Pages

Minggu, 02 Juni 2013

METODOLOGI DEKONSTRUKSI FIQH PATRIARKI UNTUK MENUJU KESETARAAN GENDRE BAGI ULAMA’ PEREMPUAN.


Pendahuluan
Pandangan miring terhadap perempuan sudah cukup lama terjadi. Dalam buku The Status of Women in Mahabarata, Prof. Indra menulis: Tidak ada makhluk yang lebih berdosa daripada perempuan. Perempuan itu menyalakan api. Dia adalah sisi pisau yang tajam. Efek dari pandangan diskriminatif mengakibatkan kekhawatiran terhadap perempuan. Tidak sedikit orang yang meyakini bahwa perempuan adalah sumber malapetaka, kerusakan suatu bangsa, dan pangkal kemerosotan moral. Mengikuti logika di atas, maka perempuan dilarang menjadi pemimpin.

Alih-alih menjadi pemimpin, kehadirannya pun membawa malapetaka. Bentuk klasik yang terus muncul saat ini adalah pandangan para kiai/tokoh masyarakat yang menganggap bahwa perempuan tidak boleh menjadi pemimpin, perempuan ngurusi rumah tangga saja justru menghambat bagi para santriwati untuk maju. Kiai sebagai tokoh berpengaruh memiliki massa yang tidak sedikit. pemikiran itu terus tersebar dan berlangsung terus menerus, turun temurun dan menjadi fatwa yang ampuh untuk membatasi peran perempuan di lembaga-lembaga sekolah di pesantren. Contoh, Guru perempuan tidak bisa menjadi kepala sekolah, karena perempuan.
Asumsi semacam ini tentu saja bertentangan dengan sejumlah teks agama yang secara telanjang memberikan posisi dan derajat yang sejajar dengan laki-laki.
Lingkungan masyarakat desa, perempuan dianggap setengah manusia daripada laki-laki, itu pula perempuan dilarang menjadi pemimpin. Karena perempuan sibuk dalam urusan rumah tangga, sehingga peran publik dibatasi. Untuk mendobrak pandangan masyarakat desa yang seperti itu tidaklah mudah. Walau perempuan telah belajar disiplin ilmu, masih saja belum dipercaya menjadi leader (pemimpin).

Pengesahan terhadap Undang-Undang Pornografi tidak lepas dari pandangan di atas. Sebab, sorotan undang-undang tersebut lebih banyak kepada kaum perempuan yang membuka auratnya di depan publik. Dengan kata lain, perempuan diposisikan sebagai objek dari Undang-Undang, karena ia telah didudukan sebagai subjek yang mengumbar pornografi.

Peran seorang ibu rumah tangga dan karier di luar rumah menyita banyak waktu. Perempuan mesti berkorban banyak hal agar sukses keduanya. Jika tidak, akan terjebak pada istilah (double burden) peran ganda, sebagai ibu rumah tangga dengan tugas-tugas domestik dan juga sebagai pencari nafkah keluarga.

Bagaimana menyerasikan keduanya antara peran domestik dan karier? itu pulalah yang menuntut perempuan untuk cerdas dan belajar mengambil tanggung jawab peran mana yang kan dilakukan. Bentuk lain yang muncul adalah perempuan sebagai pencari nafkah tanpa dibekali disiplin ilmu yang memadai. Akhirnya perempuan bekerja pada sektor buruh dan tenaga kasar.

Bagaimana sejarah Islam mencatat tentang perempuan?
Dalam sejarah awal-awal Islam (masa nabi), perempuan dan laki-laki berjalan setara. Perempuan biasa keluar masuk rumah, mesjid untuk mendapatkan pendidikan dari Nabi sebagaimana halnya laki-laki. Hasilnya bermunculannya ulama-ulama perempuan, seperti Siti Aisyah, yang tidak kalah hebatnya dengan ulama laki-laki, seperti Sahabat Abu Bakar.

Namun, kemitrasejajaran antara laki-laki dan perempuan ini menjadi surut pasca wafatnya Nabi. Ditambah lagi dengan peristiwa keterlibatan Siti Aisyah dalam Perang Unta melawan Khalifah Ali bin Abi Thalib. Peristiwa yang kontroversial di kalangan pemikir Islam klasik, dikatakan sebagai biang kerok terjadinya perpecahan dalam Islam. Stigma ini semakin kuat di kalangan ulama, sehingga tragedi itu dijadikan justifikasi perempuan Islam untuk tidak berkiprah dalam dunia politik.

