Pages

Jumat, 31 Mei 2013

"SEBUAHPEMBERIAN BERMODUS"

Negeri kita rupanya makin ”kesurupan”, terus dihujani persoalan penyalahgunaan wewenang.

Setelah soal korupsi yang terus gencar dan terdesentralisasi, kini muncul ke permukaan soal gratifikasi atau hadiah dalam bentuk layanan seks. Meski ini ”lagu lama”, kemunculannya sontak membuat gemas masyarakat. Bukan rahasia lagi, tindakan korupsi bisa dilakukan dengan berbagai cara. Dalam beberapa penelitian terungkap, banyak kepala daerah menyelewengkan APBD untuk kepentingan pribadi. Selain uang, salah satu modus penyimpangan adalah membayar jasa pemuas seks untuk diberikan kepada oknum tertentu guna melancarkan proyek.

Fakta ini sesungguhnya menyingkap bukan saja diversifikasi korupsi, tetapi juga potret dinamika hukum kita. Di sinilah terdapat blessing in disguise karena terbuka momentum bagi kita semua untuk menilainya. Hal ini mengingat, dalam kasus-kasus seperti itu, selama ini yang lebih ditekankan adalah soal korupsinya, bukan gratifikasi seks yang selama ini tidak digolongkan dalam tindakan korupsi atau suap, kecuali uang yang digunakan dari APBD,.

·           Pengertian Gratifikasi,رشوة rishwah , هدية hadiah
Gratifikasi adalah uang hadiah yang diberikan pada pegawai di luar gaji yang telah ditentukan.
     Suap sendiri dalam makna yang kedua ini tidak ditemukan di dalam kamus bahasa Indonesia, yang ditemukan adalah yang sepadan dengannya yaitu sogok yang diartikan sebagai :  ”dana yang sangat besar yang digunakan untuk menyogok para petugas” Sungguh pengertian yang kurang sempurna, karena apabila pengertiannya seperti ini maka tentunya dana-dana kecil tidak termasuk sebagai kategori sogok atau suap.
     Adapun dalam bahasa arab, gratifikasi dikenal dengan istilah riswah, menurut bahasa riswah berarti upah, hadiah, komisi atau suap. Sedangkan menurut istilah riswah berarti sesuatu yang diberikan dalam rangka mewujudkan kemaslahatan atau sesuatu yang diberikan dalam rangka membenarkan yang batil/salah atau menyalahkan yang benar.
Hadiah diambil dari kata bahasa Arab, dan maknanya adalah pemberian seseorang yang sah memberi pada masa hidupnya, secara kontan tanpa ada syarat dan balasan”. (Lihat Aqrabul Masalik, V/341,342)
Sedangkan Suap (risywah) ialah memberi uang dan sebagainya kepada petugas (pegawai), dengan harapan mendapatkan kemudahan dalam suatu urusan”. (Lihat Mukhtarush Shihah, hlm. 244 dan Qamus Muhith, IV/336)
sedangkan versi pengertian lainnya sebagai berikut:
1). Suap adalah, pemberian yang diharamkan syariat, dan ia termasuk pemasukan yang haram dan kotor. Sedangkan hadiah merupakan pemberian yang dianjurkan syariat, dan ia termasuk pemasukan yang halal bagi seorang muslim.
2). Suap, ketika memberinya tentu dengan syarat yang tidak sesuai dengan syariat, baik syarat tersebut disampaikan secara langsung maupun secara tidak langsung. Sedangkan hadiah, pemberiannya tidak bersyarat.
3). Suap, diberikan untuk mencari muka dan mempermudah dalam hal yang batil. Sedangkan hadiah, ia diberikan dengan maksud untuk silaturrahim dan kasih-sayang, seperti kepada kerabat, tetangga atau teman, atau pemberian untuk membalas budi.
4). Suap, pemberiannya dilakukan secara sembunyi, dibangun berdasarkan saling tuntut- menuntut, biasanya diberikan dengan berat hati. Sedangkan hadiah, pemberian terang-terangan atas dasar sifat kedermawanan.
5). Suap -biasanya- diberikan sebelum pekerjaan, sedangkan hadiah diberikan setelahnya. (Lihat Hadaya Lil Muwazhzhafin, Dr. Al-Hasyim, hal 27-29)

·              Gratifikasi,  hadiah, رشوةهدية  dalam tinjauan syara’
Dalam syariat islam perkara suap-menyuap sangat ditentang oleh agama islam Rasulullah SAW bersabda :
لعنة الله على الراشي والمرتشي
“Allah melaknat orang yang memberi suap, dan yang menerima suap” (HR. Ahmad dan selainnya dari Abdullah bin Amr’ Rhadiyallahu ‘anhuma , Dishohihkan Al-Albani dalam Shohihul Jami’ 5114 dan dalam kitab-kitab beliau lainnya)”
            Maka hadits ini bagi orang-orang beriman akan membuat mereka akan menjauhi perbuatan ini, dan ditambah lagi para ulama mengatakan bahwa hadits-hadits yang semisal seperti ini, yaitu lafadz “Allah melaknat” menunjukkan bahwa perbuatan tersebut adalah termasuk kategori dosa besar yang tidak akan diampuni kecuali dia bertaubat, adapun ketika dia mati dalam keadaan belum bertaubat maka di bawah kehendak Allah apakah akan mengadzabnya atau tidak.

