Setelah
soal korupsi yang terus gencar dan terdesentralisasi, kini muncul ke permukaan
soal gratifikasi atau hadiah dalam bentuk layanan seks. Meski ini ”lagu lama”,
kemunculannya sontak membuat gemas masyarakat. Bukan rahasia lagi, tindakan
korupsi bisa dilakukan dengan berbagai cara. Dalam beberapa penelitian
terungkap, banyak kepala daerah menyelewengkan APBD untuk kepentingan pribadi.
Selain uang, salah satu modus penyimpangan adalah membayar jasa pemuas seks
untuk diberikan kepada oknum tertentu guna melancarkan proyek.
Fakta
ini sesungguhnya menyingkap bukan saja diversifikasi korupsi, tetapi juga
potret dinamika hukum kita. Di sinilah terdapat blessing in disguise karena
terbuka momentum bagi kita semua untuk menilainya. Hal ini mengingat, dalam
kasus-kasus seperti itu, selama ini yang lebih ditekankan adalah soal korupsinya,
bukan gratifikasi seks yang selama ini tidak digolongkan dalam tindakan korupsi
atau suap, kecuali uang yang digunakan dari APBD,.
·
Pengertian Gratifikasi,رشوة
rishwah , هدية hadiah
Gratifikasi
adalah uang hadiah yang diberikan pada pegawai di luar gaji yang telah
ditentukan.
Suap
sendiri dalam makna yang kedua ini tidak ditemukan di dalam kamus bahasa
Indonesia, yang ditemukan adalah yang sepadan dengannya yaitu sogok yang
diartikan sebagai : ”dana yang sangat besar yang digunakan untuk menyogok
para petugas” Sungguh pengertian yang kurang sempurna, karena apabila
pengertiannya seperti ini maka tentunya dana-dana kecil tidak termasuk sebagai
kategori sogok atau suap.
Adapun
dalam bahasa arab, gratifikasi dikenal dengan istilah riswah, menurut bahasa
riswah berarti upah, hadiah, komisi atau suap. Sedangkan menurut istilah riswah
berarti sesuatu yang diberikan dalam rangka mewujudkan kemaslahatan atau
sesuatu yang diberikan dalam rangka membenarkan yang batil/salah atau
menyalahkan yang benar.
Hadiah diambil dari kata bahasa
Arab, dan maknanya adalah pemberian seseorang yang sah memberi pada masa
hidupnya, secara kontan tanpa ada syarat dan balasan”. (Lihat Aqrabul Masalik,
V/341,342)
Sedangkan Suap (risywah) ialah memberi uang dan sebagainya
kepada petugas (pegawai), dengan harapan mendapatkan kemudahan dalam suatu
urusan”. (Lihat Mukhtarush Shihah, hlm. 244 dan Qamus Muhith, IV/336)
sedangkan versi pengertian lainnya sebagai berikut:
sedangkan versi pengertian lainnya sebagai berikut:
1). Suap adalah, pemberian yang
diharamkan syariat, dan ia termasuk pemasukan yang haram dan kotor. Sedangkan
hadiah merupakan pemberian yang dianjurkan syariat, dan ia termasuk pemasukan
yang halal bagi seorang muslim.
2). Suap, ketika memberinya tentu dengan syarat yang tidak sesuai dengan syariat, baik syarat tersebut disampaikan secara langsung maupun secara tidak langsung. Sedangkan hadiah, pemberiannya tidak bersyarat.
3). Suap, diberikan untuk mencari muka dan mempermudah dalam hal yang batil. Sedangkan hadiah, ia diberikan dengan maksud untuk silaturrahim dan kasih-sayang, seperti kepada kerabat, tetangga atau teman, atau pemberian untuk membalas budi.
4). Suap, pemberiannya dilakukan secara sembunyi, dibangun berdasarkan saling tuntut- menuntut, biasanya diberikan dengan berat hati. Sedangkan hadiah, pemberian terang-terangan atas dasar sifat kedermawanan.
5). Suap -biasanya- diberikan sebelum pekerjaan, sedangkan hadiah diberikan setelahnya. (Lihat Hadaya Lil Muwazhzhafin, Dr. Al-Hasyim, hal 27-29)
2). Suap, ketika memberinya tentu dengan syarat yang tidak sesuai dengan syariat, baik syarat tersebut disampaikan secara langsung maupun secara tidak langsung. Sedangkan hadiah, pemberiannya tidak bersyarat.
