Pandangan miring terhadap perempuan sudah cukup lama terjadi. Dalam buku The Status of Women in Mahabarata, Prof. Indra menulis: Tidak ada makhluk yang lebih berdosa daripada perempuan. Perempuan itu menyalakan api. Dia adalah sisi pisau yang tajam. Efek dari pandangan diskriminatif mengakibatkan kekhawatiran terhadap perempuan. Tidak sedikit orang yang meyakini bahwa perempuan adalah sumber malapetaka, kerusakan suatu bangsa, dan pangkal kemerosotan moral. Mengikuti logika di atas, maka perempuan dilarang menjadi pemimpin.
Alih-alih menjadi pemimpin, kehadirannya pun membawa malapetaka. Bentuk klasik yang terus muncul saat ini adalah pandangan para kiai/tokoh masyarakat yang menganggap bahwa perempuan tidak boleh menjadi pemimpin, perempuan ngurusi rumah tangga saja justru menghambat bagi para santriwati untuk maju. Kiai sebagai tokoh berpengaruh memiliki massa yang tidak sedikit. pemikiran itu terus tersebar dan berlangsung terus menerus, turun temurun dan menjadi fatwa yang ampuh untuk membatasi peran perempuan di lembaga-lembaga sekolah di pesantren. Contoh, Guru perempuan tidak bisa menjadi kepala sekolah, karena perempuan.
Asumsi semacam ini tentu saja bertentangan dengan sejumlah teks agama yang secara telanjang memberikan posisi dan derajat yang sejajar dengan laki-laki.
Lingkungan masyarakat desa, perempuan dianggap setengah manusia daripada laki-laki, itu pula perempuan dilarang menjadi pemimpin. Karena perempuan sibuk dalam urusan rumah tangga, sehingga peran publik dibatasi. Untuk mendobrak pandangan masyarakat desa yang seperti itu tidaklah mudah. Walau perempuan telah belajar disiplin ilmu, masih saja belum dipercaya menjadi leader (pemimpin).
Pengesahan terhadap Undang-Undang Pornografi tidak lepas dari pandangan di atas. Sebab, sorotan undang-undang tersebut lebih banyak kepada kaum perempuan yang membuka auratnya di depan publik. Dengan kata lain, perempuan diposisikan sebagai objek dari Undang-Undang, karena ia telah didudukan sebagai subjek yang mengumbar pornografi.
Peran seorang ibu rumah tangga dan karier di luar rumah menyita banyak waktu. Perempuan mesti berkorban banyak hal agar sukses keduanya. Jika tidak, akan terjebak pada istilah (double burden) peran ganda, sebagai ibu rumah tangga dengan tugas-tugas domestik dan juga sebagai pencari nafkah keluarga.
Bagaimana menyerasikan keduanya antara peran domestik dan karier? itu pulalah yang menuntut perempuan untuk cerdas dan belajar mengambil tanggung jawab peran mana yang kan dilakukan. Bentuk lain yang muncul adalah perempuan sebagai pencari nafkah tanpa dibekali disiplin ilmu yang memadai. Akhirnya perempuan bekerja pada sektor buruh dan tenaga kasar.
Bagaimana sejarah Islam mencatat tentang perempuan?
Dalam sejarah awal-awal Islam (masa nabi), perempuan dan laki-laki berjalan setara. Perempuan biasa keluar masuk rumah, mesjid untuk mendapatkan pendidikan dari Nabi sebagaimana halnya laki-laki. Hasilnya bermunculannya ulama-ulama perempuan, seperti Siti Aisyah, yang tidak kalah hebatnya dengan ulama laki-laki, seperti Sahabat Abu Bakar.
Namun, kemitrasejajaran antara laki-laki dan perempuan ini menjadi surut pasca wafatnya Nabi. Ditambah lagi dengan peristiwa keterlibatan Siti Aisyah dalam Perang Unta melawan Khalifah Ali bin Abi Thalib. Peristiwa yang kontroversial di kalangan pemikir Islam klasik, dikatakan sebagai biang kerok terjadinya perpecahan dalam Islam. Stigma ini semakin kuat di kalangan ulama, sehingga tragedi itu dijadikan justifikasi perempuan Islam untuk tidak berkiprah dalam dunia politik.
Kulminasi dari pembatasan ruang publik bagi perempuan terjadi pada masa Kekhalifahan Daulah Islamiyah dan Abbasiyah. Pada masa kepemimpinan Khalifah al-Walid (743-744 M), pada awalnya perempuan ditempatkan di harem-harem dan tidak punya andil dalam keterlibatan publik. Sistem harem ini semakin kukuh tak tertandingi pada akhir kekhalifahan Abbasiyah, yaitu pertengahan abad ke-13 M. Pada periode seperti inilah, lahir tafsir Ath-Thabari, Tafsir Ar-Razi, Tafsir Ibnu Katsir dan lainnya, sehingga tidak bisa dipungkiri akan adanya hadist dan tafsir misoginis yang melecehkan perempuan.
Alih-alih menjadi pemimpin, kehadirannya pun membawa malapetaka. Bentuk klasik yang terus muncul saat ini adalah pandangan para kiai/tokoh masyarakat yang menganggap bahwa perempuan tidak boleh menjadi pemimpin, perempuan ngurusi rumah tangga saja justru menghambat bagi para santriwati untuk maju. Kiai sebagai tokoh berpengaruh memiliki massa yang tidak sedikit. pemikiran itu terus tersebar dan berlangsung terus menerus, turun temurun dan menjadi fatwa yang ampuh untuk membatasi peran perempuan di lembaga-lembaga sekolah di pesantren. Contoh, Guru perempuan tidak bisa menjadi kepala sekolah, karena perempuan.
Asumsi semacam ini tentu saja bertentangan dengan sejumlah teks agama yang secara telanjang memberikan posisi dan derajat yang sejajar dengan laki-laki.
Lingkungan masyarakat desa, perempuan dianggap setengah manusia daripada laki-laki, itu pula perempuan dilarang menjadi pemimpin. Karena perempuan sibuk dalam urusan rumah tangga, sehingga peran publik dibatasi. Untuk mendobrak pandangan masyarakat desa yang seperti itu tidaklah mudah. Walau perempuan telah belajar disiplin ilmu, masih saja belum dipercaya menjadi leader (pemimpin).
