Munculnya Teologi
Pembebasan
Teologi Pembebasan ibarat dua sisi uang logam yang tak dapat
dipisah, terutama saat dunia Islam mengalami berbagai quantum di hampir segala
aspeknya. Teologi itu sendiri berasal dari theos yang
berarti Tuhan dan logosyang
berarti ilmu. Teologi adalah ilmu yang mempelajari tentang Tuhan dan
hubungannya dengan manusia dan alam semesta. Sedangkan kata pembebasan (taharrur, liberation) merupakan
istilah yang muncul sebagai reaksi atas istilah pembangunan yang kemudian
menjadi ideologi ekonomi liberal dan kapitalistik yang umum digunakan di negara
dunia ketiga sejak tahun 60-an. Di kawasan Amerika Latin misalnya, teologi
pembebasan menjadi respon atas kondisi sosial, ekonomi dan politik dengan
melakukan industrialisasi di bawah arahan modal multinasional, meski nantinya,
karena mementingkan pertumbuhan ekonomi, industrialisasi telah menciptakan
kesenjangan sosial yang begitu tajam.
Teologi Pembebasan (pada mulanya) merupakan gerakan yang
dilakukan oleh para Romo, Uskup, dan bagian-bagian lain gereja sejak awal tahun
60-an. Gustavo Gutierrez (Peru) adalah orang pertama yang merangkum paham
Teologi Pembebasan secara tertulis lewat bukunya, Teologia
de la Liberacion. Tokoh setelah Gustavo, Juan Louise Segundo (Uruguay), Hugo
Asmann (Brazil) dan John Sabrino (El-Salvador), adalah pastor yang relatif
punya otoritas dan profesional secara akademis. Karena itu Teologi Pembebasan
menjadi mainstream dan paradigma yang khas Amerika Latin[1]. Sebab, pemahaman
Teologi Barat (Eropa) yang bersifat transendental dan rasional, yang berkutat
dalam upaya memahami Tuhan dan iman secara rasional, menurut para uskup Amerika
Latin menimbulkan kemandekan berpikir, bertindak, dan menjauhkan gereja dari
masalah-masalah kongkret. Teologi Barat hanya sibuk mengkhotbahkan ajaran Yesus
sejauh menyangkut hidup pribadi, mengimbau orang agar bertahan dan sabar
menghadapi penderitaan, menghibur kaum miskin dan tertindas dengan iming-iming
surga setelah kematian. Menurut mereka, gereja harus secara nyata melibatkan
diri dan berpihak pada rakyat yang tak berdaya. Agama dan teologi, lanjut
mereka, tak boleh meninabobokan umat beriman, melainkan harus memberikan
dorongan kepada rakyat untuk melakukan perubahan. Rakyat harus disadarkan bahwa
penderitaan, kemiskinan, dan keterbelakangan bukan nasib turunan, melainkan
buah dari struktur sosial-ekonomi-politik yang berlaku.
Aswaja, Warisan Intelektual dan Perjuangan
Tragedi meninggalnya Ngarso
Dhalem Nabi Muhammad Saw pada 12 Juni 632 M melahirkan suatu perjuangan
keagamaan dan politik yang sangat kental. Polemik perbedaan pendapat yang
semula bersifat politis (suksesi kekuasaan pasca meninggalnya Nabi SAW) beralih
ke persoalan-persoalan teologis, yakni munculnya berbagai aliran dalam Islam.
Di samping itu faktor sosiologis berperan penting dalam memperuncing terjadinya
polarisasi aliran-aliran teologi yang semakin bermunculan, tanpa kecuali Ahlu
al-Sunnah wa al-Jamaah (Aswaja) yang secara de
yure lahir pada abad ke-3 Hijriyah. Kenyataan tersebut yang pada
gilirannya menjadi teka-teki besar dalam sejarah perkembangan (bukan hanya
teologi, tapi juga) pemikiran dan intelektualitas dalam dunia Islam[2].
Membincang akidah Aswaja, berarti kita harus sowan kepada beberapa pelopor
dari paham ini, yakni: Imam Abu Hasan al-Asy'ari (w. 324 H) dan Imam Abu Mansur
al-Maturidi (w. 333 H). Pada estafeta sejarah berikutnya paham ini diteruskan
oleh beberapa nama, seperti: Abu Bakar Al-Qaffal (w. 365 H), Hafizh Al-Baihaqi
(w. 458 H), al-Juwaini (w. 460 H), Al-Ghazali (w. 505 H) dan Fakhruddin Al-Razi
(w. 606 H). Imam al-Asy'ari sebelumnya adalah penganut Mu'tazilah selama 40
tahun, namun karena paham ini dianggap terlalu liberal dan setelah
"mengalahkan" gurunya, Abu Ali al-Jubba'i, berdebat tentang teologi,
maka Imam Asy'ari mendirikan paham Asy'ariyah yang nantinya disempurnakan oleh
Imam Maturidi dan beberapa genarasi sesudahnya menjadi Aswaja sampai KH Hasyim
Asy'ari[3].
Dengan demikian, dialektika pemikiran Imam al-Asy'ari untuk
melawan doktrin Mu'tazilah Qadariyah, Jabariyah dan Nasrani adalah sebuah usaha
besar yang harus terus diapresiasi dan selalu diperjuangkan eksistensinya oleh
generasi penerus. Bagaimana caranya? Mudah saja, cukup menginstall dialektika
Imam Asy'ari serta menggunakan "bakiak kultural" KH Hasyim Asy'ari.
