Banyak hal yang dapat menjadi dasar terjadinya pernikahan.
Cinta, sayang, ingin, perlu, mampu, adalah beberapa hal yang kerap alas an
utama dua insane melangsungkan pernikahan.
Pernikahan merupakan sebuah kebutuhan manusia yang harus
dipenuhi, karena hal itu merupakan kebutuhan biologis dan psikologis yang tidak
bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Kasarnya, pernikahan merupakan runtutan
dari hasrat seksualitas yang dimiliki manusia (eros).
Namun, terlepas dari berbagai
alasan tersebut, islam menganjurkan beberapa syarat yang hendaknya dapat
dipenuhi sebelum seseorang menjalani sebuah pernikahan. Bukan syarat adanya
wali dan perangkat pernikahan lainnya, akan tetapi syarat kafa’ah atau
kecocokan dan kesesuaian antara kedua insan yang berkasih dan juga keluarga.
Mengapa demikian, pada awalnya
keduan insan ini adalah individu yang berbeda, kemudian ingin untuk disatukan
dengan tatacara yang benar menurut syariat islam. Nah, kalimat ‘individu yang
berbeda’ inilah yang kemudian menjadi disyaratkan adanya kafa’ah dalam
sebuah pernikahan. Agar kelak terdapat kesesuaian, keseimbangan dan
kesinambungan antara dua insan yang akan mengarungi kehidupan berdua.
B. DEFINISI
Kafa’ah menurut bahasa berarti
kesamaan atau kesetaraan. Dalam perkawinan, yang dimaksud dengan kufu’ yaitu
laki-laki sebanding dengan calon istrinya, sama kedudukan, sebanding dalam
tingkat sosial dan sederajat dalam akhlaq, kekayaan dan keturunannya.
Secara definitif memang yang di
tujukan dalam kafa’ah adalah kesesuaian seorang lelaki terhadap calon istrinya,
lelaki yang memiliki hak untuk memilih. Sepertihalnya dalam madzhab Hanafi
dikatakan bahwa kafa’ah hanya dipersyaratkan atas laki-laki,
dan tidak atas wanita. Jadi seorang laki-laki boleh menikah dengan wanita
manapun yang ia sukai, meskipun budak atau pelayan. Akan tetapi dalam
implementasinya, hal ini juga berlaku kebalikan. Seorang perempuan juga dapat
memilih orang yang ‘sesuai’ dengan dirinya. Dalam kedudukan, akhlaq dan hal-hal
lain dalam kesetaraan.
Secara sekilas mungkin hal ini menjadikan seolah-olah seseorang
‘terlalu idealis’ atau pilih-pilih. Memang benar itu pilih-pilih, tetapi bukan
terlalu idealis. Karena, seseorang memilih pendamping hidup bukan hal yang
dilakukan untuk waktu sekejap saja, melainkan dilakukan untuk sepanjang hidupnya,
sehingga memilah dan memilih harus dilakukan terlebih dahulu agar tidak
didapatkan penyesalan dikemudian hari.
Pengertian
dari kafa'ah (biasanya diucapkan kufu/sekufu) menurut bahasa adalah setara dan
seimbang, sedangkan menurut syari'at kafa'ah adalah suatu perkara yang
ketiadaannya akan menimbulkan celaan. Sedangkan pakem/dhobid dari kafa'ah
adalah kesetaraan antara seorang suami dengan istrinya dalam kesempurnaan dan
kerendahannya selain dalam hal terbebasnya seseorang dari aib-aib nikah.