Pengesahan terhadap Undang-Undang Pornografi tidak lepas dari pandangan di atas. Sebab, sorotan undang-undang tersebut lebih banyak kepada kaum perempuan yang membuka auratnya di depan publik. Dengan kata lain, perempuan diposisikan sebagai objek dari Undang-Undang, karena ia telah didudukan sebagai subjek yang mengumbar pornografi.
Peran seorang ibu rumah tangga dan karier di luar rumah menyita banyak waktu. Perempuan mesti berkorban banyak hal agar sukses keduanya. Jika tidak, akan terjebak pada istilah (double burden) peran ganda, sebagai ibu rumah tangga dengan tugas-tugas domestik dan juga sebagai pencari nafkah keluarga.
Bagaimana menyerasikan keduanya antara peran domestik dan karier? itu pulalah yang menuntut perempuan untuk cerdas dan belajar mengambil tanggung jawab peran mana yang kan dilakukan. Bentuk lain yang muncul adalah perempuan sebagai pencari nafkah tanpa dibekali disiplin ilmu yang memadai. Akhirnya perempuan bekerja pada sektor buruh dan tenaga kasar.
Bagaimana sejarah Islam mencatat tentang perempuan?
Dalam sejarah awal-awal Islam (masa nabi), perempuan dan laki-laki berjalan setara. Perempuan biasa keluar masuk rumah, mesjid untuk mendapatkan pendidikan dari Nabi sebagaimana halnya laki-laki. Hasilnya bermunculannya ulama-ulama perempuan, seperti Siti Aisyah, yang tidak kalah hebatnya dengan ulama laki-laki, seperti Sahabat Abu Bakar.
Namun, kemitrasejajaran antara laki-laki dan perempuan ini menjadi surut pasca wafatnya Nabi. Ditambah lagi dengan peristiwa keterlibatan Siti Aisyah dalam Perang Unta melawan Khalifah Ali bin Abi Thalib. Peristiwa yang kontroversial di kalangan pemikir Islam klasik, dikatakan sebagai biang kerok terjadinya perpecahan dalam Islam. Stigma ini semakin kuat di kalangan ulama, sehingga tragedi itu dijadikan justifikasi perempuan Islam untuk tidak berkiprah dalam dunia politik.
Kulminasi dari pembatasan ruang publik bagi perempuan terjadi pada masa Kekhalifahan Daulah Islamiyah dan Abbasiyah. Pada masa kepemimpinan Khalifah al-Walid (743-744 M), pada awalnya perempuan ditempatkan di harem-harem dan tidak punya andil dalam keterlibatan publik. Sistem harem ini semakin kukuh tak tertandingi pada akhir kekhalifahan Abbasiyah, yaitu pertengahan abad ke-13 M. Pada periode seperti inilah, lahir tafsir Ath-Thabari, Tafsir Ar-Razi, Tafsir Ibnu Katsir dan lainnya, sehingga tidak bisa dipungkiri akan adanya hadist dan tafsir misoginis yang melecehkan perempuan.
Kerisauan banyak kalangan terhadap ‘kelangkaan ulama’ di Indonesia
khususnya
disinyalir karena konstruksi religio-sosiologis yang
menitikberatkan pada konsep ulama yang bisa dibilang terlalu ekstrim; yaitu
orang yang ahli dalam bidang ilmu agama atau fiqh. Namun dalam
konteks Indonesia, keahlian dalam bidang fiqh saja belum cukup bagi
seseorang untuk diakui sebagai ulama. Terdapat orang-orang di Indonesia yang
ahli dalam bidang ini tapi belum dipandang masyarakat luas sebagai ulama. Malah
mereka yang intens terlibat dalam kegiatan religio-sosioal seperti pengajian,
majelis ta‘lim, sampai kepada
pemberian do’a restu justru disebut ulama. Sering terlihat juga orang yang
tidak seberapa ilmunya tetapi dipandang ulama karena punya pesantren. Bagi
perempuan tidak mudah –bahkan mustahil- menyandang status sebagai ulama.
Perempuan dalam perjalananya termarginalisasi oleh kaum
laki-laki yang menganggap dirinya superior atas kaum wanita. Akibat konstruksi
religio-sosiologis yang berdalih teologis, banyak yang menganggap bahwa
perempuan itu sub ordinat dari kaum laki laki. Kontroversi
mengenai posisi dan peran kepemimpinan atau ulama perempuan sering pula
dihadirkan
dalam ranah fiqh. Secara umum,
pemahaman fiqh yang berlaku dalam
kehidupan sehari-hari masih bersifat patriarki. Kentalnya budaya kebapakan
dalam tradisi penciptaan fiqh menjadikan
penetapan hukum Islam kurang mendefinisikan kemitraan perempuan dengan
laki-laki. Sehingga citra perempuan yang muncul hanya sebagai simbol kesucian
Ibu yang mengayomi atau simbul kesetiaan. Jarang perempuan disimbulkan dengan
penguasa, hakim, ulama, pejuang dan pemegang karier lainnya. Hal ini tentunya
berseberangan dengan semangat al-Qur’an yang mengakomodasi pemberian hak dan
status yang menguntungkan bagi perempuan. Oleh karena itu untuk menjawab
permasalahan tersebut penulis ingin mengokohkan justifikasi terhadap posisi dan
peran ulama perempuan dengan melacak kembali eksistensi ulama perempuan dan
mencoba mengungkap kontroversi tentang ulama perempuan di antara kalangan Fuqaha’. Dan karena ada
pemahaman yang bias gender dari Fuqaha’, maka kajian ini
menawarkan metodologi dekonstruksi fiqh patriarki untuk
menuju kesetaraan gender, di antaranya dengan pendekatan sosio-teologis.
Melacak Historiografi Ulama Perempuan
Kajian tentang “ulama perempuan” dalam sejarah masih sangat
langka, bukan hanya untuk di Indonesia, tetapi juga di wilayah Muslim lainnya.
Meski kajian tentang perempuan dan gender terus menemukan momentumnya, namun
perhatian hampir tidak pernah diberikan kepada sejarah sosial intelektual ulama
perempuan. Asumsi awal yang digenggam banyak peneliti dan sarjana adalah bahwa
hal itu merupakan salah satu bukti tentang tidak signifikannya perempuan dalam
keulamaan atau bahkan dunia keilmuan umumnya.