"Bakiak" adalah akronim dari baq(a') dan yaq(in). Sebab, Islam tersebar
ke bumi Indonesia dan masih awet sampai sekarang karena dakwah Islamiyah
sebagaimana dicontohkan Walisongo bersinergi dengan budaya, adat dan tradisi
Jawa kala itu. Dengan demikian Aswaja bukan semata-mata merupakan paham akidah
atau aliran keagamaan, tapi ia juga suatu gerakan (harakah)kemanusiaan
yang terus menjunjung tradisi Nabi Saw, para sahabat, tabi'in dan ulama dengan
menjaga as-sunnah dan
menjunjung al-jama'ah, yakni
persatuan dengan berpegang teguh pada al-Qur'an, al-Hadits, Ijma' (konsensus),
Qiyas (silogisme) serta mengikuti salah satu dari empat madzhab fiqh (madzahib al-arba'ah)Maliki, Hambali, Syafi'i
dan Hanafi.
Secara garis besar peta pemikiran Aswaja bertolak dari empat
landasan di atas, sebab keempat pijakan tersebut bukan hanya sumber kebenaran
dan kebaikan, tapi juga sumber ilmu pengetahuan dan peradaban, bahkan seluruh
ulama yang mengibarkan bendera Aswaja adalah para ilmuwan, teolog, sufi, faylasuf, dokter, matematikawan,
fisikawan, sastrawan, sejarawan, ahli kimia, sosiolog, astronom, politisi,
musikus dan ahli tatanegara. Dengan demikian, jelaslah bahwa ideologi Aswaja
tentu saja tidak serta merta harus dipahamiansich sebagai
doktrin teologi dan akidah belaka. Islam pun sebenarnya juga bukan cuma agama (al-din) yang berisi akidah dan
syari'ah, lebih dari itu Islam adalah cakrawala pemikiran dan mercusuar ilmu
pengetahuan(al'ilm), Islam
juga merupakan sistem sosial kemasyarakatan (al-mu'amalat) dan
yang terakhir Islam memiki agenda besar dan cita-cita luhur humanisme, yakni rahmatan li al-'alamin. Inilah
warisan terbesar dari an-Nabi Saw, para sahabat, tabi'in, auliya' dan ulama yang harus kita
perjuangkan sampai jasad berkalang tanah, insya
Allah. Bukankah dunia hanya akan menertawakan kita bangsa Indonesia
kalau kita hanya menjadi "pemenang" dengan mengalahkan
saudara-saudara kita sendiri? Inilah yang sejatinya telah dirintis oleh Nabi
Muhammad Saw ketika beliau mendirikan negara Madinah (bukan negara Islam!) yang
dulunya bernama Yatsrib.
Kota ini adalah tempat di mana banyak agama seperti Islam,
Yahudi, Nasrani dan Paganisme, banyak kultur, bahasa, etnis dan keragaman suku
seperti: Quraisy, 'Aus, Khazraj, Bani Qaynuqa', Nadzir serta kaum
Anshar-Muhajirin yang hidup beriringan. Melihat realitas itu, Nabi Saw
berpidato di depan khalayak mengeluarkan 16 poin kesepakatan bernama al-Wa'du al-Madinah alias
Piagam Madinah[4]. Piagam sakti ini memuat segala kesepakatan yang fair, toleran dan
menjunjung-tinggi kemanusiaan serta memberi ruang bagi kebebasan agama, politik
dan ekonomi masing-masing suku, menjamin kebebasan HAM (human rights) seperti: hak hidup
bermasyarakat, mengekspresikan adat-istiadat, perbedaan etnis dan geografis,
hak kepemilikan harta, saling melindungi dan menjamin seluruh hak asasi dalam
satu wadah, yakni negara Madinah al-Munawwarah[5]. Inilah pribadi dan
karakteristik Aswaja yang dicontohkan Nabi SAW, yakni dakwah yang toleran,
tidak memaksa apalagi radikal, anti kekerasan dan berjejaring sosial (social networking) dengan
mengedepankan idealisme moral, rahmatan li
al-'alamin. Dengan kata lain, teologi Aswaja adalah teologi pembebasan dan
inklusif.
[1] Francis Wahono Nitiprawiro, Teologi
Pembebasan, Sejarah, Metode, Praksis dan Isinya, (Yogjakarta:
LKiS, cet. II, 2008), hlm. 8-9.
[2] Dhofir Zuhry, Ach, Tersesat
di Jalan yang Benar (Jakarta: Kalam Mulia, 2007) h.79
[3] Pahlawan Nasional dan pendiri Nahdlatul Ulama (NU), di
antara karya monumentalnya adalah: Adab
al-Alim wal Muta'allim, al-Tanbihat al-Wajibat, Durar al-Muntatsirah, Qanun
Asasi, Risalah Ahlussunnah wa al-Jama'ah, al-Thibyan, dan Nur al-Mubin.
[4] Ibnu Hisyam, Abd Malik al-Anshari, As-Sirah an-Nabawiyah li Ibn Hisyam, (Beirut:
Dar al-Fikr, 1415 H), h.119-122
[5] Nanat Fatah dan Mulyana, Yahudi
versus Islam, Konflik Agama dan Politik (Bandung: Sega Arsy,
2010) h. 243
0 komentar:
Posting Komentar