Gelar Imam, Syekh, Habib
dan Sayid
Menurut Sayyid Muhammad Ahmad al-Syatri dalam bukunya Sirah
al-Salaf Min Bani Alawi al-Husainiyyin, para salaf kaum ‘Alawi di Hadramaut
dibagi menjadi empat tahap yang masing-masing tahap mempunyai gelar tersendiri.
Gelar yang diberikan oleh masyarakat Hadramaut kepada tokoh-tokoh besar
Alawiyin ialah :
IMAM (dari abad III H sampai abad VII H). Tahap ini
ditandai perjuangan keras Ahmad al-Muhajir dan keluarganya untuk menghadapi
kaum khariji. Menjelang akhir abad 12 keturunan Ahmad al-Muhajir tinggal
beberapa orang saja. Pada tahap ini tokoh-tokohnya adalah Imam Ahmad
al-Muhajir, Imam Ubaidillah, Imam Alwi bin Ubaidillah, Bashri, Jadid, Imam
Salim bin Bashri.
SYAIKH (dari abad VII H sampai abad XI H). Tahapan ini
dimulai dengan munculnya Muhammad al-Faqih al-Muqaddam yang ditandai dengan
berkembangnya tasawuf, bidang perekonomian dan mulai berkembangnya jumlah
keturunan al-Muhajir. Pada masa ini terdapat beberapa tokoh besar seperti
Muhammad al-Faqih al-Muqaddam sendiri. Ia lahir, dibesarkan dan wafat di Tarim.
Di kota Tarim, ia belajar bahasa Arab, teologi dan fikih sampai meraih
kemampuan sebagai ulama besar ahli fiqih. Ia juga secara resmi masuk ke dunia
tasawuf dan mencetuskan tarekat ‘Alawi. Sejak kecil ia menuntut ilmu dari
berbagai guru, menghafal alquran dan banyak hadits serta mendalami ilmu fiqih.
Ketika ia masih menuntut ilmu, Syekh Abu Madyan seorang tokoh sufi dari Maghrib
mengutus Syekh Abdurahman al-Muq’ad untuk menemuinya. Utusan ini meninggal di
Makkah sebelum sampai di Tarim, tetapi sempat menyampaikan pesan gurunya agar
Syekh Abdullah al-Saleh melaksanakan tugas itu. Atas nama Syekh Abu Madyan,
Abdullah membaiat dan mengenakan khiqah berupa sepotong baju sufi kepada
al-Faqih al-Muqaddam. Walaupun menjadi orang sufi, ia terus menekuni ilmu
fiqih. Ia berhasil memadukan ilmu fiqih dan tasawuf serta ilmu-ilmu lain yang
dikajinya. Sejak itu, tasawuf dan kehidupan sufi banyak dianut dan disenangi di
Hadramaut, terutama di kalangan ‘Alawi.
Abdullah bin Alwi bin Muhammad al-Faqih al-Muqaddam.
Ia memulai pendidikannya pada ayah dan kakeknya lalu meneruskan pendidikannya
di Yaman dan Hijaz dan belajar pada ulama-ulama besar. Ia kemudian bermukim dan
mengajar di Mekkah dan Madinah hingga digelari Imam al-Haramain dan Mujaddid
abad ke 8 Hijriyah. Ketika Saudaranya Imam Ali bin Alwi meninggal dunia,
tokoh-tokoh Hadramaut menyatakan bela sungkawa kepadanya sambil memintanya ke
Hadramaut untuk menjadi da’i dan guru mereka. Ia memenuhi permintaan tersebut
dan berhasil mencetak puluhan ulama besar.
Abdurahman al-Saqqaf bin Muhammad Maula al-Dawilah bin
Ali bin Alwi bin Muhammad al-Faqih al-Muqaddam. Ia digelari al-Saqqaf karena
kedudukannya sebagai pengayom dan Ilmu serta tasawufnya yang tinggi. Pemula
famili al-Saqqaf ini adalah ulama besar yang mencetak berpuluh ulama termasuk
putranya sendiri Umar Muhdhar. Ia juga sangat terkenal karena kedermawanannya.
Ia mendirikan sepuluh masjid serta memberikan harta wakaf untuk pembiayaannya.
Ia memiliki banyak kebun kurma.