Menurut
madzhab Syafi'i dan mayoritas ulama' Kafa'ah atau kesetaraan derajat antara
seorang lelaki dan seorang perempuan yang akan menikah hukumnya wajib. Dalil
disyari'atkannya kafa'ah dalam pernikahan adalah hadits ;
تَخَيَّرُوا
لِنُطَفِكُمْ، وَانْكِحُوا الْأَكْفَاءَ، وَأَنْكِحُوا إِلَيْهِمْ
"Pilihlah
(tempat) untuk mani kalian, dan nikahilah orang-orang yang sepadan, dan nikahkanlah
(wanita) dengan orang-orang yang sepadan." (Sunan Ibnu Majah, no.1968,
Mustadrok Lil-hakim, no.2687, Sunan Daruqutni, no.3788 dan Sunan Kubro
Lil-Baihaqi, no.13758)
Tujuan
disyari'atkannya kafa'ah adalah untuk menghindari celaan yang terjadi apabila
pernikahan dilangsungkan antara sepasang pengantin yang tidak sekufu
(sederajat) dan juga demi kelanggengan kehidupan pernikahan, sebab apabila
kehidupan sepasang suami istri sebelumnya tidak jauh berbeda tentunya tidak
terlalu sulit untuk saling menyesuaikan diri dan lebih menjamin keberlangsungan
kehidupan rumah tangga.
Namun
kafa'ah bukanlah termasuk syarat sahnya suatu pernikahan, dalam arti akad nikah
tetap sah meskipun kedua mempelai tidak sekufu apabila memang ridho,
sebab kafa'ah adalah hak yang diberikan kepada seorang wanita dan
walinya, dan mereka diperbolehkan menggugurkan hak itu dengan melangsungkan
suatu pernikahan antara pasangan yang tidak sekufu, apabila wanita tersebut dan
walinya ridho/setuju.
Dalil
sahnya suatu pernikahan yang tidak sekufu adalah hadits yang mengisahkan
tentang pernikahan antara Fatimah binti Qois dan Usamah, padahal Fatimah binti
Qois adalah wanita merdeka dan keturunan dari suku Quraisy sedangkan Usamah
adalah seorang budak. Imam Muslim rohimahulloh meriwayatkan ;
عَنْ
أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ قَيْسٍ، أَنَّ
أَبَا عَمْرِو بْنَ حَفْصٍ طَلَّقَهَا الْبَتَّةَ، وَهُوَ غَائِبٌ، فَأَرْسَلَ
إِلَيْهَا وَكِيلُهُ بِشَعِيرٍ، فَسَخِطَتْهُ، فَقَالَ: وَاللهِ مَا لَكِ
عَلَيْنَا مِنْ شَيْءٍ، فَجَاءَتْ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ،
فَذَكَرَتْ ذَلِكَ لَهُ، فَقَالَ: «لَيْسَ لَكِ عَلَيْهِ نَفَقَةٌ»، فَأَمَرَهَا
أَنْ تَعْتَدَّ فِي بَيْتِ أُمِّ شَرِيكٍ، ثُمَّ قَالَ: «تِلْكِ امْرَأَةٌ
يَغْشَاهَا أَصْحَابِي، اعْتَدِّي عِنْدَ ابْنِ أُمِّ مَكْتُومٍ، فَإِنَّهُ رَجُلٌ
أَعْمَى تَضَعِينَ ثِيَابَكِ، فَإِذَا حَلَلْتِ فَآذِنِينِي»، قَالَتْ: فَلَمَّا
حَلَلْتُ ذَكَرْتُ لَهُ أَنَّ مُعَاوِيَةَ بْنَ أَبِي سُفْيَانَ، وَأَبَا جَهْمٍ
خَطَبَانِي، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَمَّا
أَبُو جَهْمٍ، فَلَا يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتِقِهِ، وَأَمَّا مُعَاوِيَةُ
فَصُعْلُوكٌ لَا مَالَ لَهُ، انْكِحِي أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ» فَكَرِهْتُهُ، ثُمَّ
قَالَ: «انْكِحِي أُسَامَةَ»، فَنَكَحْتُهُ، فَجَعَلَ اللهُ فِيهِ خَيْرًا،
وَاغْتَبَطْتُ بِهِ
"
Dari Abu Salamah bin Abdurrahman dari Fathimah binti Qais bahwa Abu Amru bin
Hafsh telah menceraikannya dengan talak tiga, sedangkan dia jauh darinya,
lantas dia mengutus seorang wakil kepadanya (Fathimah) dengan membawa gandum,
(Fathimah) pun menolaknya. Maka (Wakil 'Amru) berkata; Demi Allah, kami tidak
punya kewajiban apa-apa lagi terhadapmu. Karena itu, Fathimah menemui
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam untuk menanyakan hal itu kepada beliau,
beliau bersabda: "Memang, dia tidak wajib lagi memberikan nafkah."