Kulminasi dari pembatasan ruang publik bagi perempuan terjadi pada masa Kekhalifahan Daulah Islamiyah dan Abbasiyah. Pada masa kepemimpinan Khalifah al-Walid (743-744 M), pada awalnya perempuan ditempatkan di harem-harem dan tidak punya andil dalam keterlibatan publik. Sistem harem ini semakin kukuh tak tertandingi pada akhir kekhalifahan Abbasiyah, yaitu pertengahan abad ke-13 M. Pada periode seperti inilah, lahir tafsir Ath-Thabari, Tafsir Ar-Razi, Tafsir Ibnu Katsir dan lainnya, sehingga tidak bisa dipungkiri akan adanya hadist dan tafsir misoginis yang melecehkan perempuan.
Kerisauan banyak kalangan terhadap ‘kelangkaan ulama’ di Indonesia khususnya
disinyalir karena konstruksi religio-sosiologis yang menitikberatkan pada konsep ulama yang bisa dibilang terlalu ekstrim; yaitu orang yang ahli dalam bidang ilmu agama atau fiqh. Namun dalam konteks Indonesia, keahlian dalam bidang fiqh saja belum cukup bagi seseorang untuk diakui sebagai ulama. Terdapat orang-orang di Indonesia yang ahli dalam bidang ini tapi belum dipandang masyarakat luas sebagai ulama. Malah mereka yang intens terlibat dalam kegiatan religio-sosioal seperti pengajian, majelis ta‘lim, sampai kepada pemberian do’a restu justru disebut ulama. Sering terlihat juga orang yang tidak seberapa ilmunya tetapi dipandang ulama karena punya pesantren. Bagi perempuan tidak mudah –bahkan mustahil- menyandang status sebagai ulama.
Perempuan dalam perjalananya termarginalisasi oleh kaum laki-laki yang menganggap dirinya superior atas kaum wanita. Akibat konstruksi religio-sosiologis yang berdalih teologis, banyak yang menganggap bahwa perempuan itu sub ordinat dari kaum laki laki. Kontroversi mengenai posisi dan peran kepemimpinan atau ulama perempuan sering pula dihadirkan
dalam ranah fiqh. Secara umum, pemahaman fiqh yang berlaku dalam kehidupan sehari-hari masih bersifat patriarki. Kentalnya budaya kebapakan dalam tradisi penciptaan fiqh menjadikan penetapan hukum Islam kurang mendefinisikan kemitraan perempuan dengan laki-laki. Sehingga citra perempuan yang muncul hanya sebagai simbol kesucian Ibu yang mengayomi atau simbul kesetiaan. Jarang perempuan disimbulkan dengan penguasa, hakim, ulama, pejuang dan pemegang karier lainnya. Hal ini tentunya berseberangan dengan semangat al-Qur’an yang mengakomodasi pemberian hak dan status yang menguntungkan bagi perempuan. Oleh karena itu untuk menjawab permasalahan tersebut penulis ingin mengokohkan justifikasi terhadap posisi dan peran ulama perempuan dengan melacak kembali eksistensi ulama perempuan dan mencoba mengungkap kontroversi tentang ulama perempuan di antara kalangan Fuqaha’. Dan karena ada pemahaman yang bias gender dari Fuqaha’, maka kajian ini menawarkan metodologi dekonstruksi fiqh patriarki untuk menuju kesetaraan gender, di antaranya dengan pendekatan sosio-teologis.
Melacak Historiografi Ulama Perempuan
Kajian tentang “ulama perempuan” dalam sejarah masih sangat langka, bukan hanya untuk di Indonesia, tetapi juga di wilayah Muslim lainnya. Meski kajian tentang perempuan dan gender terus menemukan momentumnya, namun perhatian hampir tidak pernah diberikan kepada sejarah sosial intelektual ulama perempuan. Asumsi awal yang digenggam banyak peneliti dan sarjana adalah bahwa hal itu merupakan salah satu bukti tentang tidak signifikannya perempuan dalam keulamaan atau bahkan dunia keilmuan umumnya.
Kajian awal Azra tentang ulama perempuan di Timur Tengah mengindikasikan tentang terbatasnya peran ulama perempuan. Bahkan dapat dikatakan, sejarah ulama perempuan itu tidak pernah ada. Sudah maklum bahwa ulama perempuan tidak mendapatkan tempat yang sewajarnya dalam sumber-sumber sejarah historiografi Islam padahal terdapat cukup banyak ulama perempuan yang mempunyai peran-peran penting dalam keulamaan dan keilmuan Islam, sejak hadith, fiqh, sampai tasawwuf. Juga terdapat peran-peran krusial dalam pembentukan dan pengembangan lembaga-lembaga pendidikan Islam, seperti madrasah, ribat dll.
Harus diakui, salah satu kesulitan besar dalam upaya merekonstruksi dan menulis
sejarah sosial-intelektual ulama perempuan Indonesia adalah langkanya sumber-sumber tertulis tentang mereka.
Dalam historiografi Islam Indonesia tidak tersedia genre literature yang di Timur Tengah dikenal sebagai tarajim (sing. tarjamah atau lengkapnya tarjamah al- hayat). Dalam istilah historiografi di Barat, tarajim dikenal sebagai biographical dictionaries, kamus biografi.
Dan sebagaimana disimpulkan Petry yang dikutip oleh Azra bahwa genre tarajim merupakan fenomena yang indegious bagi masyarakat terpelajar Muslim. Kitab tarajim di Timur Tengah lazimnya disusun berdasarkan lapisan, angkatan atau generasi dalam kurun tertentu atau berdasarkan pengelompokan dalam bidang keahliannya atau profesi tertentu.
Karena itu terdapat, misalnya, tarajim yang merupakan tabaqat para sahabat Nabi Muhammad saw atau tabi’in di masa setelah sahabat, dan generasi-generasi sesudahnya mereka pada abad ke abad dan juga terdapat tarajim berdasarkan keahlian seperti tabaqat al-fuqaha’, tabaqat al-muhaddithin, atau tabaqat al-shifa’
Berkaitan dengan ulama, Azra melihat ada perbedaan persepsi ulama di Indonesia
dan Timur Tengah. Pengertian ulama cenderung kembali meluas mencakup orang-orang yang ahli dalam ilmu agama dan ilmu-ilmu umum, tetapi di Indonesia umumnya pengertian ulama secara sempit dan terbatas hanya meliputi orang yang ahli dalam bidang ilmu agama atau fiqh.
Akibat penyempitan pengertian di atas tidak mengherankan ada kerisauan di kalangan banyak mayarakat Muslim tentang apa yang mereka sebut sebagai ‘kelangkaan ulama’. Kajian ini lebih mendefinisikan kelangkaan ulama itu sebagai akibat dari penyempitan makna ulama, atau akibat dari konstruksi religio-sosialogis yang memarginalkan perempuan, sehingga terapinya adalah adanya dekonstruksi terhadap fiqh patriarki.