Pada dasarnya, seseorang memberikan hadiah atau bingkisan kepada saudaranya seislam merupakan perbuatan terpuji dan dianjurkan oleh syariat. Apalagi jika diniatkan untuk menyambung silaturahim, kasih sayang dan rasa cinta, atau dalam rangka membalas budi dan kebaikan orang lain dengan hal yang semisal atau lebih baik darinya.
 Hal ini sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
تَهَادَوْا تَحَابُّوا
“Hendaklah kalian saling memberi hadiah, niscaya kalian akan saling mencintai.” (HR. Al-Baihaqi II/339 no.12297, dan Abu Ya’la dalam Musnadnya XI/9 no.6148, dan Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad dari Abu Hurairah. -Shahihul Jami’ no.3004 dan Irwa’ul Ghalil no.1601)
Dan diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَقْبَلُ الْهَدِيَّةَ وَيُثِيبُ عَلَيْهَا
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menerima hadiah dan membalasnya.”
(HR. Bukhari II/913 no.2445)
Namun terkadang pula, hadiah bisa menjadi haram atau perantara menuju perkara yang haram jika hadiah tersebut untuk tujuan yang melanggar aturan syariat, seperti bertujuan menyuap orang yang menerimanya agar memberikan sesuatu yang bukan haknya, atau membebaskannya dari hukuman yang mesti menimpanya, membatilkan yang hak, atau sebaliknya. Dengan demikian, hukum memberikan hadiah itu berbeda-beda sesuai dengan tujuan pemberinya dan seberapa jauh dampak dan kerusakan yang ditimbulkan dari pemberian tersebut.
Terdapat beberapa hadits shahih yang sangat menarik untuk menggambarkan dan menjelaskan hukum permasalahan ini. diantaranya apa yang diriwayatkan dari Abu Humaid As-Sa’idi Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
اسْتَعْمَلَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – رَجُلاً مِنْ بَنِى أَسَدٍ يُقَالُ لَهُ ابْنُ الأُتَبِيَّةِ عَلَى صَدَقَةٍ فَلَمَّا قَدِمَ قَالَ هَذَا لَكُمْ وَهَذَا أُهْدِىَ لِى . فَقَامَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – عَلَى الْمِنْبَرِ – قفَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ ثُمَّ قَالَ « مَا بَالُ الْعَامِلِ نَبْعَثُهُ ، فَيَأْتِى يَقُولُ هَذَا لَكَ وَهَذَا لِى . فَهَلاَّ جَلَسَ فِى بَيْتِ أَبِيهِ وَأُمِّهِ فَيَنْظُرُ أَيُهْدَى لَهُ أَمْ لاَ ، وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ لاَ يَأْتِى بِشَىْءٍ إِلاَّ جَاءَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَحْمِلُهُ عَلَى رَقَبَتِهِ ، إِنْ كَانَ بَعِيرًا لَهُ رُغَاءٌ ، أَوْ بَقَرَةً لَهَا خُوَارٌ ، أَوْ شَاةً تَيْعَرُ » . ثُمَّ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى رَأَيْنَا عُفْرَتَىْ إِبْطَيْهِ « أَلاَ هَلْ بَلَّغْتُ » ثَلاَثًا . قَالَ سُفْيَانُ قَصَّهُ عَلَيْنَا الزُّهْرِىُّ . وَزَادَ هِشَامٌ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِى حُمَيْدٍ قَالَ سَمِعَ أُذُنَاىَ وَأَبْصَرَتْهُ عَيْنِى
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam pernah mengangkat salah seorang dari suku Asad sebagai petugas (amil) yang memungut zakat Bani Sulaim. Orang memanggilnya dengan sebutan Ibnu Al-Utabiyah. Ketika ia datang, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam mengaudit hasil zakat yang telah dikumpulkannya. Ia (Ibnu Al-Utabiyah) berkata, “Wahai Rasul, ini untuk Anda dan ini dihadiahkan untuk saya,” Kemudian Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam berkata kepadanya: “Kalau engkau benar, mengapa engkau tidak duduk saja di rumah ayah dan ibumu, sampai hadiah itu mendatangimu?” Lalu Rasulullahh Shallallahu alaihi wa sallam berkhutbah, memanjatkan pujian kepada Allah azza wa jalla , Lalu beliau bersabda: “Aku telah tugaskan seseorang dari kalian sebuah pekerjaan yang Allah azza wa Jalla telah pertanggungjawabkan kepadaku, Lalu ia datang dan berkata: “yang ini harta kalian, sedangkan yang ini hadiah untukku”. Jika dia benar, mengapa ia tidak duduk saja di rumah ayah atau ibunya, kalau benar hadiah itu mendatanginya. Demi Allah, tidaklah salah seorang kalian mengambilnya tanpa hak, melainkan dia bertemu dengan Allah (pada hari kiamat, pen) dengan membawa unta yang bersuara, atau sapi yang melenguh, atau kambing yang mengembik,” lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya hingga nampak ketiaknya, dan berkata: “Ya Allah, aku telah sampaikan,”beliau ucapkan tiga kali. (Abu Humaid As-Sa’idi, perawi hadits ini berkata), “Aku Lihat langsung dengan kedua mataku, dan aku dengar langsung dengan kedua telingaku.” (HR Bukhari VI/2624 no. 6753, dan Muslim III/1463 no. 1832) Hadis ini menunjukkan bahwa hadiah itu datang kepadanya karena jabatan, kedudukan atau tugasnya.
Umar bin Abdul Aziz berkata: “Hadiah (dengan makna yang sebenarnya, pen) adalah hadiah yang ada di masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan di zaman kita telah berubah menjadi suap.”
Sebagaimana yang telah diisyaratkan beberapa nash Al-Qur’an dan Sunnah Nabawiyah berikut ini:
 Firman Allah ta’ala:

وَلا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالإثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
”Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui”(QS Al Baqarah 188)
     Imam ghazali berpendapat dalam kitabnya baahwa harta terswbut diniatkan karena tujuan akhirat maka disebut shadakah. Jika diniatkan dengan tujuan dunia berupa dunia disebut hibah, jika amal tersebut perbuatan haram atau kewajiban tertentu maka disebut riswah (suap).
     Dalam literatur klasik tidak ditemukan tentang konsep gratifikasi. Yang ada hanyalah hibah, hadiah, sedekah dan suap (yang diasumsikan sebagai riswah). Namun, gratifikasi sendiri pada hakikatnya juga merupakan hibah.Sulit menentukan apakah gratifikasi termasuk suap. Dalam keputusan munas’alimulama NU tahun 2002 bila terjadi kasus seperti ini bahwa boleh memberikan uang kepada orang yang sudah biasa diberi tapi dalam jumlah kecil dan tidak lebih besar (melebihi) apa yang diperbuatnya.
     Sebagian ulama membolehkan untuk memberikan hadiah atau uang tambahan kepada pegawai bawahan yang miskin dan keadaanya sangat memprihatinkan. Sebainya dipisahkan antara pemberian hadiah karena pekerjaan dan dengan pemberian hadiah karena faktor lain.  
Hadiah—menyitir pendapat Rawwas Qal’ahjie dalam Mu’jam Lughat al-Fuqaha’ (1996)
adalah pemberian yang diberikan secara cuma-cuma tanpa imbalan. Hukum asal memberikan hadiah adalah sunah, berdasarkan hadis Nabi, ”Sebaik-baik sesuatu adalah hadiah. Jika ia masuk pintu (rumah seseorang), maka yang dia masuki pun pasti tertawa.”

Namun, kesunahan tersebut, menurut Syamsuddin al-Sarakhsi dalam kitabnya, Al-Mabsuth (1993), berlaku jika terkait dengan hak yang tak ada kaitannya dengan salah satu pekerjaan untuk mengurus masyarakat. Jika orang itu diangkat untuk menjalankan urusan negara, seperti para hakim dan kepala daerah, dia harus menolak hadiah, khususnya dari orang yang sebelumnya tak pernah memberikan hadiah kepadanya. Sebab, cara itu bisa memengaruhi keputusan. Dalam kasus ini, status hukum hadiah itu adalah bentuk suap (risywah) dan harta haram (suht).

Pasalnya, hadiah yang diberikan kepada pejabat publik itu merupakan harta yang diberikan pihak yang berkepentingan (shahib al-mashlahah), bukan sebagai imbalan karena urusannya terselesaikan, tetapi karena pejabat publik itulah orang yang secara langsung menyelesaikan urusannya, atau dengan bantuannya urusan tersebut terselesaikan. Apakah hadiah diberikan karena keinginan untuk menyelesaikan urusan tertentu, setelah urusan selesai, atau pada saatnya ketika dibutuhkan, pada konteks ini hadiah kepada pejabat publik tersebut statusnya sama dengan suap (risywah). Dengan kata lain, jika hadiah datang karena jabatan, hukumnya haram. Namun, jika hadiah datang bukan karena jabatan, hukumnya halal. Inilah yang dinyatakan baik oleh al-Sarakhsi maupun mayoritas ulama.