3). Suap, diberikan untuk mencari muka dan mempermudah dalam hal yang batil. Sedangkan hadiah, ia diberikan dengan maksud untuk silaturrahim dan kasih-sayang, seperti kepada kerabat, tetangga atau teman, atau pemberian untuk membalas budi.
4). Suap, pemberiannya dilakukan secara sembunyi, dibangun berdasarkan saling tuntut- menuntut, biasanya diberikan dengan berat hati. Sedangkan hadiah, pemberian terang-terangan atas dasar sifat kedermawanan.
5). Suap -biasanya- diberikan sebelum pekerjaan, sedangkan hadiah diberikan setelahnya. (Lihat Hadaya Lil Muwazhzhafin, Dr. Al-Hasyim, hal 27-29)
·
Gratifikasi, hadiah, رشوةهدية dalam tinjauan syara’
Dalam syariat
islam perkara suap-menyuap sangat ditentang oleh agama islam Rasulullah SAW
bersabda :
لعنة الله على الراشي والمرتشي
“Allah melaknat
orang yang memberi suap, dan yang menerima suap” (HR. Ahmad dan selainnya dari Abdullah
bin Amr’ Rhadiyallahu ‘anhuma , Dishohihkan Al-Albani
dalam Shohihul Jami’ 5114 dan dalam kitab-kitab beliau
lainnya)”
Maka
hadits ini bagi orang-orang beriman akan membuat mereka akan menjauhi perbuatan
ini, dan ditambah lagi para ulama mengatakan bahwa hadits-hadits yang semisal
seperti ini, yaitu lafadz “Allah melaknat” menunjukkan bahwa perbuatan tersebut
adalah termasuk kategori dosa besar yang tidak akan diampuni kecuali dia
bertaubat, adapun ketika dia mati dalam keadaan belum bertaubat maka di bawah
kehendak Allah apakah akan mengadzabnya atau tidak.
Pada dasarnya, seseorang memberikan hadiah atau bingkisan kepada saudaranya seislam merupakan perbuatan terpuji dan dianjurkan oleh syariat. Apalagi jika diniatkan untuk menyambung silaturahim, kasih sayang dan rasa cinta, atau dalam rangka membalas budi dan kebaikan orang lain dengan hal yang semisal atau lebih baik darinya.
Hal ini sebagaimana sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam:
تَهَادَوْا تَحَابُّوا
“Hendaklah kalian saling memberi hadiah, niscaya kalian akan saling mencintai.” (HR. Al-Baihaqi II/339 no.12297, dan Abu Ya’la dalam Musnadnya XI/9 no.6148, dan Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad dari Abu Hurairah. -Shahihul Jami’ no.3004 dan Irwa’ul Ghalil no.1601)
تَهَادَوْا تَحَابُّوا
“Hendaklah kalian saling memberi hadiah, niscaya kalian akan saling mencintai.” (HR. Al-Baihaqi II/339 no.12297, dan Abu Ya’la dalam Musnadnya XI/9 no.6148, dan Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad dari Abu Hurairah. -Shahihul Jami’ no.3004 dan Irwa’ul Ghalil no.1601)
Dan diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallahu
‘anha, ia berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَقْبَلُ الْهَدِيَّةَ وَيُثِيبُ عَلَيْهَا
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menerima hadiah dan membalasnya.”
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَقْبَلُ الْهَدِيَّةَ وَيُثِيبُ عَلَيْهَا
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menerima hadiah dan membalasnya.”
(HR. Bukhari II/913 no.2445)
Namun terkadang pula, hadiah bisa
menjadi haram atau perantara menuju perkara yang haram jika hadiah tersebut
untuk tujuan yang melanggar aturan syariat, seperti bertujuan menyuap orang
yang menerimanya agar memberikan sesuatu yang bukan haknya, atau membebaskannya
dari hukuman yang mesti menimpanya, membatilkan yang hak, atau sebaliknya.
Dengan demikian, hukum memberikan hadiah itu berbeda-beda sesuai dengan tujuan
pemberinya dan seberapa jauh dampak dan kerusakan yang ditimbulkan dari
pemberian tersebut.
