“Hanyalah yang memiliki khasy-yah (takut) kepada Allah dari kalangan hamba-hamba-Nya adalah para ‘ulama. ” [Fathir : 28]
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan : Yakni, hanya yang khasy-yah terhadap-Nya dengan sebenarnya adalah para ‘ulama yang mengenal-Nya / berilmu tentang-Nya. Karena setiap kali ma’rifah (pengenalan) terhadap Dzat yang Maha Agung, Maha Kuasa, Maha Berilmu, yang memiliki sifat-sifat kesempurnaan dan nama-nama yang indah, bila ma’rifah terhadap-Nya semakian sempurna dan ilmu tentang-Nya makin lengkap, maka makin bertambah besar dan bertambah banyak pula khasy-yah terhadap-Nya. ” Asy-Syaikh Al-Mufassir ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah menjelaskan dalam Tafsir-nya : “Maka setiap orang yang makin berilmu tentang Allah, maka dia akan semakin besar sifat khasy-yah (takut) terhadap-Nya. Maka sifat khasy-yah tersebut mendorongnya untuk menjauh dari segala kemaksiatan, dan sebaliknya mendorongnya untuk bersiap-siap menyongsong pertemuan dengan Dzat yang ia takut terhadap-Nya. Ini merupakan dalil atas keutamaan ilmu. Sesungguhnya ilmu mengantarkan untuk khasy-yah (takut) terhadap Allah. Seorang yang memiliki sifat khasy-yah terhadap-Nya adalah orang yang berhak mendapat kemuliaan dari-Nya. Sebagaimana firman-Nya : “Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha terhadap-Nya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang khasy-yah (takut) kepada Rabbnya. ” [Al-Bayyinah : 8]
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan : Yakni, hanya yang khasy-yah terhadap-Nya dengan sebenarnya adalah para ‘ulama yang mengenal-Nya / berilmu tentang-Nya. Karena setiap kali ma’rifah (pengenalan) terhadap Dzat yang Maha Agung, Maha Kuasa, Maha Berilmu, yang memiliki sifat-sifat kesempurnaan dan nama-nama yang indah, bila ma’rifah terhadap-Nya semakian sempurna dan ilmu tentang-Nya makin lengkap, maka makin bertambah besar dan bertambah banyak pula khasy-yah terhadap-Nya. ” Asy-Syaikh Al-Mufassir ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah menjelaskan dalam Tafsir-nya : “Maka setiap orang yang makin berilmu tentang Allah, maka dia akan semakin besar sifat khasy-yah (takut) terhadap-Nya. Maka sifat khasy-yah tersebut mendorongnya untuk menjauh dari segala kemaksiatan, dan sebaliknya mendorongnya untuk bersiap-siap menyongsong pertemuan dengan Dzat yang ia takut terhadap-Nya. Ini merupakan dalil atas keutamaan ilmu. Sesungguhnya ilmu mengantarkan untuk khasy-yah (takut) terhadap Allah. Seorang yang memiliki sifat khasy-yah terhadap-Nya adalah orang yang berhak mendapat kemuliaan dari-Nya. Sebagaimana firman-Nya : “Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha terhadap-Nya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang khasy-yah (takut) kepada Rabbnya. ” [Al-Bayyinah : 8]
Sabda baginda agung Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam :
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيْدٍ حَدَّثَنَا جَرِيْرٌ عَنْ هِشَامَ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيْهِ سَمِعْتُ عَبْدَ اللهِ بْنَ عَمْرٍو بْنِ الْعَاصِ يَقُوْلُ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَقُوْلُ : إِنَّ اللهَ لاَ يَقْبِضُ عِلْمًا إِنْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ النَّاسِ وَ لَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يَتْرُكْ عَالِمًا اتَّخَذَ النَاسُ رُؤُسًا جُهَالاً فَسُئِلُوْا فّأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوْا وَ أَضَلُّوْا. (رواه مسلم)
Artinya :
Qutaibah bin Said berkata kepada kami: Jarir berkata kepada kami: dari Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya : saya mendengar Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash berkata : saya mendengar Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan serta merta mencabutnya dari hati manusia. Akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ‘ulama. Kalau Allah tidak lagi menyisakan seorang ‘ulama pun, maka manusia akan menjadikan pimpinan-pimpinan yang bodoh. Kemudian para pimpinan bodoh tersebut akan ditanya dan mereka pun berfatwa tanpa ilmu. Akhirnya mereka sesat dan menyesatkan,” (HR. Al-Bukhari 100, 7307); Muslim [2673]).