Posisi dan Peran Ulama Perempuan
Di zaman Rasulullah saw, kaum perempuan sudah berperan dalam berbagai macam aspek pekerjaan. Terutama aspek pendidikan atau memberi fatwa.  Ummahat al-mu’minin, Aishah mempersilahkan kepada orang yang ingin mendalami sunnah Rasulullah saw. Bahkan sebagian mereka turut serta dalam jihad di jalan Allah dan ikut berperang yang dipimpin oleh Rasulullah saw. Misalnya, Nasibah bint. Ka’ab ikut serta dalam perang Uhud, Aminah bint. Qaysh al-Ghifariyah dan Ablat Bila’ Khusna ikut dalam perang Khaybar, Ummu ‘Atiyah al-Ansariyah dan al-Rabi’ah bint. Mas’ud yang ikut dalam peperangan lainnya. Pada masaKalifah-pun perempuan memiliki peran penting. Umar bin al-Khattab mengangkat al-Shifa’ bint. Abdillah sebagai pengawas keuangan yang merupakan tugas penting bagi negara. Peran perempuan khususnya dalam memberi fatwa>ini sudah teraplikasi pada zaman Rasulullah saw. Dan menurut penulis peran memberi fatwa ini bisa diqiyaskan salah satu di antara peran Ulama. Untuk lebih jelasnya, penulis akan menjelaskan beberapa pengertian “ulama” menurut persepsi yang berbeda-beda.
Secara etimologi ulama berasal dari kata ‘alima-ya’lamu-‘ilman (orang yang memiliki ilmu yang mendalam, luas dan mantap). Di dalam al-Qur’an terdapat dua kata ulama yaitu pada surat Fatir ayat 28 dan surat al-Shu‘ara’ ayat 197. Sedang secara terminologis ulama berarti:
Pertama, menurut Muhammad Nawa>wi> dari Tanahara Banten Jawa Barat dalam Sharah Asma’ al-Husna dan Sayyid Qutb dalam tafsirnya Fi al-Zilal al Qur’an (jilid VI juz xxii:130):
ulama adalah hamba Allah yang memiliki jiwa dan kekuatan ‘khashyatullah’, mengenal Allah dengan pengertian yang hakiki, pewaris Nabi, pelita ummat dengan ilmu dan bimbingannya, menjadi pemimpin dan panutan yang uswah h}asanah dalam ketaqwaan dan istiqamah yang menjadi landasan baginya dalam beribadah dan beramal shaleh selalu benar dan adil. Sebagai mujahid dalam menegakkan kebenaran, tidak takut pada celaan dan tidak mengikuti hawa nafsu, menyuruh yang ma‘ruf dan mencegah pada yang munkar.
Kedua, menurut Horikoshi ulama adalah sekelompok sarjana hukum Islam yang secara tradisional berfungsi sebagai muballigh, guru dan tempat bertanya umat Islam dan khalifah.
Secara teoritis peranan mereka sebagai ahli hukum Islam ortodoksi menjamin praktek-praktek keagamaan para penganut dan persoalan-persoalan kenegaraan sesuai dengan shari‘ah Islam. Dalam kehidupan masyarakat lokal, wilayah kekuasaan ulama biasanya dibatasi pada lembaga-lembaga Islam semacam masjid dan madrasah, di mana mereka mengabdi sebagai fungsionaris agama.
Ketiga, menurut Ibn al-Jawzi, ulama adalah orang yang berilmu dengan segala disiplin ilmunya, seperti para Qari’, ahli Hadith, ahli Fiqh, ahli al-wu’az dan ahli al -Qisas (para penasehat dan penutur kisah), ahli al-Lughah dan para al-Shu’ara’.
Keempat, ulama menurut al-Ghazali adalah ada dua yaitu ulama dunia dan ulama akhirat. Ulama dunia adalah ulama yang orientasi keilmuannya tertuju pada kenikmatan dunia, yaitu untuk mencapai kedudukan dan jabatan (ulama’ al-Su’). Sedangkan ulama akhirat (ulama’ ghyr al-su’ ) adalah
1) tidak mencari ilmu dengan tujuan untuk mendaptkan harta kekayaan dunia.
2) berbuat sejalan dengan apa yang didakwakan, ulama tidak menyuruh kecuali dia orang pertama yang telah mengerjakan.
3) orientasi keilmuanya adalah ilmu yang bermanfaat untuk kehidupan akhirat.
4) tidak condong pada kenikmatan makanan dan minuman, kesenangan pakaian, dan gemerlapanya tempat tinggal.
5) menjauhi dengan penguasa.
6) berhati-hati dalam memberikan fatwa.