Umar Muhdhar bin Abdurahman al-Saqqaf adalah imam
dalam ilmu dan tokoh dalam tasawuf. Ia terkenal karena kedermawanannya. Ia
menjamin nafkah beberapa keluarga. Rumahnya tidak pernah sepi dari tamu. Ia
mendirikan tiga buah masjid. Menurut Muhammad bin Abu Bakar al-Syilli, ia telah
mencapai tingkat mujtahid mutlaq dalam ilmu syariat. Ia meninggal ketika sujud
dalam shalat Dzuhur.
Abdullah al-Aidrus bin Abu Bakar al-Sakran bin
Abdurahman al-Saqqaf. Hingga usia 10 tahun, ia dididik ayahnya dan setelah
ayahnya wafat ia dididik pamannya Umar Muhdhar hingga usia 25 tahun. Ia ulama
besar dalam syariat, tasawuf dan bahasa. Ia giat dalam menyebarkan ilmu dan
dakwah serta amat tekun beribadah.
Ali bin Abu Bakar al-Sakran bin Abdurahman al-Saqqaf.
Ia menulis sebuah wirid yang banyak dibaca orang hingga abad ke 21 ini. Ia
terkenal dalam berbagai ilmu, khususnya tasawuf. Menurut Habib Abdullah
al-Haddad, ia merupakan salaf ba’alawi terakhir yang harus ditaati dan
diteladani.
HABIB (dari pertengahan abad XI sampai abad XIV).
Tahap ini ditandai dengan mulai membanjirnya hijrah kaum ‘Alawi keluar
Hadramaut. Dan di antara mereka ada yang mendirikan kerajaan atau kesultanan
yang peninggalannya masih dapat disaksikan hingga kini, di antaranya kerajaan
Alaydrus di Surrat (India), kesultanan al-Qadri di kepulauan Komoro dan
Pontianak, al-Syahab di Siak dan Bafaqih di Filipina.
Tokoh utama ‘Alawi masa ini adalah Habib Abdullah bin
Alwi al-Haddad yang mempunyai daya pikir, daya ingat dan kemampuan menghafalnya
yang luar biasa. Sejak kecil ia telah menghafal alquran. Ia berilmu tinggi
dalam syariat, tasawuf dan bahasa arab. Banyak orang datang belajar kepadanya.
Ia juga menulis beberapa buku.
Pada tahap ini juga terdapat Habib Abdurahman bin
Abdullah Bilfaqih, Habib Muhsin bin Alwi al-Saqqaf, Habib Husain bin syaikh Abu
Bakar bin Salim, Habib Hasan bin Soleh al-Bahar, Habib Ahmad bin Zein
al-Habsyi.
SAYYID (mulai dari awal abad XIV ). Tahap ini ditandai
kemunduran kecermelangan kaum ‘Alawi. Di antara para tokoh tahap ini ialah Imam
Ali bin Muhammad al-Habsyi, Imam Ahmad bin Hasan al-Attas, Allamah Abu Bakar
bin Abdurahman Syahab, Habib Muhammad bin Thahir al-Haddad, Habib Husain bin
Hamid al-Muhdhar.
Sejarawan Hadramaut Muhammad Bamuthrif mengatakan
bahwa Alawiyin atau qabilah Ba’alawi dianggap qabilah yang terbesar jumlahnya
di Hadramaut dan yang paling banyak hijrah ke Asia dan Afrika. Qabilah Alawiyin
di Hadramaut dianggap orang Yaman karena mereka tidak berkumpul kecuali di
Yaman dan sebelumnya tidak terkenal di luar Yaman.
Jauh sebelum itu, yaitu pada abad-abad pertama hijriah
julukan Alawi digunakan oleh setiap orang yang bernasab kepada Imam Ali bin Abi
Thalib, baik nasab atau keturunan dalam arti yang sesungguhnya maupun dalam
arti persahabatan akrab. Kemudian sebutan itu (Alawi) hanya khusus berlaku bagi
anak cucu keturunan Imam al-Hasan dan Imam al-Husein. Dalam perjalanan waktu
berabad-abad akhirnya sebutan Alawi hanya berlaku bagi anak cucu keturunan Imam
Alwi bin Ubaidillah. Alwi adalah anak pertama dari cucu-cucu Imam Ahmad bin Isa
yang lahir di Hadramaut. Keturunan Ahmad bin Isa yang menetap di Hadramaut ini
dinamakan Alawiyin diambil dari nama cucu beliau Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad
bin Isa yang dimakamkan di kota Sumul.