·         Bagaimana dengan gratifikasi yang diperoleh oleh pegawai atau pejabat publik? Apakah faktanya sama dengan hadiah dan suap? Ataukah berbeda?

Lalu, bagaimana dengan gratifikasi yang diperoleh pejabat publik yang merupakan hadiah dan suap? Sebagaimana definisi yang ada, gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, komisi pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, atau fasilitas lain. Gratifikasi dimaksud bisa saja diterima di dalam negeri ataupun di luar negeri,= dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.
Memang, status gratifikasi perlu dibedakan. Jika gratifikasi diberikan oleh pemberinya karena terkait dengan jabatan penerimanya, baik untuk menyelesaikan urusan pada saat itu maupun pada masa yang akan datang, status gratifikasi itu haram. Statusnya sama dengan suap. Namun, jika gratifikasi diberikan oleh pemberinya sama sekali tidak terkait dengan jabatan penerimanya tetapi karena hubungan kekerabatan atau pertemanan yang lazim saling memberi hadiah, gratifikasi seperti ini hukumnya halal.
Dalam fikih ada penegasan, apabila status gratifikasi haram, dilaporkan atau tidak kepada negara, statusnya tetap haram. Ketentuan fikih ini agaknya berbeda dengan yang dinyatakan dalam UU No 20 Tahun 2001. Menurut UU ini, setiap gratifikasi yang diperoleh pegawai negeri atau penyelenggara negara adalah suap, tetapi ketentuan yang sama tak berlaku jika penerima  melaporkan gratifikasi itu ke KPK paling lambat 30 hari kerja terhitungsejak tanggal gratifikasi diterima. Ketentuan UU ini tampaknya kalah tegas dibanding pemikiran fikih sehingga dikhawatirkan justru terkesan melegalkan praktik suap dan hadiah yang diharamkan.

Dalam fikih terdapat metode yang dinamakan sadd al-dzari’ah, yaitu upaya preventif agar tak terjadi sesuatu yang menimbulkan dampak negatif. Hukum Islam tidak hanya mengatur perilaku manusia yang sudah dilakukan, tetapi juga yang belum dilakukan. Hal ini selajur dengan salah satu tujuan hokum Islam, yakni mewujudkan kemaslahatan dan menghindari kerusakan (mafsadah). Penekanannya pada ”akibat dari perbuatan” tanpa harus melihat motif dan niat si pelaku. Jika akibat atau dampak yang terjadi dari suatu perbuatan adalah sesuatu yang dilarang atau mafsadah, perbuatan itu jelas harus dicegah. Artinya, jika suatu perbuatan yang belum dilakukan diduga kerasakan menimbulkan kerusakan (mafsadah), dilaranglah hal-hal yang mengarahkan pada perbuatan itu.
Walhasil, kita perlu mendukung wacana pengaturan lebih detail terkait gratifikasi seks dalam UU Tindak Pidana Korupsi. Bahkan, sudah seharusnya hukuman untuk kejahatan ini lebih berat dari gratifikasi uang atau barang. Alasannya, gratifikasi seks tak sekadar kejahatan biasa, tetapi juga menyangkut akhlak dan moralitas. Gratifikasi seks tak sekadar melanggar  peraturan perundang-undangan, tetapi juga hukum keagamaan. Bila pelakunya pejabat, dia sudah tak layak lagi disebut pejabat dan pemimpin. Uang saja haram, apalagi menyangkut seks. Karena itu, jika nantinya aturan ini diterbitkan, perlu disertai penyebutan hukuman yang lebih berat. Tandasnya, perlu ada hukumannya sendiri karena tindakan itu sudah termasuk dalamkategori zina.

Contoh-contoh kasus yang bisa digolongkan dalam gratifikasi, antara lain:
1. Pembiayaan kunjungan kerja lembaga legislatif oleh eksekutif, karena hal ini dapat mempengaruhi legislasi dan implementasinya.
2. Cideramata bagi guru (PNS) setelah pembagian rapor/kelulusan.
3. Pungutan liar di jalan raya dan tidak disertai tanda bukti dengan tujuan sumbangan tidak jelas. Oknum yang terlibat bisa jadi dari petugas kepolisian (polantas), retribusi (dinas pendapatan daerah) dan LLAJR.
4. Penyediaan biaya tambahan (fee) 10-20 persen dari nilai proyek.
5. Uang retribusi untuk masuk pelabuhan tanpa tiket yang dilakukan oleh Instansi Pelabuhan, Dinas Perhubungan dan Dinas Pendapatan Daerah.
6. Parsel ponsel canggih keluaran terbaru dari pengusaha kepada pejabat.
7. Hadiah pernikahan untuk keluarga pejabat dari pengusaha.
8. Pengurusan KTP/SIM/Paspor yang “dipercepat” dengan uang tambahan. (Lihat, 
http://id.wikipedia.org/wiki/Gratifikasi)
Berdasarkan fakta di atas, maka status atau hukum gratifikasi tersebut harus dibedakan:
1. Jika gratifikasi tersebut diberikan oleh pemberinya karena terkait dengan jabatan penerimanya, baik untuk menyelesaikan urusan pada saat itu maupun pada masa yang akan datang, maka status gratifikasi tersebut haram. Statusnya, sama dengan suap.
2. Jika gratifikasi tersebut diberikan oleh pemberinya, sama sekali tidak terkait dengan jabatan penerimanya, tetapi karena hubungan kekerabatan atau pertemanan, yang lazim saling memberi hadiah, maka gratifikasi seperti ini hukumnya halal.
Sekian.

(Mnh)

Rabu, 29 Mei 2013

"fenomena unik hanya ada di maroko"

adzan juma'at yang berkumandang tiga kali

Oleh akhi; Muannif Ridwan

Maroko biasa dikenal dikalangan bangsa Arab dengan sebutan Maghrib (Negeri Matahari terbenam). Negeri yang pernah dijajah Perancis dan Spanyol ini menganut Mazhab Maliki, baik dalam berfiqih maupun ber-ushul. 

Bahkan Amirul mukminin (julukan Raja Maroko) memfatwakan untuk mengikuti satu mazhab, yaitu Madzab Maliki. Namun masih ada juga sebagian masyarakatnya yang mengikuti Mazhab Ahmad bin Hanbal seperti yang tampak di masyarakat kota Tanger (Utara Maroko).  

Menurutku, wajarlah jika praktei-praktik peribadatan di negeri ini sangat jauh berbeda dengan apa yang kita lihat dan dilakukan mayoritas muslim di Indonesia, yang notabenenya menganut Mazhab Syafi’i. Salah satu contohnya adalah Adzan Jumat tiga kali. Dalam pandangan mazhab Maliki, adzan Jum’at itu dikumandangkan sebanyak tiga kali.
 
Mereka berpedoman kepada dua dalil dari hadits Nabi SAW. Yang pertama: Hadits yang diriwayatkan oleh Yazid Bin Sa’ib: Bahwasannya pada zaman Nabi, Abu Bakar dan Umar, Adzan Jumat itu cukup dikumandangkan saat Khotib duduk di atas mimbar.
 