7) perhatian ilmunya lebih pada ilmu batin dan ilmu akhirat.
8) menjadikan kekuatan keyakinan sebagai modal utama dan pertama dalam mencapai tujuan.
9) menampilkan prilaku yang rendah hati dan menghiasi diri dengan lima sifat: khashyah, khushu’, tawadu’, husn al-khuluq dan zuhud.
Kelima, ulama menurut al-Suyuti adalah terbagi menjadi empat, yaitu 1) ulama ahli tafsir dari kalangan sahabat, tabi‘in dan tabi‘ al-tabi‘in (tiga generasi pertama). 2) Mu‘tazilah, Shi‘ah dan semisalnya. Pembagian ulama menurut al-Suyuti ini menurut penulis ada dikotomi terhadap ulama ahli sunnah dan ahli hadith. Karena meski ada perbedaan sedikit tentang makna hadith dan sunnah dari ulama fiqh dan ulama usul tapi menurut ulama hadith, sunnah dan hadith adalah sinonim atau muradif.
Keenam, term ulama menurut Arnold H. Green adalah corps of religious leaders kesatuan dari pemimpin agama.” Dan dalam penjelasan yang diberikan Green dalam penjelasanya tentang ulama juga tidak ada batasan ulama itu harus dari kaum laki-laki.
Ketujuh, ulama menurut Azyumardi Azra adalah orang yang mengetahui atau orang yang memiliki ilmu. Tidak ada pembatasan ilmu spesifik dalam pengertian ini. Tetapi seiring perkembangan ilmu justru pengertian ulama menyempit menjadi orang yang memiliki pengetahuan dalam bidang fiqh.
Kedelapan, ulama menurut Ali Yafie sebagaimana yang ia kutip dari ‘Imad al-Din Ibn Kathir yang menukilkan keterangan dari Ibn ‘Abbas adalah bagian dari uli al-amr yaitu ahl al- fiqh wa al-din (ahli dalam masalah fiqh dan agama). Sama dengan pendapat Mujahid, ‘Ata’, al- Hasan al-Bashri dan ‘Abu al-‘Aliyah (ulama tabi‘in). Pengertian ini diperkuat oleh ayat 63 surat al-Maidah dan ayat 43 surat al-Nahl, ditambahkan dengan hadith sahih yang diriwayatkan oleh Abu Hurayrah ra. Dari Nabi saw: “Barangsiapa mendurhakai aku berarti dia sudah mendurhakai Allah dan barangsiapa yang telah mendurhakai amir yang telah aku angkat berarti dia telah mendurhakai aku.” Penjelasan ini perintah untuk menaati perintah terhadap umara’ dan ulama.
Pengertian ulama yang dijelaskan di atas sama sekali tidak ada yang menyinggung
ulama yang dipolakan harus berasal dari jenis kelamin laki-laki atau perempuan, sebagaimana faham marja‘ dalam Sh‘ah yang mengharuskan dari laki-laki. 
Namun praktik anomali dari hal ini juga tetap ada dan tidak menghentikan kontroversi yang terjadi di kalangan al-Fuqaha’ tentang peran perempuan dalam beberapa posisi seperti jabatan kehakiman dan pemimpin atau imam yang diqiyaskan dalam peran mengemukakan pendapat dan mengeluarkan fatwa.
Sebagian fuqaha’- Imam Malik, Imam Shafi‘i dan Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa perempuan tidak boleh menduduki jabatan sebagai hakim. Adapun Imam Abu Hanifah al-Nu’man berpendapat bahwa boleh saja perempuan menduduki jabatan kehakiman kecuali dalam memutuskan hukuman (hudud) dan qisas, sebab tidak ada kesaksian perempuan dalam hal itu. Maka boleh dan tidaknya jabatan kehakiman, menurut Abu Hanifah dengan boleh tidaknya memberikan kesaksian. Adapun pendapat yang ketiga adalah pendapat Ibn Jarir al-Tabari. Ia mengatakan bahwa pada umumnya bahwa perempuan boleh saja menduduki jabatan kehakiman. Hal itu diqiyaskan dengan bolehnya perempuan mengemukakan pendapat dan mengeluarkan fatwa, maka perempuan boleh menduduki jabatan kehakiman. Tidak ada teks yang melarang perempuan menduduki jabatan kehakiman. Berdasarkan hadith mutawatir dari ‘Aishah ra. tentang perang Jamal. Ia memimpin pasukan dan mengobarkan revolusi melawan Ali ra, padahal bersamanya juga ada sahabat-sahabat terbaik seperti Talhah, Zubayr dan anaknya Abdullah