Sesudah itu, beliau menyuruhnya untuk menghabiskan masa iddahnya di rumah Ummu
Syarik. Tetapi kemudian beliau bersabda: "Dia adalah wanita yang sering
dikunjungi oleh para sahabatku, oleh karena itu, tunggulah masa iddahmu di
rumah Ibnu Ummi Maktum, sebab dia adalah laki-laki yang buta, kamu bebas
menaruh pakaianmu di sana, jika kamu telah halal (selesai masa iddah),
beritahukanlah kepadaku." Dia (Fathimah) berkata; Setelah masa iddahku
selesai, kuberitahukan hal itu kepada beliau bahwa Mu'awiyah bin Abi Sufyan dan
Abu Al Jahm telah melamarku, lantas Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda: "Abu Jahm adalah orang yang tidak pernah meninggalkan tongkatnya
dari lehernya (suka memukul -pent), sedangkan Mu'awiyah adalah orang yang miskin,
tidak memiliki harta, karena itu nikahlah dengan Usamah bin Zaid." Namun
saya tidak menyukainya, beliau tetap bersabda: "Nikahlah dengan
Usamah." Lalu saya menikah dengan Usamah, Allah telah memberikan limpahan
kebaikan padanya hingga bahagia." (Shohih Muslim, no.1480).
Pertimbangan
kafa'ah yang dimaksud dalam hal ini adalah dari pihak laki-laki, dan bukan dari
pihak perempuan, maksudnya seorang wanita itu yang mempertimbangkan
apakah lelaki yang akan menikah dengannya sekufu atau tidak, sedangkan apabila
derajat seorang wanita dibawah seorang lelaki itu tidaklah menjadi masalah.
Sebab semua dalil yang ada itu mengarah pada pihak lelaki dan sebagaimana
diketahui semua wanita yang dinikahi Nabi shollallohu 'alaihi wasallam
derajatnya dibawah beliau, karena tak ada yang sederajat dengan beliau, hal ini
bisa dilihat dari beragam latar belakang istri-istri Nabi. Selain itukemuliaan
seorang anak itu pada umumnya dinisbatkan pada ayahnya, jadi jika seorang
lelaki yang berkedudukan tinggi menikah dengan wanita biasa itu bukanlah suatu
aib.
Rosululloh shollallohu 'alaihi wasallam bersabda :
ثَلاَثَةٌ
يُؤْتَوْنَ أَجْرَهُمْ مَرَّتَيْنِ: الرَّجُلُ تَكُونُ لَهُ الأَمَةُ،
فَيُعَلِّمُهَا فَيُحْسِنُ تَعْلِيمَهَا، وَيُؤَدِّبُهَا فَيُحْسِنُ أَدَبَهَا،
ثُمَّ يُعْتِقُهَا فَيَتَزَوَّجُهَا فَلَهُ أَجْرَانِ
"Ada
tiga macam orang yang akan memperoleh pahala 2 kali ; seorang laki-laki yang
memiliki budak perempuan, kemudian ia mengajarinya dengan baik dan mendidik
akhlaknya dengan baik lalu ia memerdekakannya dan menikahinya, maka ia mendapat
2 pahala.. (Shohih
Bukhori, no.3011 dan Shohih Muslim, no.154)
Sedangkan
hal-hal yang menjadi pertimbangan dalam kafa'ah (hisholul kafa'ah) itu ada 6;
yaitu agama, iffah (menjauhkan diri dari dosa), nasab,merdeka (bukan
budak), pekerjaannya tidak rendahan dan terbebas dari aib-aib nikah,
sebagian ulama' menyatakan ada 5, dengan menggabungkan iffah dan agama
