal ketika seseorang mencari pendamping yang sesuai dengan dirinya — meskipun tidak dalam segala hal — begitupula dengan keluarganya. Itupun tidak boleh berlebihan sehingga terkesan memaksa. Karena Allah telah menyiapkan pada setiap manusia pasangan masing-masing yang sesuai, jika dia baik maka seseorang yang baik akan menjadi pendampingnya, dan juga sebaliknya.
الْخَبِيثَاتُ لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ ۖ وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ (النور : 26)
Yang perlu diingat, kafa’ah bukan syarat sahnya sebuah pernikahan, akan tetapi kafa’ah perlu menjadi pertimbangan bagi seseorang ketika dia henda melangsungkan pernikahan.

C.    DASAR HUKUM KAFA’AH
Pertimbangan kafaah dalam pernikahan disandarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh nabi berikut ini:
1.      Riwayat dari Ali ibn Abi Thalib ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda kepadanya,
يا علي ثلاثة لاتؤخر الصلاة اذا اتت والجنازة اذا حضرة والايم اذا وجدت كفؤا
“Hai Ali, janganlah engkau mengakhirkan (menunda-nunda) tiga hal : sholat jika telah tiba waktunya, jenazah jika telah hadir (untuk segera diurus dan dikuburkan), dan anak perempuan yang siap menikah jika telah engkau dapatkan yang sekufu dengannya”.
1.      Riwayat dari Aisyah ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda,
تخيروا لنطفكم فأنكحوا الا اكفاء وانكحوا اليهم
“Pilih-pilihlah untuk tempat tumpahnya nuthfah kalian (maksudnya isteri), dan nikahkanlah orang-orang yang sekufu”.
1.      Atsar dari Umar ibn Al-Khaththab ra. Beliau berkata, “Sungguh aku melarang dihalalkannya kemaluan para wanita yang terhormat nasabnya, kecuali dengan orang-orang yang sekufu”. [Fathul Qadiir J II hal. 417]
2.      Hadits yang diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah An-Anshori, bersabda Rasulullah saw:
ألا لايزوج النساء إلا الأولياء ولا يزوجن من غير الأكفاء
“Janganlah engkau menikahi wanita kecuali dengan izin walinya, dan janganlah engkau menikahinya kecuali dengan yang sekufu’.
1.      Hadits yang diriwayatkan oleh al-Hakim, Rasulullah saw bersabda:
تخيروا لنطفكم ولا تضعوها في غير الأكفاء
“Pilihlah wanita sebagai wadah untuk menumpahkan nutfahmu, janganlah letakkan nutfahmu ke (rahim) wanita yang tidak sekufu’.

D.    TUJUAN
Dari beberapa hadits yang menjadi dasar hukum kafa’ah di atas dapat difahami bahwa tujuan utama kafa’ah ketenrtaman dan kelanggengan sebuah rumah tangga. Karena jika rumah tangga didasari dengan kesamaan persepsi, kekesuaian pandangan, dan saling pengertian, maka niscaya rumahtangga itu akan tentram, bahagia dan selalu dinaungi rahmat Allah swt.
Namun sebaliknya, jika rumah tangga sama sekali tidak didasari dengan kecocokan antar pasangan, maka kemelut dan permasalahan yang kelak akan selalu dihadapi.
Kebahagiaan adalah istilah umum yang selalu diidam-idamkan oleh tiap pasangan dalam kehidupan mereka, namun itu semua harus diawali dengan kafa’ah, kesesuaian, kecocokan dan kesinambungan antar pasangan, sehingga segala hal yang dihadapi dapat terselesaikan dengan baik, tanpa dibumbui dengan perbedaan yang besar diantara kedua insan.