Tawaran Dekonstruksi Fiqh Patriarki
Kaum feminis muslim mempunyai corak tersendiri dalam penafsiran al-Qur’an. 1Feminis apologis yaitu yang menggunakan pendekatan filologis dan kontekstual. Penekananya pada mereka Hal ini muncul ini muncul karena masih dijumpainya praktik marginalisasi peran perempuan dalam kehidupan sosial agaknya berakar pada budaya patrilineal yang mengedepankan posisi dan peran laki- laki. Faktor utama dari budaya itu diantaranya adalah pemahaman keislaman (fiqh) yang berwawasan sempit, sehingga jarang perempuan disimbolkan sebagai penguasa, hakim, ulama, pejuang dll. Pemahaman fiqh tersebut rasanya menyeleweng dari semangat al-Qur’an yang cenderung memberikan penghargaan positif kepada kaum perempuan.
Al-Qur’an sendiri secara umum mengidealkan perempuan sebagai sosok yang memiliki kemandirian politik (al-Mumtahanah:12), sebagaimana sosok Ratu Balqis yang mempunyai kerajaan super power (al-Naml; 23), memiliki kemandirian dalam menentukan pilihan-pilihan pribadi (al-Tahrim: 11), perempuan dibenarkan untuk menyuarakan kebenaran dan melakukan gerakan oposisi terhadap berbagai kebobrokan (al-Tawbah: 71), bahkan al-Qur’an juga menyerukan perang terhadap suatu negeri yang menindas perempuan (al-Nisa’: 5).
Di samping itu Masdar Farid Mas’udi juga melihat dalam kitab fiqh klasik masih
dijumpai bias anti perempuan atau bias jender. Pemahaman fiqh yang tidak egaliter ini mengundang reaksi H.A.R. Gibb dalam buku Modern Trend in Islam yang menyatakan bahwa hukum fiqh mengenai perempuan kurang mencerminkan semangat al-Qur’an. Hukum itu hanya didasarkan pada hadith-hadith yang mencerminkan tradisi suku Arab saja. Padahal al-Qur’an hampir setiap hukum mengenai perempuan lewat pemberian hak dan status yang menguntungkan..
Asghar Ali Engineer mensinyalir adanya praktek patriarki dalam Islam itu juga akibat alasan teologis bahwa perempuan diciptakan lebih rendah dari laki-laki. Ia mengusulkan agar tidak menafsirkan yang lepas dari konteks sosial. Seyogyanya penafsiran itu digunakan pendekatan sosio-teologis sesuai dengan ayat al-Qur’a>n itu sendiri yang amat kontekstual selain harus normatif yang menginginkan keterlibatan perempuan dalam segala aspek kehidupan. Artinya penafsiran saat itu dilakukan realitas sosio klasik yang memang amat sederhana dan tidak banyak tuntutan yang harus melibatkan peran perempuan. Dan demkian struktur sosial zaman Nabi tidak benar-benar mengakui kesejajaran laki-laki dan perempuan.
Seperti halnya larangan perempuan menjadi pemimpin atau ulama atau imam s} alat itu didasarkan pada dalil-dalil umum bahwa “al-Rijal Qawwamun ‘ala al-Nisa dan hadith tentang larangan perempuan menjadi pemimpin “tidak akan bahagia suatu kaum jika urusannya diserahkan pada kaum perempuan. {Hadith ini diriwayatkan oleh Ibn Majah dan hadith ini tidak berhasil dilacak dalam kitab-kitab standar, baik melalui Mu‘jam al-Mufahras sampai pada CD hadith sehingga tidak bisa dibahas sanadnya. Satu-satunya sumber hadith tersebut ada di kitab Bulughul-Maram hadith nomor 437 dan kitab Sharah Subul al-Salam.
Menurut kitab ini hadith tersebut da‘if karena ada salah satu perawinya Abdullah bin Muhammad al-Adaw dari ‘Ali bin Zayd bin Jad’an yang dinilai oleh Waki’ da‘if. Pada jalur lain terdapat pula Abd al-Mulk bin Habib yang sering mencampuradukkan sanad. Dari deskripsi seperti inilah perlu adanya dekonstruksi fiqh patriarki dengan pendekatan sosio-teologis.
Metodologi sosio-teologis ini dipilih minimal karena dua alasan. 
Pertama, sebagaimana al-Din al-Zarkashi yang dikutip oleh Subhi al-Salih bahwa ‘ilmu al- usul yang disebut di dalamnya oleh al-Zarkashi termasuk ilmu Kalam (teologi) adalah ‘ilmun nadij wa ma ihtaraq yang mempunyai maksud sebagai ilmu yang sudah matang dan tidak terbakar. Meski dua kata (nadij dan ihtaraq) ini sangat interpretable, namun bagi al-Zarkashi bisa dipahami bahwa teologi Islam adalah ilmu yang sudah matang dan masih bisa dikembangkan.  Bahkan dalam perkembangan terakhir al-Jabiri, teologi Islam dimasukkan dalam kelompok epistemology bayani . Sebagimana Amin Abdullah yang juga mengkelompokkan teologi Islam dalam epistemologi nalar bayani. Seandainya bisa difahami dengan pendapat al-Zarkashi, maka teologi Islam menurut al-jabiri tadi bisa difahami sebagai ilmu yang belum matang dan masih sangat bisa dikembangkan oleh para ilmuwan.
Sebagaimana dikatakan oleh ilmuwan Jujun S. Suriyasumantri bahwa ilmuwan itu
mempunyai tanggungjawab sosial. Bukan saja karena dia adalah warga masyarakat, namun yang pasti dia juga mempunyai fungsi tertentu dalam kelangsungan dan pemecahan masalah dalam masyarakat. Dengan demikian siapapun ilmuwan dan di era kapanpun mereka hidup, maka mereka syah-syah saja untuk mencurigai teologi Islam dan permasalahanya.