seperti
penjelasan dari kitab I'anatut Tholibin, Juz : 3 Hal : 377-378
فصل
في الكفاءة أي في بيان خصال الكفاءة المعتبرة في النكاح لدفع العار والضرر. وهي
لغة: التساوي والتعادل. واصطلاحا أمر يوجب عدمه عارا. وضابطها مساواة الزوج للزوجة
في كمال أو خسة ما عدا السلامة من عيوب النكاح (قوله: وهي) أي الكفاءة. وقوله
معتبرة في النكاح لا لصحته: أي غالبا، فلا ينافي أنها قد تعتبر للصحة، كما في
التزويج بالاجبار، وعبارة التحفة: وهي معتبرة في النكاح لا لصحته مطلقا بل حيث لا
رضا من المرأة وحدها في جب ولا عنة ومع وليها الاقرب فقط فيما عداهما.اه. ومثله في
النهاية وقوله بل حيث لا رضا، مقابل قوله لا لصحته مطلقا، فكأنه قيل لا تعتبر
للصحة على الاطلاق وإنما تعتبر حيث لا رضا.اه.ع ش. (والحاصل) الكفاءة تعتبر شرط
للصحة عند عدم الرضا، وإلا فليست شرطا لها (قوله: بل لانها حق للمرأة) أستفيد منه
أن المراعى فيها جانب الزوجة لا الزوج. وقوله والولي: أي واحدا كان أو جماعة
مستوين في الدرجة، فلا بد مع رضاها بغير الكف ء من رضا سائر الاولياء به. ولا يكفي
رضا أحدهم دون الباقين، كما سيأتي في كلامه، (قوله: فلهما) أي المرأة والولي
(قوله: إسقاطها) أي الكفاءة: أي ولو كانت شرطا لصحة العقد مطلقا لما صح حينئذ.
والمراد بالسقوط رضاهما بغير الكف ء وذلك لانه (ص) زوج بناته من غير كف ء ولا
مكافئ لهن، وأمر فاطمة بنت قيس نكاح أسامة فنكحته وهو مولى وهي قرشية ولو كانت
شرطا للصحة مطلقا لما صح ذلك (قوله: ولا يكافئ حرة الخ) شروع في بيان خصال
الكفاءة. والذي يؤخذ من كلامه متنا وشرحا أنها ست وهي الحرية والعفة والنسب والدين
والسلامة من الحرف الدنيئة والسلامة من العيوب، وبعضهم عدها خمسا وأدرج العفة في
الدين
Al Fiqhul Manhaji, Juz : 4 Hal : 44
والكفاءة
في الزواج من حق الزوجة وأوليائها، وهي وإن لم تكن شرطا في صحة النكاح، لكن مطلوبة
ومقررة دفعا للعار عن الزوجة وأوليائهما، وضمانا لاستقامة الحياة بين الزوجين،
وذلك لأن أسلوب حياتهما، ونوع معيشتهما يكونان متقاربين، ومألوفين لهما، فلا يضطر
أحدهما لتغيير مألوفة
فللزوجة
وأوليائها إسقاط حق الكفاءة، فلو زوجها وليها غير كفء برضاها صح الزواج، لأن
الكفاءة حقها وحق الأولياء، فإن رضوا بإسقاطها، فلا اعتراض عليهم. ويشير إلى
مراعاة الكفاءة، قول النبي - صلى الله عليه وسلم -: " تخيروا لنطفكم وانكحوا
الأكفاء وانكحوا إليهم ". رواه الحاكم (النكاح، باب: تخيروا لنطفكم .. ، رقم:
2/ 163) وصححه
Al Mausu'ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, Juz : 34 Hal : 267
حكم
الكفاءة في النكاح
اختلف
الفقهاء في الحكم التكليفي لاعتبار الكفاءة في النكاح: فذهب الحنفية والحنابلة إلى
أنه يجب اعتبارها فيجب تزويج المرأة من الأكفاء، ويحرم على ولي المرأة تزويجها
بغير كفء. وذهبوا إلى أن الكفاءة تعتبر في جانب الرجال للنساء، ولا تعتبر في جانب
النساء للرجال؛ لأن النصوص وردت باعتبارها في جانب الرجال خاصة، فإن النبي صلى
الله عليه وسلم لا مكافئ له، وقد تزوج من أحياء العرب، وتزوج صفية بنت حيي رضي
الله تعالى عنها، وقال: ثلاثة يؤتون أجرهم مرتين الرجل تكون له الأمة فيعلمها