Terdapat beberapa hadits shahih
yang sangat menarik untuk menggambarkan dan menjelaskan hukum permasalahan ini.
diantaranya apa yang diriwayatkan dari Abu Humaid As-Sa’idi Radhiyallahu ‘anhu,
ia berkata:
اسْتَعْمَلَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – رَجُلاً مِنْ بَنِى أَسَدٍ يُقَالُ لَهُ ابْنُ الأُتَبِيَّةِ عَلَى صَدَقَةٍ فَلَمَّا قَدِمَ قَالَ هَذَا لَكُمْ وَهَذَا أُهْدِىَ لِى . فَقَامَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – عَلَى الْمِنْبَرِ – قفَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ ثُمَّ قَالَ « مَا بَالُ الْعَامِلِ نَبْعَثُهُ ، فَيَأْتِى يَقُولُ هَذَا لَكَ وَهَذَا لِى . فَهَلاَّ جَلَسَ فِى بَيْتِ أَبِيهِ وَأُمِّهِ فَيَنْظُرُ أَيُهْدَى لَهُ أَمْ لاَ ، وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ لاَ يَأْتِى بِشَىْءٍ إِلاَّ جَاءَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَحْمِلُهُ عَلَى رَقَبَتِهِ ، إِنْ كَانَ بَعِيرًا لَهُ رُغَاءٌ ، أَوْ بَقَرَةً لَهَا خُوَارٌ ، أَوْ شَاةً تَيْعَرُ » . ثُمَّ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى رَأَيْنَا عُفْرَتَىْ إِبْطَيْهِ « أَلاَ هَلْ بَلَّغْتُ » ثَلاَثًا . قَالَ سُفْيَانُ قَصَّهُ عَلَيْنَا الزُّهْرِىُّ . وَزَادَ هِشَامٌ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِى حُمَيْدٍ قَالَ سَمِعَ أُذُنَاىَ وَأَبْصَرَتْهُ عَيْنِى
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam pernah mengangkat salah seorang dari suku Asad sebagai petugas (amil) yang memungut zakat Bani Sulaim. Orang memanggilnya dengan sebutan Ibnu Al-Utabiyah. Ketika ia datang, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam mengaudit hasil zakat yang telah dikumpulkannya. Ia (Ibnu Al-Utabiyah) berkata, “Wahai Rasul, ini untuk Anda dan ini dihadiahkan untuk saya,” Kemudian Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam berkata kepadanya: “Kalau engkau benar, mengapa engkau tidak duduk saja di rumah ayah dan ibumu, sampai hadiah itu mendatangimu?” Lalu Rasulullahh Shallallahu alaihi wa sallam berkhutbah, memanjatkan pujian kepada Allah azza wa jalla , Lalu beliau bersabda: “Aku telah tugaskan seseorang dari kalian sebuah pekerjaan yang Allah azza wa Jalla telah pertanggungjawabkan kepadaku, Lalu ia datang dan berkata: “yang ini harta kalian, sedangkan yang ini hadiah untukku”. Jika dia benar, mengapa ia tidak duduk saja di rumah ayah atau ibunya, kalau benar hadiah itu mendatanginya. Demi Allah, tidaklah salah seorang kalian mengambilnya tanpa hak, melainkan dia bertemu dengan Allah (pada hari kiamat, pen) dengan membawa unta yang bersuara, atau sapi yang melenguh, atau kambing yang mengembik,” lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya hingga nampak ketiaknya, dan berkata: “Ya Allah, aku telah sampaikan,”beliau ucapkan tiga kali. (Abu Humaid As-Sa’idi, perawi hadits ini berkata), “Aku Lihat langsung dengan kedua mataku, dan aku dengar langsung dengan kedua telingaku.” (HR Bukhari VI/2624 no. 6753, dan Muslim III/1463 no. 1832) Hadis ini menunjukkan bahwa hadiah itu datang kepadanya karena jabatan, kedudukan atau tugasnya.
اسْتَعْمَلَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – رَجُلاً مِنْ بَنِى أَسَدٍ يُقَالُ لَهُ ابْنُ الأُتَبِيَّةِ عَلَى صَدَقَةٍ فَلَمَّا قَدِمَ قَالَ هَذَا لَكُمْ وَهَذَا أُهْدِىَ لِى . فَقَامَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – عَلَى الْمِنْبَرِ – قفَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ ثُمَّ قَالَ « مَا بَالُ الْعَامِلِ نَبْعَثُهُ ، فَيَأْتِى يَقُولُ هَذَا لَكَ وَهَذَا لِى . فَهَلاَّ جَلَسَ فِى بَيْتِ أَبِيهِ وَأُمِّهِ فَيَنْظُرُ أَيُهْدَى لَهُ أَمْ لاَ ، وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ لاَ يَأْتِى بِشَىْءٍ إِلاَّ جَاءَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَحْمِلُهُ عَلَى رَقَبَتِهِ ، إِنْ كَانَ بَعِيرًا لَهُ رُغَاءٌ ، أَوْ بَقَرَةً لَهَا خُوَارٌ ، أَوْ شَاةً تَيْعَرُ » . ثُمَّ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى رَأَيْنَا عُفْرَتَىْ إِبْطَيْهِ « أَلاَ هَلْ بَلَّغْتُ » ثَلاَثًا . قَالَ سُفْيَانُ قَصَّهُ عَلَيْنَا الزُّهْرِىُّ . وَزَادَ هِشَامٌ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِى حُمَيْدٍ قَالَ سَمِعَ أُذُنَاىَ وَأَبْصَرَتْهُ عَيْنِى
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam pernah mengangkat salah seorang dari suku Asad sebagai petugas (amil) yang memungut zakat Bani Sulaim. Orang memanggilnya dengan sebutan Ibnu Al-Utabiyah. Ketika ia datang, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam mengaudit hasil zakat yang telah dikumpulkannya. Ia (Ibnu Al-Utabiyah) berkata, “Wahai Rasul, ini untuk Anda dan ini dihadiahkan untuk saya,” Kemudian Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam berkata kepadanya: “Kalau engkau benar, mengapa engkau tidak duduk saja di rumah ayah dan ibumu, sampai hadiah itu mendatangimu?” Lalu Rasulullahh Shallallahu alaihi wa sallam berkhutbah, memanjatkan pujian kepada Allah azza wa jalla , Lalu beliau bersabda: “Aku telah tugaskan seseorang dari kalian sebuah pekerjaan yang Allah azza wa Jalla telah pertanggungjawabkan kepadaku, Lalu ia datang dan berkata: “yang ini harta kalian, sedangkan yang ini hadiah untukku”. Jika dia benar, mengapa ia tidak duduk saja di rumah ayah atau ibunya, kalau benar hadiah itu mendatanginya. Demi Allah, tidaklah salah seorang kalian mengambilnya tanpa hak, melainkan dia bertemu dengan Allah (pada hari kiamat, pen) dengan membawa unta yang bersuara, atau sapi yang melenguh, atau kambing yang mengembik,” lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya hingga nampak ketiaknya, dan berkata: “Ya Allah, aku telah sampaikan,”beliau ucapkan tiga kali. (Abu Humaid As-Sa’idi, perawi hadits ini berkata), “Aku Lihat langsung dengan kedua mataku, dan aku dengar langsung dengan kedua telingaku.” (HR Bukhari VI/2624 no. 6753, dan Muslim III/1463 no. 1832) Hadis ini menunjukkan bahwa hadiah itu datang kepadanya karena jabatan, kedudukan atau tugasnya.
Umar bin Abdul Aziz berkata:
“Hadiah (dengan makna yang sebenarnya, pen) adalah hadiah yang ada di masa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan di zaman kita telah berubah
menjadi suap.”
Sebagaimana yang telah diisyaratkan beberapa
nash Al-Qur’an dan Sunnah Nabawiyah berikut ini:
Firman Allah ta’ala:
وَلا تَأْكُلُوا
أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ
لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالإثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
”Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta
sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah)
kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan
sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa,
padahal kamu mengetahui”(QS
Al Baqarah 188)
Imam
ghazali berpendapat dalam kitabnya baahwa harta terswbut diniatkan karena
tujuan akhirat maka disebut shadakah. Jika diniatkan dengan tujuan dunia berupa
dunia disebut hibah, jika amal tersebut perbuatan haram atau kewajiban tertentu
maka disebut riswah (suap).