Oleh karena itu teologi tidak lagi membicarakan tentang “Tuhan” murni apa adanya saja, tetapi ilmu usul al-din yang menawarkan konsepsi-konsepsi tentang alam dan motif- motif untuk bertindak. Artinya teologi tidak hanya memerlukan pijakan dasar akaliah- rasional, melainkan juga pijakan dasar kenyataan. Tawhid harus dikaitkan dengan perbuatan; dari Tuhan menuju bumi;
dari dzat Tuhan menuju kepribadian manusia; nilai-nilai kemanusiaan diderivasi dari sifat-sifat Tuhan; dari kekuasaan Tuhan menuju kemampuan berpikir manusia; dari keabadian Tuhan menuju gerakan waktu (sejarah) dan dari eskatologi menuju futurology
 Dari sinilah teologi Islam pada gilirannya akan memberi perubahan
pada berbagai sistem dalam masyarakat;
1) nalar, amal, pemikiran praksis sosial,
2)
 tawhid dan konstelasi politik nasional,
3)
 tawhid dan keadilan sosial-ekonomi,
4)
 tawhid dan hubungan umat beragama. 
Dan dalam hal ini, tawhid dan keadilan sosial menjadi bidikan untuk kesetaraan gender.
Argumentasi kedua, munculnya diskursus gender adalah karena adanya konstruksi
sosial yang berakibat pada marginalisasi (baca: terhadap kaum perempuan), dan konstruksi sosial yang demikian ini diakibatkan salah satunya adalah faktor para pengiterpretasi terhadap teks agama terutama pada teks-teks yang bersifat misogini (teks-teks yang tidak memihak perempuan) yang masih menimbulkan pemahaman patrilineal (fiqh patriarki), sehingga perlu adanya dekonstruksi fiqh patriarki yang berpijak pada tawhid dan keadilan sosial.
Tawhid adalah payung utama ajaran Islam dan merupakan konsep pokok yang lain
dalam teologi Islam. Tawhid bukan berarti keesaan Tuhan. Dalam teologi pembebasan menurut Ali Engineer, di samping punya makna keesaan Tuhan, tetapi tawhid juga sebagai kesatuan manusia (unity of mankind) yang tidak akan benar-benar terwujud tanpa terciptanya masyarakat tanpa kelas (classles society). Konsep tawhid ini sangat dekat dengan semangat al- Qur’an untuk menciptakan keadilan dan kebaikan (al-‘adl wa al-ahsan) 5Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan (terj.), Agung Prihantoro (Yogyakarta: Pustaka Pelajar),
Menurut Nur Cholis Madjid kata “iman” mempunyai akar yang sama dengan “aman” (Arab: aman, yakni kesejahteraan dan kesantausaan) dan “amanat” (Arab: amanah, yakni keadaan bisa dipercaya atau diandalkan (Inggris: trustworthinness) lawan dari khianat. Oleh karrena itu “iman” yang membawa rasa “aman” dan membuat orang mempunyai “amanat”. Dengan inilah “iman” tanpa konsekuensi yang nyata bisa tak bermakna atau absurd. Dan salah satu wujud asal “iman” adalah sikap hidup yang memandang Tuhan sebagai tempat menyandarkan diri dan menggantungkan harapan. Oleh karena itu konsistensi “iman” adalah husn al-zann dan optimis kepada Tuhan serta kemantapan kepadaNya sebagai Yang Maha Kasih dan Maha Sayang, di samping pengetahuan-Nya adalah sifat Tuhan yang paling komprehensif dan serba meliputi.
Berkaitan dengan dekonstruksi fiqh patriarki yang berpijak pada asas tawhid dan keadilan sosial, penulis melihat bahwa Islam memberi peluang yang sama antara laki-laki dan perempuan untuk beramal saleh dan Tuhanpun tidak menyia-nyiakan amal saleh tersebut.
Dan semua itu tercantum dalam teks-Nya al-Qur’an 9 (al-Tawbah): 71, 16 (al-Nahl): 97, 3 (Ali- Imran): 195. Dengan demikian sebagai konsekwensi “iman” serta “tawhid” maka tidak ada lagi alasan untuk membatasi laki-laki dan perempuan bahkan membedakannya dalam menjalankan ‘amanat’nya untuk beramal saleh. Kalaupun laki-laki bisa menduduki posisi dan berperan sebagai “ulama”, maka perempuanpun demikian. Dan itulah keadilan Tuhan yang diberikan kepada hambaNya.
Memang terjadi kontroversi antara para penginterpretasi agama (sebut:para  fuqaha’) untuk menentukan boleh dan tidakbolehnya implikasi perempuan untuk posisi dan peran mereka dalam kepemimpinan, hakim, atau kalau boleh sebut saja ulama  sebagaimana penjelasan di atas. Di antaranya para pengiterpretasi masih bias gender untuk memahami teks-teks agama yang bersifat misogini karena perspektif patrilinial. Dan ini semua di antaranya karena alasan teologis sebagaimana yang dikatakan Ali Engineer. Maka dari itu kajian ini menawarkan pula dekonstruksi epistem hukum Islam terutama pada fiqh patriarki yang berpijak pada teologis.
Untuk melakukan dekonstruksi epistemologi hukum Islam, seseorang harus melakukan ‘pembacaan ulang” atau i‘adat al-qiraah terlebih dahulu atas nama fenomena “fakta Qur’an” dan “fakta Islam” yang melahirkan formulasi hukum Islam klassik-skolastik. Pembacaan ulang tersebut penting dilakukan untuk mengetahui sebab-sebab yang melatarbelakangi kelahiran formulasi hukum tersebut. Pertama-tama, pembacaan itu berkaitan dengan fakta Qur’ani, sebab Qur’an merupakan titik tolak yang utama dalam studi sejarah kritis pemikiran Islam-Arab untuk memahami bagaimana dunia Islam dilihat seperti apa adanya sekarang ini. Masalah umumnya berkaitan dengan interaksi antara wahyu, kebenaran dan sejarah yang berlangsung sejak tahun 622 M hingga sekarang.