E.     KESIMPULAN
Dari definisi, dasar hukum dan tujuan kafa’ah diatas dapat disimpulkan bahwa, segala yang dimaksudkan dengan adanya syariat kafa’ah adalah demi kebaikan bersama dan keutuhan sebuah jalinan pernikahan. Sehingga sudah selayaknya bagi kita untuk melaksanakan syariat tersebut, karena pada dasarnya kita semua sudah melakukannya, akan tetapi kesemuanya mayoritas bukan untuk kafa’ah, akan tetapi demi memenuhi keinginan dan hasrat pribadi.
Setiap orang ingin pendampingnya kelak adalah yang terbaik, sesuai dan cocok dengan dirinya, begitupula dengan keluarganya. Tapi dia tidak boleh lupa, bahwa dalam syariat adakafa’ah yang menjadi tuntunan kita dalam mempersiapkan perjalanan rumah tangga.
Namun kita harus kembali meluruskan niat, bahwa pernikahan juga merupakan ibadah, jika partner kita dalam melakukan ibadah itu adalah orang yang kufu bagi kita, maka insya allah ibadah yang kita jalankan akan senantiasa mendapatkan curahan pahala dari Allah swt.
Akhirnya, semoga pilihan kita adalah pilihan terbaik Allah bagi kita, dan menjadikannya sebagai sarana ibadah kita untuk mendapatkan ridho-Nya. Karena, sebaik-baik usaha adalah usaha yang diiringi do’a dan kemudian tawakkal kepada-Nya.
secara keseluruhan kita bisa mendapat beberapa kesimpulan
1.Pengertian dari kafa'ah adalah kesetaraan antara laki-laki dan wanita untuk mencegah celaan
2.Hukum kafaah adalah wajib
3.Kafa'ah bukanlah syarat akad nikah
4.Hal-hal yang menjadi pertimbangan dalam kafa'ah ada 6; yaitu agama, iffah, nasab,merdeka,  pekerjaannya tidak rendahan dan terbebas dari aib-aib nikah.
Referensi :
1. I'anatut Tholibin, Juz : 3  Hal : 377-378
2. Al Fiqhul Manhaji, Juz : 4  Hal : 44
3. Al Mausu'ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, Juz : 34  Hal : 267

4 . Fathul Qadiir J II hal. 417]

sebuah syair tentang penguatan hati

Al-Imâm asy-Syâfi’i rahimahullâh (wafat: 204-H) bersyair:



دَعِ الأَيَّامَ تَفْعَل مَا تَشَاءُ ** وَطِبْ نَفْساً إذَا حَكَمَ الْقَضَاءُ
“Biarkanlah hari demi hari berbuat sesukanya ** Tegarkan dan lapangkan jiwa tatkala takdir menjatuhkan ketentuan (setelah diawali dengan tekad dan usaha).”