Kemudian pada masa Utsman, adzan itu dikumandangkan sebanyak tiga kali karena jumlah jamaahnya semakin banyak. Yang kedua: Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Habib dalam kitab al Wadihah fis Sunan: Bahwa Nabi SAW. ketika telah masuk masjid langsung naik mimbar dan duduk, kemudian para muadzin yang berjumlah tiga orang langsung mengumandangkan adzan di atas menara secara bergantian. Ketika mereka selesai, Nabi langsung berdiri untuk memulai khutbahnya. Hal seperti ini dilakukan pada zaman Abu bakar dan Umar, kemudian pada zaman Utsman juga masih berlanjut seperti ini.

Sedangkan menurut Jumhur (Syafi’i, Hanafi, Hanbali, dll.), mereka sepakat dengan pendapat Utsman yaitu cukup dengan dua Adzan. Adapun menurut pendapat syeikh Ahmad bin Siddiq Al-Ghumari, beliau mengatakan bahwa tradisi adzan jum’at sebanyak tiga kali ketika khatib naik di atas mimbar itu merupakan perbuatan bid’ah mungkar/sesat yang seharusnya ditinggalkan.
  
Menurut beliau (Syeikh al-Ghumari), bahwa yang dimaksud dengan adzan yang ketiga dalam hadits Yazid ibn as-Sa’ib itu adalah iqamah, karena Iqamah itu dalam syar’i disebut adzan. Sebagaimana Nabi pernah mengatakan dalam sebuah hadiyms yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mughoffal, “Diantara setiap dua adzan itu sholat”. Jelas sekali dalam hadis tersebut bahwa adzan jum’at itu hanya dua kali.

Ibnu Rusyd mengomentari Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Habib, bahwasannya hadits tersebut tidak bisa dijadikan hujjah (dalil). Menurut beliau, “Hadits-hadits yang diriwayatkannya itu da’if (lemah kualitasnya) menurut para ahli hadits, apalagi ketika ia sendiri dalam meriwayatkannya”.

Selain itu, masih banyak beberapa praktek fiqih maliki yang sangat menarik bagi saya, yaitu ketika saya melihat bagaimana orang maroko bisa berwudlu hanya dengan air satu gelas. Apalagi kalau bertayamum, mereka hanya menggunakan sebuah batu sebesar buah kedondong, dengan cukup menggosok-gosokkannya ke muka dan pergelangan tangan. 

Yang lebih mantap lagi, yaitu seorang khotib Jumat yang diperbolehkan minum saat berkhutbah. Dan masih banyak lagi tentunya fenomena-fenomena tentang penerapan fiqih Maliki seperti ini, yang mungkin dianggap “aneh” oleh sebagian kita, bagi mereka yang biasa mempraktekkan fiqih Syafi’i. Bahkan barangkali kita bisa “dikafirkan” oleh sebagian masyarakat kita, ketika kita hendak mengamalkan pratek peribadatan seperti ini. Wallahu A’lam. 

Tanger, 26 Mei 2013
Mahasiswa Jurusan Islamic Studies di Univ. Imam Nafie, Tanger-Maroko

"sebuah pengalaman unik belajar diluar negri"

Kuliah di Sudan, Tinggal di Mesir

Oleh Ahmad Sadzali (Mahasiswa Indonesia tinggal di Kairo, Mesir)


Sudan adalah negara Afrika yang berbatasan langsung dengan Mesir di sebelah utara. Pada awalnya, Sudan merupakan negara terluas di Afrika dan Arab. Namun setelah konflik internal yang berujung referendum pada bulan Januari 2011 lalu, akhirnya Sudan harus merelakan wilayah selatannya berdiri menjadi negara sendiri dengan nama Republik Sudan Selatan. Mayoritas penduduk Sudan menganut Islam Sunni, sekaligus menjadi agama resminya. Bahasa resminya adalah bahasa Arab.
Meski di negara ini terdapat konflik internal yang setiap saat bisa pecah, namun gairah penuntut ilmu untuk datang ke Sudan tidak menipis. Setiap tahunnya selalu ada mahasiswa asing, khususnya Indonesia yang datang menuntut ilmu ke Sudan. Bahkan Sudan juga salah satu negara pilihan untuk melanjutkan program pascasarjana di bidang studi keislaman.
Salah satu universitas di Sudan yang sering dituju untuk program pasca sarjana tersebut adalah Universitas Omdurman. Universitas yang didirikan pada tahun 1912 ini terletak di kota Omdurman, kota terbesar di Sudan. Universitas ini terkenal dengan studi keislamannya, karena awal mula berdirinya hanya membuka fakultas-fakultas keagamaan. Maka tidak aneh jika selanjutnya banyak mahasiswa asing yang kuliah strata satu ataupun pascasarjana di universitas ini.
Di antara mahasiswa yang cukup banyak berminat melanjutkan program pasca sarjananya adalah para lulusan Universitas al-Azhar, Mesir. Meski Universitas al-Azhar sendiri juga menyediakan program pascasarjana, akan tetapi tetap saja setiap tahunnya banyak lulusan salah satu universitas Islam tertua ini yang lantas melanjutkan studi ke Universitas Omdurman. Tentunya ada beberapa kelebihan dan sekaligus kemudahan yang ditawarkan Universitas Omdurman, sehingga menjadi alasan mahasiswa lulusan Universitas Al-Azhar tidak melanjutkan studi pasca sarjana di universitasnya itu.
Di antara kelebihan dan kemudahan yang ada di Universitas Omdurman adalah masa studi pascasarjana yang dapat ditempuh relatif lebih cepat daripada di Universitas al-Azhar. Untuk program magister misalnya, di Universitas Omdurman dapat ditempuh dalam 2 tahun, dibandingkan di Universitas al-Azhar yang paling cepat selesai magister 3,5 tahun. Masa kuliah wajib magister (tamhidi) di Universitas Omdurman hanya satu tahun saja, sedangkan di Universitas Al-Azhar harus lulus tamhidi selama dua tahun dulu baru bisa mengajukan proposal judul tesis.
“Kuliah S2 di al-Azhar memakan waktu lama. Paling cepat saja 3,5 tahun, dan itu sulit dicapai. Selain itu sistem kuliahnya juga susah. Sementara kita mempunyai target umur dan kerja yang harus dicapai,” tutur Ahmad Noor Islahudin, mahasiswa asal Jawa Timur yang baru lulus dari Universitas al-Azhar dan kini menempuh S2 di Universitas Omdurman.
Biasanya yang menjadi alasan utama mahasiswa lulusan al-Azhar memilih melanjutkan program pascasarjana ke Universitas Omdurman memang karena kemudahan sistem studinya. Bahkan tidak jarang mahasiswa yang tidak lulus program magister di Universitas al-Azhar, akhirnya beralih ke Universitas Omdurman. Namun meski demikian, bukan berarti kualitas keilmuan yang ada di Universitas Omdurman sebagai kualitas alternatif atau dinomorduakan.
Untuk fakultas keagamaan, Universitas Omdurman menyediakan Fakultas Ushuluddin dengan jurusan-jurusan sebagai berikut: al-Qur’an; Ilmu-ilmu al-Qur’an; Tafsir; Hadis; Ilmu-ilmu Hadis; Aqidah; Kebudayaan Islam; dan Sejarah. Sedangkan Fakultas Syari’ah dan Hukum menyediakan jurusan: Ushul Fiqih; Fiqih Perbandingan; Politik Islam; Fiqih Madzhab; Hukum Islam; Fiqih Maliki; Fiqih Pidana;Ahwal Syakhsiyah; dan Hukum.
Selain itu juga terdapat fakultas-fakultas umum seperti Fakultas Dakwah dan Informatika; Fakultas Ilmu-ilmu Sosial; Fakultas Ekonomi dan Sosiologi; Fakultas Kedokteran; Fakultas Teknik; Fakultas Sains; Fakultas Ilmu Pendidikan; Fakultas Bahasa Arab; Fakultas Pertanian; dan Fakultas Farmasi. Semua fakultas ini masih memiliki jurusannya masing-masing.