Itu adalah konsep Arkoun. Melalui pembacaan ulang (i‘adat al-qira’ah) Arkoun ingin mendialogkan kedua pendekatan tersebut secara proporsional. Dengan kata lain ia ingin menekankan orientasi kontekstualitas dan historis atas wahyu tanpa melupakan tekstualitas dan normatifitas wahyu tersebut. Dalam kritik ini ia menawarkan empat analisis dalam memahami al-dahirah al-Qur’aniyah (fakta Qur’ani) dan al-dahirah al-islamiyah (fakta Islami)
yaitu: analisis historis, antropologis, sosiologis yang ketiganya itu berorientasi pada konteks, serta analisis linguistik (hermeneuitika dan semiotik) yang berorientasi pada tekstualitas dan normativitas wahyu.
Melalui empat analisis itu, teks-teks agama tentang perempuan dapat dibaca secara
lebih terbuka dan objektif, seperti hadith misogini (yang isinya membenci kaum perempuan) atau teks Qur’an yang membahas tentang superioritas laki laki. Contoh hadith misogini adalah yang disebutkan al-Bukhari dari Abu Bakrah:
“Siapa yang menyerahkan urusanya kepada kaum perempuan, mereka tidak akan mendapatkan kemakmuran.”
Adapun usaha pembacaan ulang terhadap hadith tentang kepengurusan perempuan sebagai fakta Qur’ani bisa berpijak pada QS: 9 (al-Tawbah): 7 yang mengemukakan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki kewajiban melakukan kerjasama dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk bidang politik. Begitu halnya dalam QS: 4 (al-Nisa’): 124 yang menyebutkan bahwa Allah telah menciptakan laki-laki dan perempuan memiliki kemampuan yang sama untuk mengerjakan amal-amal saleh dalam berbagai segi kehidupan. Dan mereka akan mendapatkan hasil atau balasan yang sama. Dalam ayat tersebut tampak jelas bahwa Islam memilki konsep keadilan jender dan tidak mengenal diskriminasi.
Sementara itu analisis fakta Islami (maksudnya analisis historis, antropologis, sosiologis) dalam usaha pembacaan ulang terhadap hadith tentang kepengurusan atau kepemimpinan perempuan dapat disampaikan sebagai berikut.
Pertama, sesuai dengan analisis historis hadith tersebut di atas terdapat dalam Musnad Ahmad H{anbal (juz V), Sahih al-Bukhari (juz IV) dan al-Nasa’i (juz IV). Hadith itu oleh al- Ghazali dalam kitabnya al-Sunnah al Nabawiyah bayn al-Fiqh wa al Hadith dinilai sahih dari sisi matan, sedangkan dari sisi sanadnya adalah hadith ahad yang sebagian orang meragukan autentitasnya. Namun perlu digarisbawahi bahwa hadith itu merupakan komentar Nabi atas situasi yang trjadi di Persia. Jadi tidak bisa diperlakukan secara umum Dari segi perawi hadith, memilki sifat dapat dipercaya, dan dalam menuturkan hadith itu dengan penerimanya (mata rantai perawinya bersambung atau pernah bertemu). Hadith tersebut diriwayatkan oleh Abu Bakrah saja dan diturunkan kepada dua orang, yaitu Abdur Rahman bin Jausan (menantunya) dan al-Hasan.
Kedua, analisis sosiologisnya adalah bahwa peristiwa yang melatarbelakangi lahirnya hadith tersebut adalah wafatnya Kisra Persia dan diangkatnya anak perempuannya yang bernama Buran menggantikan Ayahnya. Kerajaan Persia saat itu sedang dihadapkan pada tantangan yang berat, yaitu kerajaan Romawi yang menyerbu wilayah Persia dan berhasil menguasai beberapa daerah. Di samping situasi kerajaan yang kacau, diperkirakan Buran tidak memiliki kemampuan untuk memimpin kerajaan besar seperti Persia.
Penuturan tentang kondisi Persia itu disampaikan oleh Abdullah bin Hadhafah yang baru pulang dari Persia. Ketika mendengar berita itu, Rasulullah mengomentari melalui sabdanya tersebut di atas. Di sini terlihat adanya peristiwa tertentu yang menyebabkan lahirnya hadith tersebut. Dengan demikian, apabila dihubungkan dengan hal ini, sabda Rasulullah tersebut tidak berlaku untuk perempuan umum tetapi kondisional.
Ketiga, secara antropologis bisa dikatakan bahwa sistem pengetahuan Abu Bakrah sebagai seorang budak yang mendapatkan kemerdekaan setelah masuk Islam masih sulit untuk memilih salah satu dari orang-orang yang dicintai Rasulullah yang sedang terlibat konflik tersebut. Hadith yang melarang seperti riwayat Abu Bakrah itu disampaikan oleh Abu Bakrah sewaktu ia menghadapi situasi yang sulit karena harus memilih antara mendukung ‘Ali atau ‘Aishah yang pada waktu itu terlibat konflik yang berpangkal pada terbunuhnya Uthman bin ‘Affan. Konflik itu memuncak dengan terjadinya perang Jamal. Akhirnya Abu Bakrah cenderung memihak kepada Ali bin Abi Talib yang pada waktu itu berhasil mengalahkan ‘Aishah dan menguasai kota Basrah. Dalam kondisi seperti itu Bakrah mengungkap hadith tersebut. Dengan demkian dapat difahami bahwa hadith itu tidak berlaku umum dan pemunculannyapun diwarnai oleh kepentingan tertentu. Dengan usaha dekonstruksi seperti ini, mungkin bisa menghasilkan suatu pemahaman yang dikehendaki (fiqh). Paradigma teologis yang tepat dan responsif ini bisa dikatakan sebagai usaha penyegaran wawasan ideologi. Maka lewat cara ini, perempuan juga berhak memperoleh peluang untuk memerankan dan memosisikan diri mereka setara dengan laki-laki, baik sebagai pemimpin, hakim, ulama dan lain-lain. Wa Allah al-A‘lam bi al-Sawab