وَلا تَجْزَعْ لِنَازِلَةِ اللَّيَالِـي **  فَمَا لِـحَوَادِثِ الدُّنْيَا بَقَاءُ
“Janganlah engkau terhenyak dengan musibah malam yang terjadi ** Karena musibah di dunia ini tak satu pun yang bertahan abadi (musibah tersebut pasti akan berakhir).”
وكُنْ رَجُلاً عَلَى الْأَهْوَالِ جَلْدًا ** وَشِيْمَتُكَ السَّمَاحَةُ وَالْوَفَاءُ
“(Maka) jadilah engkau lelaki sejati tatkala ketakutan menimpa ** Dengan akhlakmu; kelapangan dada, kesetiaan dan integritas.”
وإنْ كَثُرَتْ عُيُوْبُكَ فِيْ الْبَرَايَا ** وسَرّكَ أَنْ يَكُونَ لَها غِطَاءُ
“Betapapun aibmu bertebaran di mata makhluk ** Dan engkau ingin ada tirai yang menutupinya.”
تَسَتَّرْ بِالسَّخَاء فَكُلُّ عَيْبٍ ** يُغَطِّيْهِ كَمَا قِيْلَ السَّخَاءُ
“Maka tutupilah dengan tirai kedermawanan, karena segenap aib ** Akan tertutupi dengan apa yang disebut orang sebagai kedermawanan.”
وَلَا تُرِ لِلْأَعَادِيْ قَطُّ ذُلًّا ** فَإِنَّ شَمَاتَةَ الْأَعْدَا بَلَاءُ
“Jangan sedikitpun memperlihatkan kehinaan di hadapan musuh (orang-orang kafir) ** Itu akan menjadikan mereka merasa di atas kebenaran disebabkan berjayanya mereka, sungguh itulah malapetaka yang sebenarnya.”
وَلَا تَرْجُ السَّمَاحَةَ مِنْ بَخِيْلٍ ** فَما فِي النَّارِ لِلظْمآنِ مَاءُ
“Jangan pernah kau berharap pemberian dari Si Bakhil ** Karena pada api (Si Bakhil), tidak ada air bagi mereka yang haus.”
وَرِزْقُكَ لَيْسَ يُنْقِصُهُ التَأَنِّي ** وليسَ يزيدُ في الرزقِ العناءُ
“Rizkimu (telah terjamin dalam ketentuan Allâh), tidak akan berkurang hanya karena sifat tenang dan tidak tergesa-gesa (dalam mencarinya) ** Tidak pula rizkimu itu bertambah dengan ambisi dan keletihan dalam bekerja.”
وَلاَ حُزْنٌ يَدُومُ وَلاَ سُرورٌ ** ولاَ بؤسٌ عَلَيْكَ وَلاَ رَخَاءُ
“Tak ada kesedihan yang kekal, tak ada kebahagiaan yang abadi ** Tak ada kesengsaraan yang bertahan selamanya, pun demikian halnya dengan kemakmuran. (Beginilah keadaan hari demi hari, yang seharusnya mampu senantiasa memberikan kita harapan demi harapan dalam kehidupan)”
إذَا مَا كُنْتَ ذَا قَلْبٍ قَنُوْعٍ ** فَأَنْتَ وَمَالِكُ الدُّنْيَا سَوَاءُ
“Manakala sifat Qanâ’ah senantiasa ada pada dirimu ** Maka antara engkau dan raja dunia, sama saja (artinya: orang yang qanâ’ah, senantiasa merasa cukup dengan apa yang diberikan Allâh untuknya, maka sejatinya dia seperti raja bahkan lebih merdeka dari seorang raja)
وَمَنْ نَزَلَتْ بِسَاحَتِهِ الْمَنَايَا ** فلا أرضٌ تقيهِ ولا سماءُ
“Siapapun yang dihampiri oleh janji kematian ** Maka tak ada bumi dan tak ada langit yang bisa melindunginya.”
وَأَرْضُ اللهِ وَاسِعَةً وَلَكِنْ ** إذَا نَزَلَ الْقَضَا ضَاقَ الْفَضَاءُ
“Bumi Allâh itu teramat luas, namun ** Tatakala takdir (kematian) turun (menjemput), maka tempat manapun niscaya kan terasa sempit.”
دَعِ الأَيَّامَ تَغْدرُ كُلَّ حِينٍ ** فَمَا يُغْنِيْ عَنِ الْمَوْتِ الدَّوَاءُ
“Biarkanlah hari demi hari melakukan pengkhianatan setiap saat (artinya: jangan kuatir dengan kezaliman yang menimpamu) ** Toh, (pada akhirnya jika kezaliman tersebut sampai merenggut nyawa, maka ketahuilah bahwa) tak satu pun obat yang bisa menangkal kematian (artinya: mati di atas singgasana sebagai dan mati di atas tanah sebagai orang yang terzalimi, sama-sama tidak ada obat penangkalnya).”
***
Dari kitab Dîwân al-Imâm asy-Syâfi’i hal. 10, Ta’lîq: Muhammad Ibrâhîm Salîm
Diterjemahkan oleh:
“Azh"