Serupa tapi tak sama
Nama-nama qabilah ini serupa dengan nama-nama
qabilah Alawiyin, tetapi qabilah tersebut bukan termasuk Alawiyin :
¡ Al-Bahar dari qabilah
Muhammad bin Ghilan di Nahiyah Yaman
¡ Ba-jindan dari suatu qabilah
di Hadramaut.
¡ Al-Junaid terdapat pula yang
berasal dari Bani A’yan
¡ Al-Habsyi dari Bani Malik,
Qabilah Ghomid di Bahah
¡ Al-Haddad dari famili Abul
Khoil
¡ Al-Qadri dari masyayekh di
Hadramaut.
¡ Basuroh dari qabilah Syaiban
di Maqad, Dua’an Hadramaut
¡ Al-Shofi dari Bani Kindah
¡ Ba’aqil dari suatu qabilah
di Aden dan Mukala
¡ Al-Atasi di Siria
¡ Ba’abud dari famili Al-Amudi
¡ Bafaqih dari famili Bin Afif
di Hijrain Hadramaut dan Bafaqih dari keluarga Al-Amudi di Wadi Isir Du’an
Hadramaut
¡ Bilfaqih dari suatu qabilah
di Shibam Hadramaut
¡ Bafaraj dari suatu qabilah
di Mukala Yaman
¡ Al-Kaf qabilah yang
berasal dari Mekkah al-Mukarromah.
¡ Mugebel dari qabilah Ahlan
di Sa’dah Yaman
¡ Al-Musawa dari qabilah Bani
Nahat
¡ Al-Mutohar dari famili Al-Amudi
CARA MENETAPKAN NASAB
a. Yang bersangkutan adalah anak kandung, anak hasil
hubungan perkawinan seorang laki-laki dan perempuan yang sah menurut agama
Islam. Rasulullah saw bersabda, ‘Dinamakan anak kandung karena hasil dari
hubungan sah laki-laki dan perempuan berdasarkan syariat, sedangkan untuk anak
hasil zina/pelacuran maka nasabnya adalah batu’.
b. Kesaksian yang didapat berdasarkan syariat yaitu
kesaksian dari dua orang laki-laki, beragama Islam, sehat rohani, mampu
berpikir, dikenal keadilannya. Khusus untuk syarat dua orang saksi yang adil,
ia menyaksikan bahwa benar anak itu adalah anak kandung orang tuanya, atau
menyaksikan bahwa anak itu adalah hasil dari perkawinan yang sah, atau
menyaksikan bahwa anak itu sudah dikenal dan tidak diragukan lagi oleh
masyarakat bahwa ia adalah anak kandung orang tuanya.
c. Adanya ketetapan atau keputusan dalam majlis hukum
yang menyatakan bahwa anak tersebut benar anak kandung dari orang tuanya.
d. Sudah terkenal dan tersiar luas, sebagaimana Imam
Abu Hanifah berkata, ‘Dengan terkenal dan tersiar luas maka nasab, kematian dan
pernikahan dapat ditetapkan’. Ibnu Qudamah al-Hanbali berkata, ‘ Telah sepakat
ulama atas sahnya kesaksian mengenai nasab dan kelahiran seseorang, karena
nasab atau kelahirannya dikenal atau tersiar luas di kalangan masyarakat’.
Berkata Ibnu Mundzir, ‘Saya tidak mengetahui ada ulama yang menolak hal itu’.
e. Datangnya seorang pemohon nasab dengan membawa nama
ayah dan kakeknya dengan berbagai keterangan dari sisi sejarah dengan kesaksian
yang terkenal dari para ulama atau hakim yang tsiqat mengenai kebenaran
nasabnya.
Ibnu Qudamah. Al-Mughni,
jilid 12 hal. 21.
Perhatian
Khalifah terhadap silsilah keturunan Nabi saw
Yang pertama menuliskan silsilah
keturunan di dalam buku khusus mengenai nasab ialah khalifah Umar bin Khattab
yang mencatat dengan urutan pertama mulai dari keturunan bani Hasyim satu
persatu baik laki-laki maupun perempuan. Kemudian barulah berikutnya khalifah
Umar bin Khattab menggolongkan bangsa Arab, kemudian bangsa-bangsa lainnya yang
masih mempunyai hubungan kekerabatan dengan Rasulullah saw.