Daftar Rujukan
Abdullah, Amin. “Muhammed Arkoun dan Kritik Nalar Islam” dalam Johan Hendrik Meuleman (ed.). Islam Tradisi Modernisme dan Metmodernisme: Memperbincangkan Pemikiran Muhammaed Arkoun. Yogyakarta: LKiS, 1996.
Amin, Qasim. Tahrir al-Mar’ah wa al-Mar’ah al-Jadidah. Kairo: al-Markaz al-‘Arabiyah, 1984.
Anwar, Ghazali. “Wacana Teologis Feminis Muslim,” dalam Wacana Teologis Feminis, ed. Baidawi, Zakiyyudin. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.
Arkoun, Mohammed. Pemikiran Arab, terj. Yudian W. Asmin. Yogyakarta: Pustaka pelajar, 1996.
al-Asqalany, Ibn Hajr, Fath al-Bahr fi Sharh al- Bukhari, juz XIII. Ttp, Maktabah Salafiyah, tt.
Ash-Siddiqy, T.M. Hasbi. Lapangan Perjuangan Wanita Islam.Yogyakarta: Menara kudus, 1952.
Azra, Azyumardi. Historiografi Islam Kontemporer: Wacana, Aktualitas dan Aktor Sejarah. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004.
Engineer, Asghar Ali. Islam dan Teologi Pembebasan (terj.), Agung Prihantoro. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
________. Pembebasan Perempuan (terj.) Agus Nuryanto dari “The Qur’anWomen and Modern Society”. Yogyakarta: LkiS, 1999.
Beck, Lois dan Nikki Keddie. Women in the Muslim World. Cambridge: Harvard University Press, 1980.
Burhanudin dkk, Jajat. Ulama Perempuan Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2002.
al-Banna, Hasan. al-Mar’ah al-Muslimah. Kairo: al-Maktabah al-Sunnah, tt.
Chalil, Munawar. Nilai Wanita. Semarang: C.V Ramadhani, 1969. Al Ghazali , Ihya’ Ulum al-Din. Kairo: Dar al-Sha‘b, tt.
Green, Arnold H. The Tunisia Ulama: Social Structure and Response to Ideological Current. Leiden: E.J. Brill, 1978.
Hanafi, Hassan. Min al-‘Aqidah ila al-Surah: Muhawalat li I‘adah Bina’ Ilmu Usul al-Din. Kairo:
Maktabah Madbuli, tth, Vol. I.
________. Islam in The Modern World: Religion, Ideology and Development. Kairo: The Anglo-
Egyption Bookshop, tth, Vol. I.
Horikoshi, Horikoshi. Kyai dan perubahan Sosial. Jakarta: P3M, 1987.
Ilyas, Hamim. “Rekonstruksi Fiqh Ibadah Perempuan” dalam Wawan Gunawan dan Evi
Shofia Inayati (ed.). Wacana Fiqh Perempuan dalam Perspektif Muhammadiyah. Yogyakarta:
Majelis Tarjih dan UHAMKA, 2005.
Ismanto, Jumari. Peranan Wanita dalam Pembangunan Bangsa Menurut Islam. Surabaya: Bina
Ilmu,1982.
Jaelani, Abd Kadir. Peran Ulama dan Santri dalam Perjuangan Politik Islam di Indonesia. Surabaya:
Bina Ilmu, 1994.
al- Jawzi, Ibn. Talbis Iblis . Kairo: Maktabah al-Madani, 1998.
Ja’far, Muhammad Anis Qasim. Perempuan dan Kekuasaan: Menelusuri Hal Politik dan Persoalan
dalam Islam, terj.. Amzah: tp, 2002.
Kausar, Zeenath. Woman as The Head of State in Islam?: A study of Few Positive and Negative
Argument. Kuala Lumpur: ILMIAH PUBLISHERS SDN. BHD. 2002.
Khairin, Nur. “Perempuan sebagai Imam Shalat” dalam Sri Suhandjati Sukri,(ed) Pemahaman
Islam dan Tantangan Keadilan Jender. Yogyakarta: Gama Media, 2002.
Manheim, Karl. Ideologi and Utopia. New York: International Library, 1936.
Mernissi, Fatimah.Wanita dalam Islam, (ter) Yaziar Radiantrti. Bandung: Pustaka, 1994.
Mutahhari, Morteza. Wanita dan Hak-Haknya Dalam Islam. Bandung : Pustaka, 1986.
Nakamura, Mitsuo. ‘‘Muhammadiyah: Gerakan Islam Yang Kokoh”, wawancara dalam Media
Inovasi, No. 11, Tahun VI, Desember 1994.
Ridla, Muhammad Rashid. Panggilan Islam terhadap Wanita. Bandung: Pustaka, 1986.
Salman, Ismah. “Keluarga Sakinah” dalam ‘Aisyah: Diskursus Gender di Qrganisasi Perempuan
Muhammadiyah .Jakarta: PSAP Muhammadiyah, 2005.
Shuqqah, Abdul Halim Abu. Tahrir al-Mar’ah fi ‘Asr al-Risalah. Kuwait: Dar al-Qalam ,1998.
Syam, Nur. Madzhab-Madzhab Antropologi. Yogyakarta: LkiS, 2007.
al-Shalih, Subhi. ‘Ulum al-Hadith wa Mustalahuh. Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, 1988.
Sharma, Arvind. Women in the World Religion dalam Perempuan dalam Agama Dunia, al-Mirzanah,
Syafaatun dkk (terj). Jakarta: Depag RI dan CIDA-McGill-Project, 2002.
Shihab, Quraish. Peran perempuan menurut Islam. Jakarta: INIS, 1991.
Siswomihardjo, Koento Wibisono. “Hubungan Filsafat, Ilmu dan Budaya”, Makalah
disampaikan pada matakuliah umum di Semarang, 2001.
Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1990.
al-Suba’i, Mustafa. al-Mar’ah bayna al-Fiqh wa al-Qanun. Kairo: Dar al-Salam, 1998.
Suriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,1990.
Surur-Iyunk, Bahrus. Teologi Amal Saleh: Membongkar Nalar Kalam Muhammadiyah Kontemporer.
Surabaya: LPAM, 2005.
al-Suyuti, Jalaludin. Tabaqat al-Mufassirin. Beirut: Dar al-Kutub alIlmiyah, tt.
Supena, Ilyas dan M. Fauzi. Dekonstruksi dan RekonstruksiHukum Islam. Semarang: Gama Media, 2002.
Umar, Nasarrudin. Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif al-Qur’a>n. Jakarta: Paramadina, 1999.
Vitalaya, Aida. Penelitian Peran Serta, dalam Penelitian Jender. Jakarta: Depdikbud, 1995.
Yudi, Masfu’. Pengantar Ilmu Hadi>th. Surabaya: Bina Ilmu, 1988.
Yafie, Ali, “Pengertian Wali al-Amr dan Problematika Hubungan Ulama dan Umara” dalam Nurcholish Madjid, dkk, Islam Universal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007

0 komentar:

Posting Komentar