sebab diriwatkannya hadits ini sendiri sebagai berikut; imam ahmad dan At-Thabrani meriwayatkan dari hadist Abu Umamah, katanya : selesai melakukan haji wada’ Nabi Muhammad Saw bersabda : “Ambillah ilmu sebelum ia ditarik/ diangkat”. Seorang arab badui bertanya : bagaimana ilmu diangkat ? Beliau bersabda : ketahuilah, sesungguhnya hilangnya ilmu adalah hilangnya dalam tiga periode. Dalam riwayat lain Abu Umamah, orang itu bertanya :”bagaimana mungkin ilmu terangkat, padahal ditengah-tengah kami selalu ada mushaf (Al-Qur’an), kami mempelajarinya dan kami mengetahuinya, serta kami ajarkan pula kepada anak-anak dan istri kami, demikian pula kepada para pelayan kami.” Rasulullah mengangkat kepalanya dan beliau menghampiri orang itu, karena marahnya. Beliau bersabda : “inilah Yahudi dan Nasrani dikalangan mereka ada mushaf, tetapi mereka tidak mempelajarinya, takkala para nabi dating kepada mereka. Ibnu Hajar berkata : hadist ini masyhur sekali dari riwayat hisyam dan dalam riwayat lain bunyinya …:sehingga tidak ada dari kalangan para ulama yang hidup.
al-Quran secara gamblang mengisyaratkan bahwa; wafatnya ulama sebagai sebuah penyebab kehancuran dunia, kehancuran moral, kehancuran sosial, kehancuran ummat. seperti firman Allah yang berbunyi:
“Dan apakah mereka tidak melihat bahwa sesungguhnya Kami mendatangi daerah-daerah, lalu Kami kurangi daerah-daerah itu (sedikit demi sedikit) dari tepi-tepinya? (Al- Ra’d: 41).
Menurut beberapa ahli tafsir seperti Ibnu Abbas dan Mujahid, ayat ini berkaitan dengan kehancuran bumi (kharab ad-dunya). Sedangkan kehancuran bumi dalam ayat ini adalah dengan meninggalnya para ulama (Tafsir Ibnu Katsir 4/472)
ulama' merupakan sinar bagi segenap ummat manusia yang ada dibumi dengan cahaya ilmu. tentu hal ini adalah hal yang amat berharga. baik bagi bumi maupun bagi manusianya itu sendiri. gambarannya adalah bumi merasa bahwa ummat manusia yang berilmu tak akan pernah merusak ekosistem yang ada di bumi. kerusakan kerusakan yang terdapat dibumi adalah akibat ulah manusia yang tak berilmu. lalu bagi manusia itu sendiri ulama' sangat berperan dalam menjaga iman islam dan ihsan bagi sebuah individu. jika kita diajarkan dengan siraman rohani yang begitu sejuk damai dan penuh cinta kasih maka tentu itu akan memberikan damppak positif dalam keberlangsungan hidup didunia sekaligus menjado bekal di akhirat.
“Dan apakah mereka tidak melihat bahwa sesungguhnya Kami mendatangi daerah-daerah, lalu Kami kurangi daerah-daerah itu (sedikit demi sedikit) dari tepi-tepinya? (Al- Ra’d: 41).
Menurut beberapa ahli tafsir seperti Ibnu Abbas dan Mujahid, ayat ini berkaitan dengan kehancuran bumi (kharab ad-dunya). Sedangkan kehancuran bumi dalam ayat ini adalah dengan meninggalnya para ulama (Tafsir Ibnu Katsir 4/472)
ulama' merupakan sinar bagi segenap ummat manusia yang ada dibumi dengan cahaya ilmu. tentu hal ini adalah hal yang amat berharga. baik bagi bumi maupun bagi manusianya itu sendiri. gambarannya adalah bumi merasa bahwa ummat manusia yang berilmu tak akan pernah merusak ekosistem yang ada di bumi. kerusakan kerusakan yang terdapat dibumi adalah akibat ulah manusia yang tak berilmu. lalu bagi manusia itu sendiri ulama' sangat berperan dalam menjaga iman islam dan ihsan bagi sebuah individu. jika kita diajarkan dengan siraman rohani yang begitu sejuk damai dan penuh cinta kasih maka tentu itu akan memberikan damppak positif dalam keberlangsungan hidup didunia sekaligus menjado bekal di akhirat.
Rasulullah Saw yang menegaskan ulama sebagai penerusnya, juga menegaskan wafatnya para ulama sebagai musibah.
Rasulullah bersabda:
Rasulullah bersabda:
“Maut al-Alim mushibatun la tujbaru wa tsulmatun la tusaddu, wa huwa najmun thamsun. Wa mautu qabilatin aisaru li min mauti alim”.
Artinya: “Meninggalnya ulama adalah musibah yang tak tergantikan, dan sebuah kebocoran yang tak bisa ditambal. Wafatnya ulama laksana bintang yang padam. Meninggalnya satu suku lebih mudah bagi saya daripada meninggalnya satu orang ulama” (HR al-Thabrani dalam Mujam al-Kabir dan al-Baihaqi dalam Syu’ab al- Iman dari Abu Darda')
Wafatnya Ulama Adalah Hilangnya Ilmu Umat manusia dapat hidup bersama para ulama adalah sebagian nikmat yang agung selama di dunia. Semasa ulama hidup, kita dapat mencari ilmu kepada mereka, memetik hikmah, mengambil keteladanan dan sebagainya. Sebaliknya, ketika ulama wafat, maka hilanglah semua nikmat itu. Hal inilah yang disabdakan oleh Rasulullah Saw:
Wafatnya Ulama Adalah Hilangnya Ilmu Umat manusia dapat hidup bersama para ulama adalah sebagian nikmat yang agung selama di dunia. Semasa ulama hidup, kita dapat mencari ilmu kepada mereka, memetik hikmah, mengambil keteladanan dan sebagainya. Sebaliknya, ketika ulama wafat, maka hilanglah semua nikmat itu. Hal inilah yang disabdakan oleh Rasulullah Saw:
“Khudzu al-ilma qabla an yadzhaba! Qalu: Ya Rasulallah, wa kaifa yadzhabu? Qala: Inna dzahaba al-ilmi dzahabu hamalatihi”.