Kajian awal Azra tentang ulama perempuan di Timur Tengah
mengindikasikan tentang terbatasnya peran ulama perempuan. Bahkan dapat
dikatakan, sejarah ulama perempuan itu tidak pernah ada. Sudah maklum bahwa
ulama perempuan tidak mendapatkan tempat yang sewajarnya dalam sumber-sumber
sejarah historiografi Islam padahal terdapat cukup banyak ulama perempuan yang
mempunyai peran-peran penting dalam keulamaan dan keilmuan Islam, sejak hadith, fiqh, sampai tasawwuf. Juga terdapat
peran-peran krusial dalam pembentukan dan pengembangan lembaga-lembaga
pendidikan Islam, seperti madrasah, ribat dll.
Harus diakui, salah satu kesulitan besar dalam upaya
merekonstruksi dan menulis
sejarah sosial-intelektual ulama perempuan Indonesia adalah
langkanya sumber-sumber tertulis tentang mereka.
Dalam historiografi Islam Indonesia tidak tersedia genre literature yang di
Timur Tengah dikenal sebagai tarajim (sing. tarjamah
atau lengkapnya tarjamah al- hayat).
Dalam istilah historiografi di Barat, tarajim dikenal sebagai biographical
dictionaries, kamus biografi.
Dan sebagaimana disimpulkan Petry yang dikutip oleh Azra bahwa genre tarajim merupakan fenomena
yang indegious bagi masyarakat terpelajar Muslim. Kitab tarajim di Timur Tengah
lazimnya disusun berdasarkan lapisan, angkatan atau generasi dalam kurun
tertentu atau berdasarkan pengelompokan dalam bidang keahliannya atau profesi
tertentu.
Karena itu terdapat, misalnya, tarajim yang merupakan tabaqat para sahabat Nabi
Muhammad saw atau tabi’in di masa setelah
sahabat, dan generasi-generasi sesudahnya mereka pada abad ke abad dan juga
terdapat tarajim berdasarkan keahlian
seperti tabaqat al-fuqaha’, tabaqat al-muhaddithin,
atau tabaqat al-shifa’
Berkaitan dengan ulama, Azra melihat ada perbedaan persepsi
ulama di Indonesia
dan Timur Tengah. Pengertian ulama cenderung kembali meluas
mencakup orang-orang yang ahli dalam ilmu agama dan ilmu-ilmu umum, tetapi di
Indonesia umumnya pengertian ulama secara sempit dan terbatas hanya meliputi
orang yang ahli dalam bidang ilmu agama atau fiqh.
Akibat penyempitan pengertian di atas tidak mengherankan ada
kerisauan di kalangan banyak mayarakat Muslim tentang apa yang mereka sebut
sebagai ‘kelangkaan ulama’. Kajian ini lebih mendefinisikan kelangkaan ulama
itu sebagai akibat dari penyempitan makna ulama, atau akibat dari konstruksi
religio-sosialogis yang memarginalkan perempuan, sehingga terapinya adalah
adanya dekonstruksi terhadap fiqh patriarki.
Posisi dan Peran Ulama Perempuan
Di zaman Rasulullah saw, kaum perempuan sudah berperan dalam
berbagai macam aspek pekerjaan. Terutama aspek pendidikan atau memberi fatwa. Ummahat al-mu’minin, Aishah mempersilahkan kepada orang yang
ingin mendalami sunnah Rasulullah saw. Bahkan sebagian mereka turut serta dalam
jihad di jalan Allah dan ikut berperang yang dipimpin oleh Rasulullah saw.
Misalnya, Nasibah bint. Ka’ab ikut serta dalam perang Uhud, Aminah bint. Qaysh
al-Ghifariyah dan Ablat Bila’ Khusna ikut dalam perang Khaybar, Ummu ‘Atiyah
al-Ansariyah dan al-Rabi’ah bint. Mas’ud yang ikut dalam peperangan lainnya. Pada masaKalifah-pun
perempuan memiliki peran penting. Umar bin al-Khattab mengangkat al-Shifa’ bint.
Abdillah sebagai pengawas keuangan yang merupakan tugas penting bagi negara. Peran
perempuan khususnya dalam memberi fatwa>ini sudah teraplikasi pada zaman Rasulullah
saw. Dan menurut penulis peran memberi fatwa ini bisa diqiyaskan salah satu di antara
peran Ulama. Untuk lebih jelasnya, penulis akan menjelaskan beberapa pengertian
“ulama” menurut persepsi yang berbeda-beda.
Secara etimologi ulama berasal dari kata ‘alima-ya’lamu-‘ilman (orang yang memiliki ilmu yang
mendalam, luas dan mantap). Di dalam al-Qur’an terdapat dua kata ulama yaitu
pada surat Fatir ayat 28 dan surat al-Shu‘ara’ ayat 197. Sedang secara
terminologis ulama berarti:
Pertama, menurut Muhammad Nawa>wi>
dari Tanahara Banten Jawa Barat dalam Sharah Asma’ al-Husna dan Sayyid Qutb dalam tafsirnya Fi al-Zilal al Qur’an (jilid VI juz xxii:130):
ulama adalah hamba Allah yang memiliki jiwa dan kekuatan ‘khashyatullah’,
mengenal Allah dengan pengertian yang hakiki, pewaris Nabi, pelita ummat dengan
ilmu dan bimbingannya, menjadi pemimpin dan panutan yang uswah h}asanah dalam ketaqwaan dan istiqamah yang menjadi landasan baginya dalam
beribadah dan beramal shaleh selalu benar dan adil. Sebagai mujahid dalam
menegakkan kebenaran, tidak takut pada celaan dan tidak mengikuti hawa nafsu,
menyuruh yang ma‘ruf dan mencegah pada yang munkar.
Kedua, menurut Horikoshi ulama adalah
sekelompok sarjana hukum Islam yang secara tradisional berfungsi sebagai
muballigh, guru dan tempat bertanya umat Islam dan khalifah.
Secara teoritis peranan mereka sebagai ahli hukum Islam ortodoksi
menjamin praktek-praktek keagamaan para penganut dan persoalan-persoalan
kenegaraan sesuai dengan shari‘ah Islam. Dalam kehidupan masyarakat lokal,
wilayah kekuasaan ulama biasanya dibatasi pada lembaga-lembaga Islam semacam
masjid dan madrasah, di mana mereka mengabdi sebagai fungsionaris agama.