فيحسن تعليمها، ويؤدبها فيحسن تأديبها، فيتزوجها، فله أجران ؛ ولأن المعنى الذي
شرعت الكفاءة من أجله يوجب اختصاص اعتبارها بجانب الرجال؛ لأن المرأة هي التي
تستنكف لا الرجل، فهي المستفرشة، والزوج هو المستفرش، فلا تلحقه الأنفة من قبلها،
إذ إن الشريفة تأبى أن تكون فراشا للدني، والزوج المستفرش لا تغيظه دناءة الفراش،
وكذلك فإن الولد يشرف بشرف أبيه لا بأمه
Ada beberapa hal yang menjadi
pertimbangan dalam kafa’ah, diantaranya nasab, akhlaq, fisik dan
agama. Dari hal-hal tersebut para ahli fiqih masih berselisih pendapat dalam
menjadikan kesemuanya sebagai unsur dari kafa’ah. Namun para ahli fiqih
telah bersepakat bahwa agama termasuk dalam kafa’ah.
Secara rasional adalah hal yang wajar dan normal ketika
seseorang mencari pendamping yang sesuai dengan dirinya — meskipun tidak dalam
segala hal — begitupula dengan keluarganya. Itupun tidak boleh berlebihan
sehingga terkesan memaksa. Karena Allah telah menyiapkan pada setiap manusia
pasangan masing-masing yang sesuai, jika dia baik maka seseorang yang baik akan
menjadi pendampingnya, dan juga sebaliknya.
الْخَبِيثَاتُ
لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ ۖ وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ
وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ (النور : 26)
Yang perlu diingat, kafa’ah bukan
syarat sahnya sebuah pernikahan, akan tetapi kafa’ah perlu menjadi pertimbangan
bagi seseorang ketika dia henda melangsungkan pernikahan.
C. DASAR
HUKUM KAFA’AH
Pertimbangan kafaah dalam pernikahan disandarkan pada hadits
yang diriwayatkan oleh nabi berikut ini:
1.
Riwayat dari Ali ibn Abi Thalib
ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda kepadanya,
يا
علي ثلاثة لاتؤخر الصلاة اذا اتت والجنازة اذا حضرة والايم اذا وجدت كفؤا
“Hai Ali, janganlah engkau mengakhirkan (menunda-nunda) tiga hal
: sholat jika telah tiba waktunya, jenazah jika telah hadir (untuk segera
diurus dan dikuburkan), dan anak perempuan yang siap menikah jika telah engkau
dapatkan yang sekufu dengannya”.
1.
Riwayat dari Aisyah ra,
bahwasanya Rasulullah saw bersabda,
تخيروا
لنطفكم فأنكحوا الا اكفاء وانكحوا اليهم
“Pilih-pilihlah untuk tempat tumpahnya nuthfah kalian (maksudnya
isteri), dan nikahkanlah orang-orang yang sekufu”.
1.
Atsar dari Umar ibn Al-Khaththab
ra. Beliau berkata, “Sungguh aku melarang dihalalkannya kemaluan para wanita
yang terhormat nasabnya, kecuali dengan orang-orang yang sekufu”. [Fathul
Qadiir J II hal. 417]
2.
Hadits yang diriwayatkan dari
Jabir bin Abdillah An-Anshori, bersabda Rasulullah saw:
ألا
لايزوج النساء إلا الأولياء ولا يزوجن من غير الأكفاء
“Janganlah engkau menikahi wanita kecuali dengan izin walinya, dan
janganlah engkau menikahinya kecuali dengan yang sekufu’.