Bisa sambil tinggal di Mesir
Mungkin mahasiswa yang dulunya kuliah di Universitas al-Azhar dan tinggal di Mesir memiliki beberapa kelebihan ketika melanjutkan studinya di Sudan. Di antaranya adalah, meski kuliahnya di Sudan, tapi mereka bisa tetap tinggal di Mesir. Akan tetapi kelebihan tersebut tentu saja tidak tanpa syarat. Jika ingin tetap tinggal di Mesir, paling tidak mereka harus terdaftar di salah satu perguruan tinggi di Mesir. Baik itu sebagai mahasiswa S2, maupun mahasiswa diploma. Gunanya adalah agar tetap bisa mendapatkan visa tinggal di Mesir.
Dengan demikian, mahasiswa pasca sarjana di Sudan secara otomatis menjalani dua studi sekaligus, salah satunya adalah di Mesir. Jika dapat menjalankan kedua studinya itu secara berimbang, maka dua gelar pasca sarjana dari dua universitas dan negara yang berbeda dapat dia raih sekaligus. Meski terkadang sebagian mahasiswa hanya menjadikan kuliahnya di Mesir sebagai sampingan, sekadar untuk mendapatkan visa tinggal di Mesir saja. Sementara yang diprioritaskan adalah kuliahnya yang di Sudan, dengan alasan kuliah di sana menghabiskan biaya yang jauh lebih besar daripada di Mesir.
Kemudian, mahasiswa yang menempuh S2 di Universitas Omdurman misalnya, pergi ke Sudan hanya ketika menjelang ujian tamhidisaja. Masa kuliah S2 yang seharusnya memang selama satu tahun, namun sistem kuliah yang ada di Sudan memberikan peluang untuk tidak mengikuti perkuliah, dengan catatan ketika ujian bisa lulus. Artinya, minimal mahasiswa yang kuliah di Universitass Omdurman itu hanya dua kali pergi ke Sudan, yaitu ketika ujian tamhidi dan terakhir ketika uji tesis.
Selanjutnya, mahasiswa yang sudah lulus ujian tamhidi, dan kemudian sudah diterima proposal tesisnya, biasanya lebih memilih menulis tesis di Mesir. Ada beberapa alasan kenapa mereka memilih menulis tesisnya di Mesir, di antaranya adalah soal referensi pustaka yang dibutuhkan ketika menulis tesis tersebut.
Perpustakaan-perpustakaan di Mesir memiliki lebih banyak koleksi pustaka, termasuk manuskrip-manuskrip yang dibutuhkan untuk menulis tesis atau disertasi, dibandingkan dengan di Sudan. Selain perpustakaan, pencetakan buku-buku juga sangat gencar sekali di Mesir, baik buku-buku klasik (turats) maupun kontemporer. Ini merupakan kelebihan lain ketika mahasiswa tersebut tinggal di Mesir.
Dian Sufahmi misalnya, mahasiswa asal Jakarta ini lebih memilih tinggal di Mesir ketika sedang menulis tesisnya, daripada di Sudan. Menurutnya, dia bisa dengan mudah mendapatkan referensi yang dibutuhkan untuk tesisnya di Mesir.
“Di Mesir banyak referensi buku, sedangkan di Sudan tidak sebanyak di Mesir. Bahkan mahasiswa yang tinggal di Sudan ada yang hanya mengandalkan referensi digital seperti Maktabah Syamilah atau buku dalam bentuk file PDF untuk dijadikan rujukan,” jelas Dian yang juga alumni Pondok Modern Darussalam Gontor ini.
Faktor lain yang biasanya menjadi alasan mahasiswa tetap tinggal di Mesir adalah karena iklim di Sudan yang panas. Di ibukota Sudan, Khartoum, misalnya, memiliki iklim tandus yang panas. Bahkan berdasarkan suhu rata-rata per tahun, ibukota Khartoum itu bisa menjadi kota terpanas di dunia. Pada pertengahan musim panas, suhu bisa melampaui 50 °C.
Namun ini semua bukan berarti kuliah di Sudan merupakan kuliah alternatif. Walau bagaimanapun, Sudan tetap menjadi salah satu negara rujukan penuntut ilmu agama Islam. Dengan kondisi negara yang mungkin belum tentu lebih baik dari Indonesia saja, Sudan bisa menyediakan fasilitas untuk kader-kader ulama yang siap membina umat di seluruh penjuru dunia. Alumni-alumni Sudan sudah banyak yang berkiprah di dunia Islam, khususnya di Indonesia sendiri.
Bagi yang ingin menuntut ilmu di Sudan, tidak usah khawatir dengan segala kondisi yang ada di sana. Semuanya pasti ada jalan. Dan Mesir siap menjadi rumah bagi penuntut ilmu di negeri panas tersebut.

"PENINGGALAN SEJARAH DINEGARA YAMAN YANG DIABADIKAN DALAM AL QUR'AN"