Ketiga,
menurut Ibn al-Jawzi, ulama adalah orang yang berilmu dengan segala disiplin ilmunya,
seperti para Qari’,
ahli Hadith,
ahli Fiqh,
ahli al-wu’az dan ahli al -Qisas (para penasehat dan penutur kisah),
ahli al-Lughah dan para al-Shu’ara’.
Keempat, ulama menurut al-Ghazali adalah
ada dua yaitu ulama dunia dan ulama akhirat. Ulama dunia adalah ulama yang orientasi
keilmuannya tertuju pada kenikmatan dunia, yaitu untuk mencapai kedudukan dan
jabatan (ulama’ al-Su’). Sedangkan ulama akhirat (ulama’ ghyr al-su’ ) adalah
1) tidak mencari ilmu dengan tujuan untuk mendaptkan harta kekayaan
dunia.
2) berbuat sejalan dengan apa yang didakwakan, ulama tidak
menyuruh kecuali dia orang pertama yang telah mengerjakan.
3) orientasi keilmuanya adalah ilmu yang bermanfaat untuk
kehidupan akhirat.
4) tidak condong pada kenikmatan makanan dan minuman, kesenangan
pakaian, dan gemerlapanya tempat tinggal.
5) menjauhi dengan penguasa.
6) berhati-hati dalam memberikan fatwa.
7) perhatian ilmunya lebih pada ilmu batin dan ilmu akhirat.
8) menjadikan kekuatan keyakinan sebagai modal utama dan pertama dalam
mencapai tujuan.
9) menampilkan prilaku yang rendah hati dan menghiasi diri dengan lima
sifat: khashyah, khushu’, tawadu’, husn al-khuluq dan zuhud.
Kelima, ulama menurut al-Suyuti adalah
terbagi menjadi empat, yaitu 1) ulama ahli tafsir dari kalangan sahabat, tabi‘in dan tabi‘ al-tabi‘in (tiga generasi pertama). 2)
Mu‘tazilah, Shi‘ah dan semisalnya. Pembagian ulama menurut al-Suyuti
ini menurut penulis ada dikotomi terhadap ulama ahli sunnah dan ahli hadith. Karena meski ada perbedaan
sedikit tentang makna hadith dan sunnah dari ulama fiqh dan ulama usul tapi menurut ulama hadith, sunnah dan hadith adalah sinonim atau muradif.
Keenam, term ulama menurut Arnold H.
Green adalah corps of religious leaders kesatuan dari pemimpin agama.” Dan
dalam penjelasan yang diberikan Green dalam penjelasanya tentang ulama juga
tidak ada batasan ulama itu harus dari kaum laki-laki.
Ketujuh, ulama menurut Azyumardi Azra
adalah orang yang mengetahui atau orang yang memiliki ilmu. Tidak ada
pembatasan ilmu spesifik dalam pengertian ini. Tetapi seiring perkembangan ilmu
justru pengertian ulama menyempit menjadi orang yang memiliki pengetahuan dalam
bidang fiqh.
Kedelapan, ulama menurut Ali Yafie
sebagaimana yang ia kutip dari ‘Imad al-Din Ibn Kathir yang menukilkan
keterangan dari Ibn ‘Abbas adalah bagian dari uli al-amr yaitu ahl al- fiqh wa al-din (ahli dalam masalah fiqh dan agama). Sama dengan pendapat
Mujahid, ‘Ata’, al- Hasan al-Bashri dan ‘Abu al-‘Aliyah (ulama tabi‘in).
Pengertian ini diperkuat oleh ayat 63 surat al-Maidah dan ayat 43 surat al-Nahl,
ditambahkan dengan hadith sahih yang diriwayatkan oleh Abu Hurayrah
ra. Dari Nabi saw: “Barangsiapa mendurhakai aku berarti dia sudah mendurhakai
Allah dan barangsiapa yang telah mendurhakai amir yang telah aku angkat berarti dia
telah mendurhakai aku.” Penjelasan ini perintah untuk menaati perintah terhadap
umara’ dan ulama.
Pengertian ulama yang dijelaskan di atas sama sekali tidak ada
yang menyinggung
ulama yang dipolakan harus berasal dari jenis kelamin laki-laki
atau perempuan, sebagaimana faham marja‘ dalam Sh‘ah yang mengharuskan dari
laki-laki.
Namun praktik anomali dari hal ini juga tetap ada dan tidak
menghentikan kontroversi yang terjadi di kalangan al-Fuqaha’ tentang peran perempuan dalam
beberapa posisi seperti jabatan kehakiman dan pemimpin atau imam yang diqiyaskan
dalam peran mengemukakan pendapat dan mengeluarkan fatwa.
Sebagian fuqaha’- Imam Malik, Imam Shafi‘i dan Imam
Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa perempuan tidak boleh menduduki jabatan
sebagai hakim. Adapun Imam Abu Hanifah al-Nu’man berpendapat bahwa boleh saja
perempuan menduduki jabatan kehakiman kecuali dalam memutuskan hukuman (hudud)
dan qisas, sebab tidak ada kesaksian
perempuan dalam hal itu. Maka boleh dan tidaknya jabatan kehakiman, menurut Abu
Hanifah dengan boleh tidaknya memberikan kesaksian. Adapun pendapat yang ketiga
adalah pendapat Ibn Jarir al-Tabari. Ia mengatakan bahwa pada umumnya bahwa
perempuan boleh saja menduduki jabatan kehakiman. Hal itu diqiyaskan dengan
bolehnya perempuan mengemukakan pendapat dan mengeluarkan fatwa, maka perempuan
boleh menduduki jabatan kehakiman. Tidak ada teks yang melarang perempuan
menduduki jabatan kehakiman. Berdasarkan hadith mutawatir dari ‘Aishah ra. tentang perang
Jamal. Ia memimpin pasukan dan mengobarkan revolusi melawan Ali ra, padahal bersamanya
juga ada sahabat-sahabat terbaik seperti Talhah, Zubayr dan anaknya Abdullah
Tawaran Dekonstruksi Fiqh Patriarki
Kaum
feminis muslim mempunyai corak tersendiri dalam penafsiran al-Qur’an. 1Feminis apologis yaitu yang menggunakan pendekatan filologis
dan kontekstual. Penekananya pada mereka Hal ini muncul ini muncul karena
masih dijumpainya praktik marginalisasi peran perempuan dalam kehidupan sosial
agaknya berakar pada budaya patrilineal yang mengedepankan posisi dan peran
laki- laki. Faktor utama dari budaya itu diantaranya adalah pemahaman keislaman
(fiqh) yang berwawasan sempit, sehingga jarang perempuan disimbolkan
sebagai penguasa, hakim, ulama, pejuang dll. Pemahaman fiqh tersebut rasanya menyeleweng dari
semangat al-Qur’an yang cenderung memberikan penghargaan positif kepada kaum
perempuan.