Dalam kitab Ahkam al-Sulthaniyah
karangan Mawardi dan kitab Futuh al-Buldan karangan Baladzuri, yang
diriwayatkan oleh al-Sya’bi bahwa :
‘Umar bin Khattab berkata, ‘bahwa
sesungguhnya sudah seharusnya bersikap kasih sayang kepada orang-orang yang
memang berhak menerimanya’. Maka berkata orang-orang yang hadir, ‘Betul, engkau
telah berbuat itu pada tempatnya, hai amirul mu’minin’. Lalu Umar bin Khattab
bertanya : kepada siapakah aku harus memulai ? Mereka menjawab : mulailah
dengan dirimu sendiri. Berkata Umar bin Khattab : Tidak, tetapi aku akan
menempatkan diriku di tempat yang Allah telah tetapkan baginya, dan aku akan
mulai pertama kali dengan keluarganya Rasulullah saw. Maka ia melaksanakan hal
itu’.
Selanjutnya
al-Sya’bi meriwayatkan :
‘Maka Umar bin Khattab memanggil
Aqil bin Abi Thalib, Mahramah bin Naufal dan Zubair bin Muth’im, yang ketiganya
terkenal sebagai ahli nasab bangsa Quraisy. Berkata Umar kepada mereka :
Tuliskanlah olehmu menurut tingkatannya masing-masing. Lalu mereka mulai
menulisnya pertama kali dari keturunan bani Hasyim, kemudian Abubakar dan
kaumnya, kemudian Umar bin Khattab dan kaumnya sebagaimana susunan khilafat.
Tatkala Umar melihat itu, maka berkata : Demi Tuhan, sebenarnya saya lebih
menyukai penulisan keturunan yang semacam ini, tetapi lebih baik lagi jika
engkau mulai dari keluarga Nabi Muhammad saw saja, dan yang paling dekat, dan
yang paling terdekat, hingga engkau letakkan Umar di tempat yang Allah swt
telah tentukan baginya’.
Dalam riwayat lain Umar bin Khattab
berkata :
‘Demi
Allah, kita tidak sampai kepada kesempurnaan di dunia ini, dan kita tidak
mengharap balasan pahala atas perbuatan kita, melainkan sebab Muhammad saw,
karena beliau yang menjadikan kemuliaan pada diri kita, dan kaumnya adalah yang
paling mulia di antara bangsa Arab, kemudian yang paling dekat dan paling
terdekat. Demi Tuhan, meskipun yang bukan Arab jika datang dengan membawa amal,
sedang kita datang tanpa membawa amal, niscaya mereka (yang bukan Arab) lebih
utama bagi Muhammad saw daripada kita di hari kiamat, karena siapa saja yang
mengurangkan amal atas dirinya, tidaklah keturunannya akan bisa mengejar
kepadanya‘.
kegunanaan ilmu nasab
Di
antara kegunaan mempelajari ilmu nasab adalah :
Pertama,
mengetahui nasab nabi Muhammad saw yang merupakan suatu keharusan untuk sahnya
iman. Ibnu Hazm berkata : diantara tujuan mempelajari ilmu nasab agar seseorang
mengetahui bahwasanya nabi Muhammad saw diutus oleh Allah swt kepada jin dan
manusia dengan agama yang benar, Dia Muhammad bin Abdullah al-Hasyimi
al-Quraisy lahir di Makkah dan hijrah ke Madinah. Siapa yang mempunyai keraguan
apakah Muhammad saw itu dari suku Quraisy, Yamani, Tamimi atau Ajami, maka ia
kafir yang tidak mengenal ajaran agamanya.
Kedua,
sesungguhnya pemimpin itu berasal dari suku Quraisy. Berkata Ibnu Hazm : Dan
tujuan mempelajari ilmu nasab adalah untuk mengetahui bahwa seseorang yang akan
menjadi pemimpin harus anak cucu Fihr bin Malik bin Nadhir bin Kinanah.
Ketiga,
untuk saling mengenal di antara manusia, hingga kepada keluarga yang bukan satu
keturunan dengannya. Hal ini penting untuk menentukan masalah hukum waris, wali
pernikahan, kafaah suami terhadap istri dalam pernikahan dan masalah wakaf.
Dari Abu Dzar al-Ghifari, Rasulullah
saw bersabda :
‘Tidaklah
seorang yang mengaku bernasab kepada lelaki yang bukan ayahnya, sedangkan ia
mengetahuinya maka ia adalah seorang kafir. Dan siapa yang mengaku bernasab
kepada suatu kaum yang bukan kaumnya, maka bersiaplah untuk mengambil tempat
duduknya di neraka’.