1.
Hadits yang diriwayatkan oleh
al-Hakim, Rasulullah saw bersabda:
تخيروا
لنطفكم ولا تضعوها في غير الأكفاء
“Pilihlah wanita sebagai wadah
untuk menumpahkan nutfahmu, janganlah letakkan nutfahmu ke (rahim) wanita yang
tidak sekufu’.
D. TUJUAN
Dari beberapa hadits yang menjadi
dasar hukum kafa’ah di atas dapat difahami bahwa tujuan utama kafa’ah ketenrtaman
dan kelanggengan sebuah rumah tangga. Karena jika rumah tangga didasari dengan
kesamaan persepsi, kekesuaian pandangan, dan saling pengertian, maka niscaya
rumahtangga itu akan tentram, bahagia dan selalu dinaungi rahmat Allah swt.
Namun sebaliknya, jika rumah tangga sama sekali tidak didasari
dengan kecocokan antar pasangan, maka kemelut dan permasalahan yang kelak akan
selalu dihadapi.
Kebahagiaan adalah istilah umum
yang selalu diidam-idamkan oleh tiap pasangan dalam kehidupan mereka, namun itu
semua harus diawali dengan kafa’ah, kesesuaian, kecocokan dan
kesinambungan antar pasangan, sehingga segala hal yang dihadapi dapat
terselesaikan dengan baik, tanpa dibumbui dengan perbedaan yang besar diantara
kedua insan.
E. KESIMPULAN
Dari definisi, dasar hukum dan
tujuan kafa’ah diatas dapat disimpulkan bahwa, segala yang
dimaksudkan dengan adanya syariat kafa’ah adalah demi kebaikan
bersama dan keutuhan sebuah jalinan pernikahan. Sehingga sudah selayaknya bagi
kita untuk melaksanakan syariat tersebut, karena pada dasarnya kita semua sudah
melakukannya, akan tetapi kesemuanya mayoritas bukan untuk kafa’ah,
akan tetapi demi memenuhi keinginan dan hasrat pribadi.
Setiap orang ingin pendampingnya
kelak adalah yang terbaik, sesuai dan cocok dengan dirinya, begitupula dengan
keluarganya. Tapi dia tidak boleh lupa, bahwa dalam syariat adakafa’ah yang
menjadi tuntunan kita dalam mempersiapkan perjalanan rumah tangga.
Namun kita harus kembali
meluruskan niat, bahwa pernikahan juga merupakan ibadah, jika partner kita
dalam melakukan ibadah itu adalah orang yang kufu bagi kita,
maka insya allah ibadah yang kita jalankan akan senantiasa mendapatkan curahan
pahala dari Allah swt.
Akhirnya, semoga pilihan kita adalah pilihan terbaik Allah bagi
kita, dan menjadikannya sebagai sarana ibadah kita untuk mendapatkan ridho-Nya.
Karena, sebaik-baik usaha adalah usaha yang diiringi do’a dan kemudian tawakkal
kepada-Nya.
secara keseluruhan kita bisa mendapat beberapa kesimpulan
1.Pengertian dari kafa'ah adalah kesetaraan antara laki-laki dan wanita untuk mencegah celaan
2.Hukum kafaah adalah wajib
3.Kafa'ah bukanlah syarat akad nikah
4.Hal-hal yang menjadi pertimbangan dalam kafa'ah ada 6; yaitu agama, iffah, nasab,merdeka, pekerjaannya tidak rendahan dan terbebas dari aib-aib nikah.
Referensi :
1. I'anatut Tholibin, Juz : 3 Hal : 377-378
2. Al Fiqhul Manhaji, Juz : 4 Hal : 44
3. Al Mausu'ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, Juz : 34 Hal : 267
1. I'anatut Tholibin, Juz : 3 Hal : 377-378
2. Al Fiqhul Manhaji, Juz : 4 Hal : 44
3. Al Mausu'ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, Juz : 34 Hal : 267
4 . Fathul
Qadiir J II hal. 417]
0 komentar:
Posting Komentar