Al-Qur’an sendiri secara umum mengidealkan perempuan sebagai sosok
yang memiliki kemandirian politik (al-Mumtahanah:12), sebagaimana sosok Ratu
Balqis yang mempunyai kerajaan super power (al-Naml; 23), memiliki kemandirian
dalam menentukan pilihan-pilihan pribadi (al-Tahrim: 11), perempuan dibenarkan
untuk menyuarakan kebenaran dan melakukan gerakan oposisi terhadap berbagai
kebobrokan (al-Tawbah: 71), bahkan al-Qur’an juga menyerukan perang terhadap
suatu negeri yang menindas perempuan (al-Nisa’: 5).
Di samping itu Masdar Farid Mas’udi juga melihat dalam kitab fiqh klasik masih
dijumpai bias anti perempuan atau bias jender. Pemahaman fiqh yang tidak egaliter ini mengundang
reaksi H.A.R. Gibb dalam buku Modern Trend in Islam yang menyatakan bahwa hukum fiqh mengenai perempuan kurang
mencerminkan semangat al-Qur’an. Hukum itu hanya didasarkan pada hadith-hadith
yang mencerminkan tradisi suku Arab saja. Padahal al-Qur’an hampir setiap hukum
mengenai perempuan lewat pemberian hak dan status yang menguntungkan..
Asghar Ali Engineer mensinyalir adanya praktek patriarki dalam
Islam itu juga akibat alasan teologis bahwa perempuan diciptakan lebih rendah dari
laki-laki. Ia mengusulkan agar tidak menafsirkan yang lepas dari konteks
sosial. Seyogyanya penafsiran itu digunakan pendekatan sosio-teologis sesuai
dengan ayat al-Qur’a>n itu sendiri yang amat kontekstual selain harus
normatif yang menginginkan keterlibatan perempuan dalam segala aspek kehidupan.
Artinya penafsiran saat itu dilakukan realitas sosio klasik yang memang amat sederhana
dan tidak banyak tuntutan yang harus melibatkan peran perempuan. Dan demkian struktur
sosial zaman Nabi tidak benar-benar mengakui kesejajaran laki-laki dan perempuan.
Seperti halnya larangan perempuan menjadi pemimpin atau ulama atau
imam s} alat itu didasarkan pada dalil-dalil umum bahwa “al-Rijal Qawwamun ‘ala
al-Nisa dan hadith tentang larangan perempuan menjadi pemimpin “tidak akan bahagia suatu
kaum jika urusannya diserahkan pada kaum perempuan. {Hadith ini diriwayatkan
oleh Ibn Majah dan hadith ini tidak berhasil dilacak dalam kitab-kitab standar,
baik melalui Mu‘jam al-Mufahras sampai pada CD
hadith sehingga tidak bisa dibahas sanadnya. Satu-satunya sumber hadith tersebut
ada di kitab Bulughul-Maram hadith nomor 437
dan kitab Sharah Subul
al-Salam.
Menurut kitab ini hadith tersebut da‘if karena ada salah
satu perawinya Abdullah bin Muhammad al-Adaw dari ‘Ali bin Zayd bin Jad’an yang
dinilai oleh Waki’ da‘if. Pada jalur lain
terdapat pula Abd al-Mulk bin Habib yang sering mencampuradukkan sanad. Dari deskripsi
seperti inilah perlu adanya dekonstruksi fiqh patriarki dengan
pendekatan sosio-teologis.
Metodologi sosio-teologis ini dipilih minimal karena dua
alasan.
Pertama, sebagaimana al-Din al-Zarkashi yang dikutip
oleh Subhi al-Salih bahwa ‘ilmu al- usul yang disebut di dalamnya
oleh al-Zarkashi termasuk ilmu Kalam (teologi) adalah ‘ilmun nadij wa ma
ihtaraq yang mempunyai maksud sebagai ilmu yang sudah matang dan
tidak terbakar. Meski dua kata (nadij dan ihtaraq) ini sangat interpretable, namun bagi
al-Zarkashi bisa dipahami bahwa teologi Islam adalah ilmu yang sudah matang dan
masih bisa dikembangkan. Bahkan dalam
perkembangan terakhir al-Jabiri, teologi Islam dimasukkan dalam kelompok epistemology
bayani . Sebagimana Amin
Abdullah yang juga mengkelompokkan teologi Islam dalam epistemologi nalar bayani. Seandainya bisa
difahami dengan pendapat al-Zarkashi, maka teologi Islam menurut al-jabiri tadi
bisa difahami sebagai ilmu yang belum matang dan masih sangat bisa dikembangkan
oleh para ilmuwan.
Sebagaimana dikatakan oleh ilmuwan Jujun S. Suriyasumantri bahwa ilmuwan itu
mempunyai tanggungjawab sosial. Bukan saja karena dia adalah
warga masyarakat, namun yang pasti dia juga mempunyai fungsi tertentu dalam
kelangsungan dan pemecahan masalah dalam masyarakat. Dengan demikian siapapun
ilmuwan dan di era kapanpun mereka hidup, maka mereka syah-syah saja untuk
mencurigai teologi Islam dan permasalahanya.
Oleh karena itu teologi tidak lagi membicarakan tentang “Tuhan”
murni apa adanya saja, tetapi ilmu usul al-din yang menawarkan konsepsi-konsepsi
tentang alam dan motif- motif untuk bertindak. Artinya teologi tidak hanya
memerlukan pijakan dasar akaliah- rasional, melainkan juga pijakan dasar
kenyataan. Tawhid harus dikaitkan dengan perbuatan; dari
Tuhan menuju bumi;
dari dzat Tuhan menuju kepribadian manusia; nilai-nilai kemanusiaan
diderivasi dari sifat-sifat Tuhan; dari kekuasaan Tuhan menuju kemampuan berpikir
manusia; dari keabadian Tuhan menuju gerakan waktu (sejarah) dan dari
eskatologi menuju futurology
Dari sinilah teologi Islam pada
gilirannya akan memberi perubahan
pada berbagai sistem dalam masyarakat;
1) nalar, amal, pemikiran praksis sosial,
2) tawhid dan konstelasi politik nasional,
3) tawhid dan keadilan sosial-ekonomi,
4) tawhid dan hubungan umat beragama.