Berkata al-Hafidz al-Sakhawi dalam kitab al-Ajwibah
al-Mardhiyah, diriwayatkan oleh Abu Mus’ab dari Malik bin Anas, : Siapa
yang menyambung nasabnya kepada keluarga Nabi saw (dengan cara yang bathil)
maka orang tersebut harus diberi hukuman dengan pukulan yang membuat dia
bertobat karenanya.’
Dari Said bin Abi Waqqas, Rasulullah saw bersabda :
‘Siapa yang mengaku bernasab kepada yang bukan ayahnya
di dalam Islam, sedangkan ia mengetahui bahwa itu bukan ayahnya, maka surga
haram baginya’.
Dalam kitab Nihayah al-Arab,
syekh al-Qalqasyandi berkata :
‘Bukan
rahasia lagi bahwa mempelajari ilmu nasab, ada hal yang difardhukan bagi setiap
orang, ada yang tidak, dan ada pula yang dianjurkan. Misalnya mengenali nasab
nabi kita, mengenali nasab-nasab orang lain dan agar tidak salah dalam
memberlakukan hukum waris, wakaf maupun diyat. Seseorang yang tidak mempelajari
ilmu nasab, sudah pasti ia akan salah bertindak terutama dalam hal-hal yang
berkaitan dengan masalah-masalah di atas’.
Dengan
demikian jelaslah bahwa ilmu nasab adalah suatu ilmu yang agung yang berkaitan
dengan hukum-hukum syara’. Siapa saja yang mengatakan bahwa mempelajari ilmu
nasab itu tidak memberi manfaat dan tidak mengetahuinya pun tidak membawa
mudarat, maka sesungguhnya mereka telah menghukum diri mereka sendiri melalui
syetan yang selalu memperdayanya dengan menghiasi amalan mereka.
Istilah di kalangan ulama
ahli nasab
Dalam
kitab Risalah al-Mustholahat al-Khossoh bi al-Nassabin fi Bayan Isthilahat
al-Nasabah li Ba’di Ulama al-Nasab dan kitab lainnya seperti Jami’
al-Duror al-Bahiyah karangan syaikh Dr. Kamal al-Huut ketua perkumpulan Sadah
al-Asyraf Libanon[1],
dijelaskan beberapa istilah yang digunakan oleh para ulama nasab, yaitu :
a. Shahih al-Nasab.
Nasab yang telah ditetapkan kebenarannya di sisi ulama
nasab berdasarkan bukti-bukti dan naskah-naskah asli yang terkumpul pada ulama
ahli nasab yang amanah, wara’ dan jujur.
b. Makbul al-Nasab.
Nasab yang telah ditetapkan kebenarannya pada sebagian
ulama nasab tetapi sebagian lain menentangnya. Maka syarat diterimanya nasab
tersebut harus melalui kesaksian dua orang yang adil.
c. Masyhur al-Nasab.
Nasab yang dikenal melalui gelar atau kedudukannya,
akan tetapi nasabnya tidak dikenal. Di sisi ulama, nasabnya dikenal sedangkan
pada kebanyakan orang nasabnya tidak dikenal karena adanya perselisihan satu
sama lain.
d. Mardud al-Nasab.
Nasab yang disandarkan kepada satu qabilah/family,
pada kenyataannya orang itu tidak menyambung nasabnya kepada qabilah/family
tersebut, dan qabilah/family tersebut menolaknya. Maka statusnya termasuk golongan nasab yang ditolak di sisi ulama
nasab.
e. Fulan Daraja.
Wafat tanpa meninggalkan anak.
f. Aqbuhu min Fulan/al-aqbu min Fulan.
Anak cucunya berasal dari fulan.
g. Fulan a’qab min fulan.
Anak cucunya tidak berasal dari fulan tetapi dari anak
yang lain.
h. Fulan aulad/walad.
Fulan mempunyai keturunan.
i. Fulan Inqorodh.
Fulan tidak mempunyai anak cucu/terputus.
j. Fulan ‘Ariq al-Nasab.
Fulan ibu dan neneknya (dari ibu) berasal dari
keluarga ahlu bait Rasulullah saw.
k. Huwa lighoiri Rosydah.
Fulan dilahirkan dari nikah yang rusak. Sebagaimana
hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan al-Baihaqi dari Ibnu Abbas,
Rasulullah saw bersabda : ‘Siapa yang bersambung nasabnya kepada anak yang
nikahnya rusak, maka dia tidak berhak mewarisi dan diwarisi’.
l. Huwa min al-Ad’iyah.