Artinya: “Pelajarilah ilmu sebelum ilmu pergi! Sahabat bertanya: Wahai Rasulullah, bagaimana mungkin ilmu bisa pergi? Rasulullah menjawab: Perginya ilmu adalah dengan perginya (wafatnya) orang- orang yang membawa ilmu (ulama)” (HR al- Thabrani No 7831 dari Abu Umamah)
Wafatnya ulama juga memiliki dampak sangat besar, diantaranya munculnya pemimpin baru yang tidak mengerti tentang agama sehinga dapat menyesatkan umat, kesesatan pasca wafatnya ulama' inilah yang menjadi asensi anjuran baginda rosul s.a.w agar supaya belajar kepada para ahlul ilmu sebelum wafat.
Shahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu mengingatkan dan menasehatkan :
عليكم بالعلم قبل أن يرفع، ورفعه هلاك العلماء، فوالذي نفسي بيده ليودن رجال قتلوا في سبيل الله شهداء أن يبعثهم الله علماء لما يرون من كرامتهم، وإن أحدا لم يولد عالما، وإنما العلم بالتعلم
“Wajib atas kalian untuk menuntut ilmu, sebelum ilmu tersebut dihilangkan. Hilangnya ilmu adalah dengan wafatnya para ‘ulama. Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh orang-orang yang terbunuh di jalan Allah sebagai syuhada, mereka sangat menginginkan agar Allah membangkitkan mereka dengan kedudukan seperti kedudukannya para ‘ulama, karena mereka melihat begitu besarnya kemuliaan para ‘ulama. Sungguh tidak ada seorang pun yang dilahirkan dalam keadaan sudah berilmu. Ilmu itu tidak lain didapat dengan cara belajar. ” [lihat Al-’Imu Ibnu Qayyim, no. 94].
innalillahi wa inna ilaihi rojiun
disaat sekarang kita telah banyak ditinggalkan oleh para ulama' pembimbing hati dan jiwa kita. semakin sedikit ulama' yang menyirami jiwa jiwa yang gersang. dan tentu hal itu kita harus prihatin, banyak ulama' yang mengajar di surau surau, dipesantren dan majlis ta'lim telah berpulang mendahului kita. para ulama' zaman dahulu yang memperjuangkan agama di indonesia banyak sekali bahkan yang wafat dalam keadaan terbunuh. ironis sekali bahkan beberapa waktu yang lalu seorang ulama besar dari syiria wafat di BOM di Masjid Iman di pusat Damaskus, dan Mohammed al-Buti, imam Masjid kuno Ummayyad.tentu ini merupakan duka yang mendalam.rosululloh s.a.w bersabda;
وقال عليه الصلاة والسلام: إذا مَاتَ العَالِمُ بَكَتْ عَلَيْهِ أَهْلُ السَّمَوٰاتِ والأَرْضِ سَبْعِينَ يَوْما وقال عليه الصلاة والسلام: مَنْ لَمْ يَحْزَنْ لِمَوْتِ العَالِمِ، فَهُوَ مُنَافِقٌ مُنَافِقٌ مُنَافِقٌ قالها ثلاث مرات)
Nabi Sallallahu 'alaihi wa salam bersabda : "Jika orang alim meninggal dunia, maka penduduk langit dan bumi menangis selama tujuh hari." Dan sabda Beliau saw, "Barang siapa tidak bersedih atas wafatnya orang alim, maka ia munafik, munafik, munafik." Nabi saw mengucapkannya tiga kali (Imam Suyuthi yaitu Lubabul hadits.)
Kendatipun telah banyak yang telah wafat, dan wafatnya kyai adalah sebuah musibah dalam agama, maka harapan kita adalah lahirnya kembali ulama yang meneruskan perjuangannya. Harapan ini sebagaimana yang dikutip oleh Imam al-Ghazali dari Khalifah Ali bin Abi Thalib:
“Idza mata al-’Alimu tsaluma fi al-Islam tsulmatun la yasudduha illa khalafun minhu”.
“Idza mata al-’Alimu tsaluma fi al-Islam tsulmatun la yasudduha illa khalafun minhu”.
Artinya: “Jika satu ulama wafat, maka ada sebuah lubang dalam Islam yang tak dapat ditambal kecuali oleh generasi penerusnya” (Ihya Ulumiddin I/15).
generasi mendatang adalah msa depan yang baik, sekaligus penerus perjuangan para ulama.'
0 komentar:
Posting Komentar