2) tawhid dan konstelasi politik nasional,
3) tawhid dan keadilan sosial-ekonomi,
4) tawhid dan hubungan umat beragama.
Dan dalam hal ini, tawhid dan keadilan sosial menjadi bidikan
untuk kesetaraan gender.
Argumentasi kedua, munculnya diskursus gender adalah
karena adanya konstruksi
sosial yang berakibat pada marginalisasi (baca: terhadap kaum
perempuan), dan konstruksi sosial yang demikian ini diakibatkan salah satunya
adalah faktor para pengiterpretasi terhadap teks agama terutama pada teks-teks
yang bersifat misogini (teks-teks yang tidak memihak perempuan) yang masih
menimbulkan pemahaman patrilineal (fiqh patriarki), sehingga perlu adanya
dekonstruksi fiqh patriarki yang berpijak pada tawhid dan keadilan sosial.
Tawhid adalah payung utama ajaran Islam
dan merupakan konsep pokok yang lain
dalam teologi Islam. Tawhid bukan berarti keesaan Tuhan. Dalam
teologi pembebasan menurut Ali Engineer, di samping punya makna keesaan Tuhan,
tetapi tawhid juga sebagai kesatuan manusia (unity
of mankind) yang tidak akan benar-benar terwujud tanpa terciptanya masyarakat
tanpa kelas (classles society). Konsep tawhid ini sangat dekat dengan semangat
al- Qur’an untuk menciptakan keadilan dan kebaikan (al-‘adl wa al-ahsan)
5Asghar Ali Engineer, Islam
dan Teologi Pembebasan (terj.),
Agung Prihantoro (Yogyakarta: Pustaka Pelajar),
Menurut Nur Cholis Madjid kata “iman” mempunyai akar yang sama
dengan “aman” (Arab: aman, yakni kesejahteraan dan
kesantausaan) dan “amanat” (Arab: amanah, yakni keadaan bisa dipercaya atau
diandalkan (Inggris: trustworthinness) lawan dari khianat. Oleh karrena
itu “iman” yang membawa rasa “aman” dan membuat orang mempunyai “amanat”. Dengan
inilah “iman” tanpa konsekuensi yang nyata bisa tak bermakna atau absurd. Dan salah satu wujud asal “iman”
adalah sikap hidup yang memandang Tuhan sebagai tempat menyandarkan diri dan
menggantungkan harapan. Oleh karena itu konsistensi “iman” adalah husn al-zann dan optimis kepada Tuhan serta
kemantapan kepadaNya sebagai Yang Maha Kasih dan Maha Sayang, di samping
pengetahuan-Nya adalah sifat Tuhan yang paling komprehensif dan serba meliputi.
Berkaitan dengan dekonstruksi fiqh patriarki yang berpijak pada asas tawhid dan keadilan sosial, penulis
melihat bahwa Islam memberi peluang yang sama antara laki-laki dan perempuan
untuk beramal saleh dan Tuhanpun tidak menyia-nyiakan amal saleh tersebut.
Dan semua itu tercantum dalam teks-Nya al-Qur’an 9 (al-Tawbah):
71, 16 (al-Nahl): 97, 3 (Ali- Imran): 195. Dengan demikian sebagai konsekwensi
“iman” serta “tawhid” maka tidak ada lagi alasan untuk membatasi laki-laki dan
perempuan bahkan membedakannya dalam menjalankan ‘amanat’nya untuk beramal
saleh. Kalaupun laki-laki bisa menduduki posisi dan berperan sebagai “ulama”,
maka perempuanpun demikian. Dan itulah keadilan Tuhan yang diberikan kepada
hambaNya.
Memang terjadi kontroversi antara para penginterpretasi agama
(sebut:para fuqaha’) untuk menentukan boleh dan
tidakbolehnya implikasi perempuan untuk posisi dan peran mereka dalam
kepemimpinan, hakim, atau kalau boleh sebut saja ulama
sebagaimana
penjelasan di atas. Di antaranya para pengiterpretasi masih bias gender untuk
memahami teks-teks agama yang bersifat misogini karena perspektif patrilinial. Dan ini semua di antaranya karena
alasan teologis sebagaimana yang dikatakan Ali Engineer. Maka dari itu kajian
ini menawarkan pula dekonstruksi epistem hukum Islam terutama pada fiqh patriarki yang berpijak pada
teologis.
Untuk melakukan dekonstruksi epistemologi hukum Islam, seseorang
harus melakukan ‘pembacaan ulang” atau i‘adat al-qiraah terlebih dahulu atas nama fenomena
“fakta Qur’an” dan “fakta Islam” yang melahirkan formulasi hukum Islam
klassik-skolastik. Pembacaan ulang tersebut penting dilakukan untuk mengetahui
sebab-sebab yang melatarbelakangi kelahiran formulasi hukum tersebut. Pertama-tama, pembacaan itu
berkaitan dengan fakta Qur’ani, sebab Qur’an merupakan titik tolak yang utama
dalam studi sejarah kritis pemikiran Islam-Arab untuk memahami bagaimana dunia
Islam dilihat seperti apa adanya sekarang ini. Masalah umumnya berkaitan dengan
interaksi antara wahyu, kebenaran dan sejarah yang berlangsung sejak tahun 622
M hingga sekarang.
Itu adalah konsep Arkoun. Melalui pembacaan ulang (i‘adat
al-qira’ah) Arkoun ingin mendialogkan kedua pendekatan tersebut secara
proporsional. Dengan kata lain ia ingin menekankan orientasi kontekstualitas
dan historis atas wahyu tanpa melupakan tekstualitas dan normatifitas wahyu
tersebut. Dalam kritik ini ia menawarkan
empat analisis dalam memahami al-dahirah al-Qur’aniyah (fakta Qur’ani) dan al-dahirah al-islamiyah (fakta Islami)
yaitu: analisis historis, antropologis, sosiologis yang ketiganya
itu berorientasi pada konteks, serta analisis linguistik (hermeneuitika dan semiotik)
yang berorientasi pada tekstualitas dan normativitas wahyu.