Dalam alquran banyak sejarah yang dikisahkan tak sedikt yang memberikan pelajaran dan mempesona bagi yang melihatnya dimasa kini. Salah satunya kerajaan saba’ yang masih terlihat sampai saat ini. Berikut kisahnya…
Sesungguhnya bagi kerajaan saba ada tanda kekuasaan alloh s.w.t  ditempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun disebelah kanan dan kiri, kepada mereka dikatakan ;”makanlah olehmu dari rizeki yang dianugrahkan tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepadanya [negerimu] adalah negri yang baik dan[tuhanmu] adalah tuhan yang maha pengampun.” Tetepi mereka berpaling maka kami datangkan banjir yang besar dan kami ganti kebun kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi buah buah pahit, pohon atsl dan sedikit dari pohon sidr .” (QS. Saba’ [34];15-16)
Itulah al quran mengabadikan kisah menarik kaum saba’ yang terkenal dengan icon mereka yaitu ratu bilqis yang cantik jelita dan penuh pesona.
Terletak dikota ma’rib
Pusat peradaban kerajaan saba’ dikenal dengan nama ma’rib sebuah kota yang terletak 120 Km dari ibu kota yaman sona’a.
Sebagaimana ditekankan dalam ayat ayat diatas , kerajaan saba’ hidup di suatu daerah yang diberkahi dengan kebun kebun anggur yang subur dan luar biasa indah. Karena terletak dijalur perdagangan, negeri saba’ memiliki standar pola hidup yang mapan dan cendurung diminati oleh banyak orang.
Saking besarnya kekuasaan kerajaan ini , para sejarawan mengisahkan  bahwa luas wilayah yaman sekarang lebih luas kekuasaan negri saba’. Namyak ahli yang menyebutkan bahwa habasyah yang sekarang menjadi etiopia dahulu menjadi perhimpunan negri saba’
Sumber tertua menyebutkan tentang kerajaan sabaadalah catatan perang tahunan yang berasal dari raja asiria sargon II (722-705)yang membayar pajak kepadanya . raja sargon juga menyebut raja saba’ dengan yith ‘i-amara (it’amara)
Dalam prasasti arad nannar, salah satu raja terakhir dari Negara ur, acapkali menggunakan kata “sabum” yang diperkirakan berarti negri “saba”, sebagaimana yang tercantum dalam situs ; Encyklopedia of islam; Islamic world, histori, geography, ethnoghraphy, anad bibliography dictionary vol 10 halaman 268. Jika kata ini benar berarti saba’ maka berarti sejarah saba’ ada 2500 tahun sebelum masehi. Subhanalloh..
Mashur dan makmur
Namun terlepas dari hal itu kerajaan saba’ telah menjadi mashur karena adanya dua factor penting yaitu;

1.      Ratu sheba, Balqis.
Kerajaan saba’ diperintah oleh seorang ratu yang tersohor bernama balqis. Balqis menjadi orang ke 17 yang memerintah kerajaan saba’. Yang memerintah sebelumnya adalah ayahandanyaraja Hadhad bin syarhabil, para sejarawan berasumsi bahwa balqis menaiki tahta ayahnya karena tidak adanya keturuna  yang berjenis kelamin pria dari keluarga ayahnya.
Dalam masa kepemimpinannya ratu bilqis banyak didera problematika yang bermacam macam, namun kelak akan membuktikan kepiawaiannya memimpin dan menjaga kerajaan dan rakyatnya.dalam masa awal kepemimpinannya sebagai ratu, para ahli kerajaan dan pembesar menolak kepemimpinan seorang wanita, belum lagi hasrat yang dipendam oelh raja sekitar saba’ untuk menaklukkan dan menguasai kerajaan ini. Salah satunya adalah raja Amr bin Abrahah yang dijuluki dengan dzul adz’ar.
Maka datanglah dzul adz’ar dengan pasukannya menyerbu kerajaan saba’ dan menjadikan ratunya menjadi tawanan. Namun berkat kepiawaiannya dan taktik perang yang jitu ratu bilkis berhasil Lolos dan berlindung ditempat yang aman.sementara raja dzul adh’ar Tewas tergorok. Maka pasca kejadian itulah rakyat memberikan kepercayaan penuh atas penguasaan kerajaan saba’ dan dengan kepercayaan yang diberikan itu ratu bilqis memimpin kerajaannya dengan adil dan bijaksana.
Dimasa kepemimpinan raru bilqis daerah territorial saba’ meraih kegemila ngan. Salah satu pencapaian yang diraih adalah direnovasinya bendungan yang terkenal dengan “sad ma’rib [bendungan ma’rib].nama kerajaan ini pun semakin terkenal di timur tengah dan eropa.
Dijelaskan dalam sejarah yunani kuno bahwa pada zamannya terjadi transaksi perdagangan diantara para pelaku bisnis yunani dan saba’. Bahkan para pedagang yunani mengakui akan kemajuan peradaban di saba’ kala itu.
Al kisah. Selalu dikaitkan dengan nabiyulloh sulaiman dan burung Hud. Hud telah disebut dalam al qur’an namun banyak diantara ahli tafsir yang mengatakan bahwa nama tersebut masuk kedalam kalangan ummat islam dengan media isroiliyyat, dongeng turun temurun orang Israel yang mereka akui bersumber dari kitab taurat.
Diantara kesan peninggalan ratu bilqis ialah tapak kuil {temple of the moon} karena penyembahannya kepada tuhan bulan [al maqoh] dan tapak istana ratu bilqis. Proses penggalian arkeologi masih terus dilakukan dan beberapa barang dipajang dimuseum son’a.
Arkeolog dari Inggris mengklaim telah menemukan tambang harta karun milik Ratu Saba’ yang juga sohor dengan sebutan Ratu Bilqis dari Kisah Nabi Sulaiman yang tertera dalam sejarah Habeshan, Injil, dan Al Quran. 

               2. Harta kerajaan sheba.

Seperti dimuat situs sains, Discovery.com, 15 Februari 2012, tambang emas Sang Ratu ditemukan tersembunyi di sebuah bukit di dataran Gheralta, utara Ethiopia. Sebuah lokasi tambang yang belum pernah di eksplorasi sebelumnya, di teritorial kerajaan Sheba yang pernah berkuasa selama 3.000 tahun. 

"Salah satu yang saya sukai dari arkeologi adalah, kemampuannya berhubungan dengan legenda dan mitologi. Fakta bahwa kami mungkin menemukan tambang Ratu Bilqis sangat luar biasa," kata  Louise Schofield, arkeolog sekaligus kurator museum Inggris, kepada The Observer. 
Berdasarkan Perjanjian Lama, Ratu Sheba menempuh perjalanan panjang dari kerajaannya yang misterius untuk menemui Raja Sulaiman di Yerusalem. Ratu itu membekali diri dengan para pengiring, unta yang membawa muatan sarat rempah, emas, dan batuan berharga. 
Bertemu dengan Sulaiman, Ratu Sheba terpukau dengan kebijaksanaan Sang Nabi, juga kemegahan kerajaannya. Sebelum pergi, ia memberi hadiah 120 talen emas, atau setara dengan 4,5 ton!
Legenda menyebut, ia melahirkan anak Sulaiman. Keturunannya, Menelik, menjadi raja-raja Abyssinia.

Schofield menemukan tambang kuno tersembunyi di balik batu 20 kaki yang diukir dengan gambar matahari dan bulan sabit. "Simbol dari negeri Sheba," kata dia. 

"Saya merangkak di bawah batu, waspada dengan ular kobra yang disebut tinggal di sini, dan berjumpa dengan sebuah prasasti Bahasa Sheba, bahasa yang dipakai Sang Ratu." 

Terkubur sekitar empat meter di bawah permukaan bukit dikelilingi oleh burung bangkai, terowongan menampilkan simbol tengkorak kuno di pintu masuknya. Menurut Schofield, itu adalah pahatan Sheba. 
Ia menambahkan, keberadaan struktur tambang kuno itu tak disadari, meski faktanya, penduduk setempat mendulang emas di sungai yang ada di dekatnya. Tak jauh dari lokasi tambang, arkeolog menemukan sisa-sisa kolom dan batu halus berukir yang mungkin adalah bagian dari sebuah kuil terkubur, yang  diyakini didedikasikan untuk Dewa Bulan Sheba. Situs dari medan peperangan, lengkap dengan tulang kuno, juga ditemukan di dekatnya.