Fulan adalah anak angkat seorang lelaki. Nasabnya
kembali kepada bapak aslinya.
m. Ummuhu Ummu al-Walad.
Ibu dari fulan adalah seorang jariyah (budak wanita).
n. La Baqiyah Lahu.
Keturunan fulan habis/musnah.
o. Usqith.
Fulan tidak ditemukan nasabnya sebagai ahlu bait
dikarenakan nasabnya tidak menyambung.
[1] Syaikh Dr. Kamal al-Huut, Jami’ al-Duror al-Bahiyah li
Ansab al-Qurosyiyin fi al-Bilad al-Syamiyah, hal. 19.
kedudukan ilmu nasab
kedudukan ilmu nasab
Berfirman Allah swt dalam alquran :
‘Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan perempuan, dan Kami jadikan kamu bersuku-suku dan
berbangsa-bangsa, supaya kamu mengenal satu sama lain.
Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah ialah
yang paling bertaqwa’.[1]
Diriwayatkan oleh Ibu Asakir dari Abdullah bin Abbas,
Rasulullah saw bersabda :
‘Aku adalah Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib
bin Hasyim bin Abdi Manaf bin Qusay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Luay bin
Ghalib bin Firh (Quraisy) bin Malik (bin al-Nadhir) bin Kinanah bin Khuzaimah
bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’ah bin Adnan’.[2]
Diriwayatkan oleh al-Hakim dari Saad :
‘Ketika aku bertanya kepada Rasulullah saw : Siapakah
aku ini ya Rasulullah saw ? Beliau saw menjawab : ‘Engkau adalah Saad bin Malik
bin Wuhaib bin Abdi Manaf bin Zuhrah. Siapa saja yang mengatakan selain dari
pada itu, maka baginya laknat Allah’.[3]
Diriwayatkan oleh Khalifah bin Khayyat dari Amr bin
Murrah al-Juhni :
‘Pada suatu hari aku berada di sisi Rasulullah saw
kemudian beliau saw bersabda : ‘Siapa yang berasal dari keturunan Maad
hendaklah berdiri’. Maka aku berdiri tetapi Rasulullah saw menyuruhku duduk
hingga tiga kali. Lalu aku bertanya : Dari keturunan siapa kami ya Rasulullah ?
Beliau saw menjawab : ‘Engkau dari keturunan Qudha’ah bin Malik bin Humair bin
Saba’.[4]
Diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah saw
bersabda :
‘Pelajarilah silsilah nasab kalian agar kalian
mengenali tali darah kalian, sebab menyambung tali darah dapat menambah kasih
sayang dalam keluarga, menambah harta dan dapat menambah usia’.
Berkata Umar bin Khattab :
‘Pelajarilah silsilah nasab kalian, janganlah seperti
kaum Nabat hitam jika salah satu di antara mereka ditanya dari mana asalnya,
maka ia berkata dari desa ini’.
Imam al-Halimi berkata :
‘Hadits-hadits tersebut menjelaskan
tentang arti pertalian nasab seseorang sampai kepada leluhurnya, dan apa yang
dikatakan nabi Muhammad saw tentang nasab tersebut bukanlah suatu kesombongan
atau kecongkakan, sebaliknya hal tersebut dimaksudkan untuk mengetahui
kedudukan dan martabat mereka’.
Di lain riwayat dikatakan bahwa itu
bukan suatu kesombongan akan tetapi hal itu merupakan isyarat kepada ni’mat
Allah swt, yaitu sebagai tahadduts bi al-ni’mah. Sedangkan Imam Ibnu
Hazm berpendapat bahwa mempelajari ilmu nasab adalah fardhu kifayah.
Pengarang kitab al-Iqdu al-Farid,
Abdul al-Rabbih berkata :
‘Siapa yang tidak mengenal silsilah
nasabnya berarti ia tidak mengenal manusia, maka siapa yang tidak mengenal
manusia tidak pantas baginya kembali kepada manusia’.
Dalam Mukaddimah al-Ansab,
al-Sam’ani berkata :
‘Dan ilmu silsilah nasab merupakan
ni’mat yang besar dari Allah swt, yang karena hal itu Allah swt memberikan
kemuliaan kepada hambanya. Karena dengan ilmu silsilah mempermudah untuk
menyatukan nasab-nasab yang terpisah-pisah dalam bentuk kabilah-kabilah dan
kelompok-kelompok, sehingga dengan ilmu silsilah nasab menjadi sebab yang
memudahkan penyatuan tersebut’.
0 komentar:
Posting Komentar