Melalui empat analisis itu, teks-teks agama tentang perempuan
dapat dibaca secara
lebih terbuka dan objektif, seperti hadith misogini (yang isinya membenci kaum
perempuan) atau teks Qur’an yang membahas tentang superioritas laki laki. Contoh hadith misogini adalah yang disebutkan
al-Bukhari dari Abu Bakrah:
“Siapa yang menyerahkan urusanya
kepada kaum perempuan, mereka tidak akan mendapatkan kemakmuran.”
Adapun usaha pembacaan ulang terhadap hadith tentang kepengurusan perempuan
sebagai fakta Qur’ani bisa berpijak pada QS: 9 (al-Tawbah): 7 yang mengemukakan
bahwa laki-laki dan perempuan memiliki kewajiban melakukan kerjasama dalam
berbagai bidang kehidupan, termasuk bidang politik. Begitu halnya dalam QS: 4
(al-Nisa’): 124 yang menyebutkan bahwa Allah telah menciptakan laki-laki dan
perempuan memiliki kemampuan yang sama untuk mengerjakan amal-amal saleh dalam
berbagai segi kehidupan. Dan mereka akan mendapatkan hasil atau balasan yang
sama. Dalam ayat tersebut tampak jelas bahwa Islam memilki konsep keadilan
jender dan tidak mengenal diskriminasi.
Sementara itu analisis fakta Islami (maksudnya analisis historis,
antropologis, sosiologis) dalam usaha pembacaan ulang terhadap hadith tentang
kepengurusan atau kepemimpinan perempuan dapat disampaikan sebagai berikut.
Pertama, sesuai dengan analisis historis hadith
tersebut di atas terdapat dalam Musnad Ahmad H{anbal (juz V), Sahih al-Bukhari (juz IV) dan al-Nasa’i (juz IV). Hadith itu oleh al-
Ghazali dalam kitabnya al-Sunnah al Nabawiyah bayn al-Fiqh
wa al Hadith dinilai sahih dari sisi matan, sedangkan dari
sisi sanadnya adalah hadith ahad yang sebagian orang meragukan autentitasnya.
Namun perlu digarisbawahi bahwa hadith itu merupakan komentar Nabi atas situasi
yang trjadi di Persia. Jadi tidak bisa diperlakukan secara umum Dari segi
perawi hadith, memilki sifat dapat dipercaya, dan dalam menuturkan hadith itu
dengan penerimanya (mata rantai perawinya bersambung atau pernah bertemu).
Hadith tersebut diriwayatkan oleh Abu Bakrah saja dan diturunkan kepada dua
orang, yaitu Abdur Rahman bin Jausan (menantunya) dan al-Hasan.
Kedua, analisis sosiologisnya adalah bahwa
peristiwa yang melatarbelakangi lahirnya hadith tersebut adalah wafatnya Kisra
Persia dan diangkatnya anak perempuannya yang bernama Buran menggantikan
Ayahnya. Kerajaan Persia saat itu sedang dihadapkan pada tantangan yang berat,
yaitu kerajaan Romawi yang menyerbu wilayah Persia dan berhasil menguasai
beberapa daerah. Di samping situasi kerajaan yang kacau, diperkirakan Buran tidak
memiliki kemampuan untuk memimpin kerajaan besar seperti Persia.
Penuturan tentang kondisi Persia itu disampaikan oleh Abdullah bin
Hadhafah yang baru pulang dari Persia. Ketika mendengar berita itu, Rasulullah
mengomentari melalui sabdanya tersebut di atas. Di sini terlihat adanya
peristiwa tertentu yang menyebabkan lahirnya hadith tersebut. Dengan demikian,
apabila dihubungkan dengan hal ini, sabda Rasulullah tersebut tidak berlaku
untuk perempuan umum tetapi kondisional.
Ketiga, secara antropologis bisa dikatakan bahwa sistem
pengetahuan Abu Bakrah sebagai seorang budak yang mendapatkan kemerdekaan setelah
masuk Islam masih sulit untuk memilih salah satu dari orang-orang yang dicintai
Rasulullah yang sedang terlibat konflik tersebut. Hadith yang melarang seperti
riwayat Abu Bakrah itu disampaikan oleh Abu Bakrah sewaktu ia menghadapi
situasi yang sulit karena harus memilih antara mendukung ‘Ali atau ‘Aishah yang
pada waktu itu terlibat konflik yang berpangkal pada terbunuhnya Uthman bin
‘Affan. Konflik itu memuncak dengan terjadinya perang Jamal. Akhirnya Abu
Bakrah cenderung memihak kepada Ali bin Abi Talib yang pada waktu itu berhasil
mengalahkan ‘Aishah dan menguasai kota Basrah. Dalam kondisi seperti itu Bakrah
mengungkap hadith tersebut. Dengan demkian dapat difahami bahwa hadith itu
tidak berlaku umum dan pemunculannyapun diwarnai oleh kepentingan tertentu. Dengan
usaha dekonstruksi seperti ini, mungkin bisa menghasilkan suatu pemahaman yang
dikehendaki (fiqh). Paradigma teologis yang tepat dan responsif ini bisa
dikatakan sebagai usaha penyegaran wawasan ideologi. Maka lewat cara ini, perempuan juga
berhak memperoleh peluang untuk memerankan dan memosisikan diri mereka setara
dengan laki-laki, baik sebagai pemimpin, hakim, ulama dan lain-lain. Wa Allah al-A‘lam bi al-Sawab
Daftar Rujukan
Abdullah, Amin. “Muhammed Arkoun dan Kritik Nalar Islam” dalam
Johan Hendrik Meuleman (ed.). Islam Tradisi Modernisme dan
Metmodernisme: Memperbincangkan Pemikiran Muhammaed Arkoun.
Yogyakarta: LKiS, 1996.
Amin, Qasim. Tahrir al-Mar’ah wa al-Mar’ah
al-Jadidah.
Kairo: al-Markaz al-‘Arabiyah, 1984.
Anwar, Ghazali. “Wacana Teologis Feminis Muslim,” dalam Wacana Teologis Feminis, ed. Baidawi, Zakiyyudin.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.
Arkoun, Mohammed. Pemikiran Arab, terj. Yudian W. Asmin. Yogyakarta: Pustaka
pelajar, 1996.
al-Asqalany, Ibn Hajr, Fath al-Bahr fi Sharh al- Bukhari, juz XIII. Ttp, Maktabah Salafiyah,
tt.