Ukuran yang tepat dari tambang, yang pintu masuk terhalang oleh batu besar, belum ditentukan. Namun, uji yang dilakukan oleh seorang pencari emas mengarah ke dugaan, ada ruang luas di bawah tanah, dengan terowongan yang cukup besar untuk dilalui dengan berjalan kaki.  Penggalian situs besar-besaran akan dilakukan setelah Schofield mendapatkan sumber pendanaan yang diperlukan.
3.      Bendungan ma’rib
Ma’rib yang sangat makmur  berkat letak geografisnya yang sangat diuntungkan dengan keberadaan sungi adhanah. Titik dimana sungai mencapai bukit balaq sangat tepat untuk membangun bendungan. Dengan memanfaatkan keadaan ini kerajaan saba membangun bendungnan disana. Ketika pertama kali berdiri dan mereka memperbaiki sistem pengairan yang baik mereka mengalami kemajuan pesat di bidang pertanian dan perkebunan,
Menurut hommmel dalam bukunya “eksplorations in bible lands” menyatakan bahwa penulis yunan pliny telah mengunjungi ini dan sangat memujinya juga menyebutkan betapa hijaunya kawasan ini.
Bendungan ma’rib tingginya 16 meter, lebar 60 meter panjangnya 620 meter, berdasarkan perhitungann total wilayah yang dapat diairi oleh bendungan ini 9600 hektare 5300 merupakan daerah bagian selatan selebihnya bagian barat. Dan dua daratan ini dikenal dengan sebutan “ma’rib dan dua daratan” dalam prasasti saba’.
Dua kebun disisi kanan dan kiri yang disebut dalam alquran menggambarkan kondisi perkebunan anggur yang tumbuh subur dikedua sisi lembah tersebut.
Bendungan ini direnovasi besar besaran selama abad ke 5 dan ke enam. Namun demikian perbaikan perbaikan tidak mampu mencegah runtuhnya bendungan ini pada tahun 542 M.  runtuhnya bendungan ini mengakibatkan bencana banjir besar arim yang disebutkan dalam al quran serta mengakibatkan kerusakan hebat dinegri saba’ pasca kejadian inilah negri saba’ mulai bangkrut dalam segi perekonomian dan pemerintahan. Sehingga para penduduk negri saba’ pun berpindah tempat tersebar ke arab selatan, makkah dan syiria.
Werner keller seorang ahli arkeologi Kristen penulis buku “und die bible hat doch recht” (al kitab terbukti benar)menyatakan kesetujuannya akan kejadian yang digambarkan dalam alquran tentang banjir arim.

Sekian
(mnh)


Selasa, 28 Mei 2013

ulama' tetap akan menjadi pujaan hati


((إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ)) فاطر: ٢٨
“Hanyalah yang memiliki khasy-yah (takut) kepada Allah dari kalangan hamba-hamba-Nya adalah para ‘ulama. ” [Fathir : 28]
 

Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan : Yakni, hanya yang khasy-yah terhadap-Nya dengan sebenarnya adalah para ‘ulama yang mengenal-Nya / berilmu tentang-Nya. Karena setiap kali ma’rifah (pengenalan) terhadap Dzat yang Maha Agung, Maha Kuasa, Maha Berilmu, yang memiliki sifat-sifat kesempurnaan dan nama-nama yang indah, bila ma’rifah terhadap-Nya semakian sempurna dan ilmu tentang-Nya makin lengkap, maka makin bertambah besar dan bertambah banyak pula khasy-yah terhadap-Nya. ” Asy-Syaikh Al-Mufassir ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah menjelaskan dalam Tafsir-nya : “Maka setiap orang yang makin berilmu tentang Allah, maka dia akan semakin besar sifat khasy-yah (takut) terhadap-Nya. Maka sifat khasy-yah tersebut mendorongnya untuk menjauh dari segala kemaksiatan, dan sebaliknya mendorongnya untuk bersiap-siap menyongsong pertemuan dengan Dzat yang ia takut terhadap-Nya. Ini merupakan dalil atas keutamaan ilmu. Sesungguhnya ilmu mengantarkan untuk khasy-yah (takut) terhadap Allah. Seorang yang memiliki sifat khasy-yah terhadap-Nya adalah orang yang berhak mendapat kemuliaan dari-Nya. Sebagaimana firman-Nya : “Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha terhadap-Nya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang khasy-yah (takut) kepada Rabbnya. ” [Al-Bayyinah : 8]
Sabda baginda agung Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam :
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيْدٍ حَدَّثَنَا جَرِيْرٌ عَنْ هِشَامَ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيْهِ سَمِعْتُ عَبْدَ اللهِ بْنَ عَمْرٍو بْنِ الْعَاصِ يَقُوْلُ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَقُوْلُ : إِنَّ اللهَ لاَ يَقْبِضُ عِلْمًا إِنْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ النَّاسِ وَ لَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يَتْرُكْ عَالِمًا اتَّخَذَ النَاسُ رُؤُسًا جُهَالاً فَسُئِلُوْا فّأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوْا وَ أَضَلُّوْا. (رواه مسلم)
Artinya :
Qutaibah bin Said berkata kepada kami: Jarir berkata kepada kami: dari Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya : saya mendengar Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash berkata : saya mendengar Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan serta merta mencabutnya dari hati manusia. Akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ‘ulama. Kalau Allah tidak lagi menyisakan seorang ‘ulama pun, maka manusia akan menjadikan pimpinan-pimpinan yang bodoh. Kemudian para pimpinan bodoh tersebut akan ditanya dan mereka pun berfatwa tanpa ilmu. Akhirnya mereka sesat dan menyesatkan,” (HR. Al-Bukhari 100, 7307); Muslim [2673]).
sebab diriwatkannya hadits ini sendiri sebagai berikut; imam ahmad dan At-Thabrani meriwayatkan dari hadist Abu Umamah, katanya : selesai melakukan haji wada’ Nabi Muhammad Saw bersabda : “Ambillah ilmu sebelum ia ditarik/ diangkat”. Seorang arab badui bertanya : bagaimana ilmu diangkat ? Beliau bersabda : ketahuilah, sesungguhnya hilangnya ilmu adalah hilangnya dalam  tiga periode. Dalam riwayat lain Abu Umamah, orang itu bertanya :”bagaimana mungkin ilmu terangkat, padahal ditengah-tengah kami selalu ada mushaf (Al-Qur’an), kami mempelajarinya dan kami mengetahuinya, serta kami ajarkan pula kepada anak-anak dan istri kami, demikian pula kepada para pelayan kami.” Rasulullah mengangkat kepalanya dan beliau menghampiri orang itu, karena marahnya. Beliau bersabda : “inilah Yahudi dan Nasrani dikalangan mereka ada mushaf, tetapi mereka tidak mempelajarinya, takkala para nabi dating kepada mereka. Ibnu Hajar berkata : hadist ini masyhur sekali dari riwayat hisyam dan dalam riwayat lain bunyinya …:sehingga tidak ada dari kalangan para ulama yang hidup.
al-Quran secara gamblang mengisyaratkan bahwa; wafatnya ulama sebagai sebuah penyebab kehancuran dunia, kehancuran moral, kehancuran sosial, kehancuran ummat. seperti firman Allah yang berbunyi:
“Dan apakah mereka tidak melihat 
bahwa sesungguhnya Kami mendatangi daerah-daerah, lalu Kami kurangi daerah-daerah itu (sedikit demi sedikit) dari tepi-tepinya? (Al- Ra’d: 41).
Menurut beberapa ahli tafsir seperti 
Ibnu Abbas dan Mujahid, ayat ini berkaitan dengan kehancuran bumi (kharab ad-dunya). Sedangkan kehancuran bumi dalam ayat ini adalah dengan meninggalnya para ulama (Tafsir Ibnu Katsir 4/472)
ulama' merupakan sinar bagi segenap ummat manusia yang ada dibumi dengan cahaya ilmu. tentu hal ini adalah hal yang amat berharga. baik bagi bumi maupun bagi manusianya itu sendiri. gambarannya adalah bumi merasa bahwa ummat manusia yang berilmu tak akan pernah merusak ekosistem yang ada di bumi. kerusakan kerusakan yang terdapat dibumi adalah akibat ulah manusia yang tak berilmu. lalu bagi manusia itu sendiri ulama' sangat berperan dalam menjaga iman islam dan ihsan bagi sebuah individu. jika kita diajarkan dengan siraman rohani yang begitu sejuk damai dan penuh cinta kasih maka tentu itu akan memberikan damppak positif dalam keberlangsungan hidup didunia sekaligus menjado bekal di akhirat.
Rasulullah Saw yang menegaskan ulama sebagai penerusnya, juga menegaskan wafatnya para ulama sebagai musibah.
Rasulullah bersabda: 
“Maut al-Alim mushibatun la tujbaru wa tsulmatun la tusaddu, wa huwa najmun thamsun. Wa mautu qabilatin aisaru li min mauti alim”.
Artinya: “Meninggalnya ulama adalah musibah yang tak tergantikan, dan sebuah kebocoran yang tak bisa ditambal. Wafatnya ulama laksana bintang yang padam. Meninggalnya satu suku lebih mudah bagi saya daripada meninggalnya satu orang ulama” (HR al-Thabrani dalam Mujam al-Kabir dan al-Baihaqi dalam Syu’ab al- Iman dari Abu Darda')
Wafatnya Ulama Adalah Hilangnya Ilmu Umat manusia dapat hidup bersama para ulama adalah sebagian nikmat yang agung selama di dunia. Semasa ulama hidup, kita dapat mencari ilmu kepada mereka, memetik hikmah, mengambil keteladanan dan sebagainya. Sebaliknya, ketika ulama wafat, maka hilanglah semua nikmat itu. Hal inilah yang disabdakan oleh Rasulullah Saw:
“Khudzu al-ilma qabla an yadzhaba! Qalu: Ya Rasulallah, wa kaifa yadzhabu? Qala: Inna dzahaba al-ilmi dzahabu hamalatihi”.
Artinya: “Pelajarilah ilmu sebelum ilmu pergi! Sahabat bertanya: Wahai Rasulullah, bagaimana mungkin ilmu bisa pergi? Rasulullah menjawab: Perginya ilmu adalah dengan perginya (wafatnya) orang- orang yang membawa ilmu (ulama)” (HR al- Thabrani No 7831 dari Abu Umamah) 
Wafatnya ulama juga memiliki dampak sangat besar, diantaranya munculnya pemimpin baru yang tidak mengerti tentang agama sehinga dapat menyesatkan umat, kesesatan pasca wafatnya ulama' inilah yang menjadi asensi anjuran baginda rosul s.a.w agar supaya belajar kepada para ahlul ilmu sebelum wafat.
Shahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu mengingatkan dan menasehatkan :
عليكم بالعلم قبل أن يرفع، ورفعه هلاك العلماء، فوالذي نفسي بيده ليودن رجال قتلوا في سبيل الله شهداء أن يبعثهم الله علماء لما يرون من كرامتهم، وإن أحدا لم يولد عالما، وإنما العلم بالتعلم
“Wajib atas kalian untuk menuntut ilmu, sebelum ilmu tersebut dihilangkan. Hilangnya ilmu adalah dengan wafatnya para ‘ulama. Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh orang-orang yang terbunuh di jalan Allah sebagai syuhada, mereka sangat menginginkan agar Allah membangkitkan mereka dengan kedudukan seperti kedudukannya para ‘ulama, karena mereka melihat begitu besarnya kemuliaan para ‘ulama. Sungguh tidak ada seorang pun yang dilahirkan dalam keadaan sudah berilmu. Ilmu itu tidak lain didapat dengan cara belajar. ” [lihat Al-’Imu Ibnu Qayyim, no. 94].
innalillahi wa inna ilaihi rojiun
disaat sekarang kita telah banyak ditinggalkan oleh para ulama' pembimbing hati dan jiwa kita. semakin sedikit ulama' yang menyirami jiwa jiwa yang gersang. dan tentu hal itu kita harus prihatin, banyak ulama' yang mengajar di surau surau, dipesantren dan majlis ta'lim telah berpulang mendahului kita. para ulama' zaman dahulu yang memperjuangkan agama di indonesia banyak sekali bahkan yang wafat dalam keadaan terbunuh. ironis sekali bahkan beberapa waktu yang lalu seorang ulama besar dari syiria wafat di BOM di Masjid Iman di pusat Damaskus, dan Mohammed al-Buti, imam Masjid kuno Ummayyad.tentu ini merupakan duka yang mendalam.rosululloh s.a.w bersabda;
وقال عليه الصلاة والسلام: إذا مَاتَ العَالِمُ بَكَتْ عَلَيْهِ أَهْلُ السَّمَوٰاتِ والأَرْضِ سَبْعِينَ يَوْما وقال عليه الصلاة والسلام: مَنْ لَمْ يَحْزَنْ لِمَوْتِ العَالِمِ، فَهُوَ مُنَافِقٌ مُنَافِقٌ مُنَافِقٌ قالها ثلاث مرات)

Nabi Sallallahu 'alaihi wa salam bersabda : "Jika orang alim meninggal dunia, maka penduduk langit dan bumi menangis selama tujuh hari."  Dan sabda Beliau saw, "Barang siapa tidak bersedih atas wafatnya orang alim, maka ia munafik, munafik, munafik." Nabi saw mengucapkannya tiga kali (Imam Suyuthi yaitu Lubabul hadits.)
Kendatipun telah banyak  yang telah wafat, dan wafatnya kyai adalah sebuah musibah dalam agama, maka harapan kita adalah lahirnya kembali ulama yang meneruskan perjuangannya. Harapan ini sebagaimana yang dikutip oleh Imam al-Ghazali dari Khalifah Ali bin Abi Thalib:
Idza mata al-’Alimu tsaluma fi al-Islam tsulmatun la yasudduha illa khalafun minhu”. 
Artinya: “Jika satu ulama wafat, maka ada sebuah lubang dalam Islam yang tak dapat ditambal kecuali oleh generasi penerusnya” (Ihya Ulumiddin I/15).
generasi mendatang adalah msa depan yang baik, sekaligus penerus perjuangan para ulama.'