Ash-Siddiqy, T.M. Hasbi. Lapangan Perjuangan Wanita Islam.Yogyakarta: Menara kudus, 1952.
Azra, Azyumardi. Historiografi Islam Kontemporer:
Wacana, Aktualitas dan Aktor Sejarah. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama, 2004.
Engineer, Asghar Ali. Islam dan Teologi Pembebasan (terj.), Agung Prihantoro. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2003.
________. Pembebasan Perempuan (terj.) Agus Nuryanto dari “The
Qur’anWomen and Modern Society”. Yogyakarta: LkiS, 1999.
Beck, Lois dan Nikki Keddie. Women in the Muslim World. Cambridge: Harvard University Press,
1980.
Burhanudin dkk, Jajat. Ulama Perempuan Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama, 2002.
al-Banna, Hasan. al-Mar’ah al-Muslimah. Kairo: al-Maktabah
al-Sunnah, tt.
Chalil, Munawar. Nilai Wanita. Semarang: C.V Ramadhani, 1969. Al
Ghazali , Ihya’ Ulum al-Din. Kairo: Dar al-Sha‘b, tt.
Green, Arnold H. The Tunisia Ulama: Social Structure and Response to Ideological
Current.
Leiden: E.J. Brill, 1978.
Hanafi, Hassan. Min al-‘Aqidah ila al-Surah:
Muhawalat li I‘adah Bina’ Ilmu Usul al-Din. Kairo:
Maktabah Madbuli, tth, Vol. I.
________. Islam in The Modern World: Religion, Ideology and Development. Kairo: The Anglo-
Egyption Bookshop, tth, Vol. I.
Horikoshi, Horikoshi. Kyai dan perubahan Sosial. Jakarta: P3M, 1987.
Ilyas, Hamim. “Rekonstruksi Fiqh Ibadah Perempuan” dalam Wawan
Gunawan dan Evi
Shofia Inayati (ed.). Wacana Fiqh Perempuan dalam
Perspektif Muhammadiyah. Yogyakarta:
Majelis Tarjih dan UHAMKA, 2005.
Ismanto, Jumari. Peranan Wanita dalam Pembangunan
Bangsa Menurut Islam.
Surabaya: Bina
Ilmu,1982.
Jaelani, Abd Kadir. Peran Ulama dan Santri dalam
Perjuangan Politik Islam di Indonesia. Surabaya:
Bina Ilmu, 1994.
al- Jawzi, Ibn. Talbis Iblis . Kairo: Maktabah al-Madani, 1998.
Ja’far, Muhammad Anis Qasim. Perempuan dan Kekuasaan: Menelusuri
Hal Politik dan Persoalan
dalam Islam, terj.. Amzah: tp, 2002.
Kausar, Zeenath. Woman as The Head of State in
Islam?: A study of Few Positive and Negative
Argument. Kuala Lumpur: ILMIAH PUBLISHERS
SDN. BHD. 2002.
Khairin, Nur. “Perempuan sebagai Imam Shalat” dalam Sri Suhandjati
Sukri,(ed) Pemahaman
Islam dan Tantangan Keadilan Jender. Yogyakarta: Gama Media, 2002.
Manheim, Karl. Ideologi and Utopia. New York: International Library,
1936.
Mernissi, Fatimah.Wanita dalam Islam, (ter) Yaziar Radiantrti. Bandung:
Pustaka, 1994.
Mutahhari, Morteza. Wanita dan Hak-Haknya Dalam Islam. Bandung : Pustaka, 1986.
Nakamura, Mitsuo. ‘‘Muhammadiyah: Gerakan Islam Yang Kokoh”,
wawancara dalam Media
Inovasi, No. 11, Tahun VI, Desember 1994.
Ridla, Muhammad Rashid. Panggilan Islam terhadap Wanita. Bandung: Pustaka, 1986.
Salman, Ismah. “Keluarga Sakinah” dalam ‘Aisyah: Diskursus Gender di Qrganisasi
Perempuan
Muhammadiyah .Jakarta: PSAP Muhammadiyah, 2005.
Shuqqah, Abdul Halim Abu. Tahrir al-Mar’ah fi ‘Asr al-Risalah. Kuwait: Dar al-Qalam ,1998.
Syam, Nur. Madzhab-Madzhab Antropologi. Yogyakarta: LkiS, 2007.
al-Shalih, Subhi. ‘Ulum al-Hadith wa Mustalahuh. Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin,
1988.
Sharma, Arvind. Women in the World Religion dalam Perempuan dalam Agama Dunia, al-Mirzanah,
Syafaatun dkk (terj). Jakarta: Depag RI dan CIDA-McGill-Project,
2002.
Shihab, Quraish. Peran perempuan menurut Islam. Jakarta: INIS, 1991.
Siswomihardjo, Koento Wibisono. “Hubungan Filsafat, Ilmu dan
Budaya”, Makalah
disampaikan pada matakuliah umum di Semarang, 2001.
Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 1990.
al-Suba’i, Mustafa. al-Mar’ah bayna al-Fiqh wa al-Qanun. Kairo: Dar al-Salam, 1998.
Suriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar
Populer.
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,1990.
Surur-Iyunk, Bahrus. Teologi Amal Saleh: Membongkar Nalar Kalam Muhammadiyah
Kontemporer.
Surabaya: LPAM, 2005.
al-Suyuti, Jalaludin. Tabaqat al-Mufassirin. Beirut: Dar al-Kutub alIlmiyah, tt.
Supena, Ilyas dan M. Fauzi. Dekonstruksi dan RekonstruksiHukum
Islam. Semarang: Gama Media, 2002.
Umar, Nasarrudin. Argumen Kesetaraan Jender:
Perspektif al-Qur’a>n. Jakarta: Paramadina, 1999.
Vitalaya, Aida. Penelitian Peran Serta, dalam
Penelitian Jender. Jakarta: Depdikbud, 1995.
Yudi, Masfu’. Pengantar Ilmu Hadi>th. Surabaya: Bina Ilmu, 1988.
Yafie, Ali, “Pengertian Wali al-Amr dan Problematika Hubungan
Ulama dan Umara” dalam Nurcholish Madjid, dkk, Islam Universal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007
0 komentar:
Posting Komentar