Dalam
literatur klasik tidak ditemukan tentang konsep gratifikasi. Yang ada hanyalah
hibah, hadiah, sedekah dan suap (yang diasumsikan sebagai riswah). Namun,
gratifikasi sendiri pada hakikatnya juga merupakan hibah.Sulit menentukan
apakah gratifikasi termasuk suap. Dalam keputusan munas’alimulama NU tahun 2002
bila terjadi kasus seperti ini bahwa boleh memberikan uang kepada orang yang
sudah biasa diberi tapi dalam jumlah kecil dan tidak lebih besar (melebihi) apa
yang diperbuatnya.
Sebagian
ulama membolehkan untuk memberikan hadiah atau uang tambahan kepada pegawai
bawahan yang miskin dan keadaanya sangat memprihatinkan. Sebainya dipisahkan
antara pemberian hadiah karena pekerjaan dan dengan pemberian hadiah karena
faktor lain.
Hadiah—menyitir
pendapat Rawwas Qal’ahjie dalam Mu’jam Lughat al-Fuqaha’ (1996)
adalah
pemberian yang diberikan secara cuma-cuma tanpa imbalan. Hukum asal memberikan
hadiah adalah sunah, berdasarkan hadis Nabi, ”Sebaik-baik sesuatu adalah
hadiah. Jika ia masuk pintu (rumah seseorang), maka yang dia masuki pun pasti
tertawa.”
Namun,
kesunahan tersebut, menurut Syamsuddin al-Sarakhsi dalam kitabnya, Al-Mabsuth
(1993), berlaku jika terkait dengan hak yang tak ada kaitannya dengan salah
satu pekerjaan untuk mengurus masyarakat. Jika orang itu diangkat untuk
menjalankan urusan negara, seperti para hakim dan kepala daerah, dia harus
menolak hadiah, khususnya dari orang yang sebelumnya tak pernah memberikan
hadiah kepadanya. Sebab, cara itu bisa memengaruhi keputusan. Dalam kasus ini,
status hukum hadiah itu adalah bentuk suap (risywah) dan harta haram (suht).
Pasalnya,
hadiah yang diberikan kepada pejabat publik itu merupakan harta yang diberikan
pihak yang berkepentingan (shahib al-mashlahah), bukan sebagai imbalan karena
urusannya terselesaikan, tetapi karena pejabat publik itulah orang yang secara
langsung menyelesaikan urusannya, atau dengan bantuannya urusan tersebut
terselesaikan. Apakah hadiah diberikan karena keinginan untuk menyelesaikan
urusan tertentu, setelah urusan selesai, atau pada saatnya ketika dibutuhkan,
pada konteks ini hadiah kepada pejabat publik tersebut statusnya sama dengan
suap (risywah). Dengan kata lain, jika hadiah datang karena jabatan, hukumnya
haram. Namun, jika hadiah datang bukan karena jabatan, hukumnya halal. Inilah
yang dinyatakan baik oleh al-Sarakhsi maupun mayoritas ulama.
·
Bagaimana dengan gratifikasi yang
diperoleh oleh pegawai atau pejabat publik? Apakah faktanya sama dengan hadiah
dan suap? Ataukah berbeda?
Lalu,
bagaimana dengan gratifikasi yang diperoleh pejabat publik yang merupakan
hadiah dan suap? Sebagaimana definisi yang ada, gratifikasi adalah pemberian
dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, komisi pinjaman tanpa
bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan
cuma-cuma, atau fasilitas lain. Gratifikasi dimaksud bisa saja diterima di
dalam negeri ataupun di luar negeri,= dilakukan dengan menggunakan sarana
elektronik atau tanpa sarana elektronik.
Memang,
status gratifikasi perlu dibedakan. Jika gratifikasi diberikan oleh pemberinya
karena terkait dengan jabatan penerimanya, baik untuk menyelesaikan urusan pada
saat itu maupun pada masa yang akan datang, status gratifikasi itu haram.
Statusnya sama dengan suap. Namun, jika gratifikasi diberikan oleh pemberinya
sama sekali tidak terkait dengan jabatan penerimanya tetapi karena hubungan
kekerabatan atau pertemanan yang lazim saling memberi hadiah, gratifikasi
seperti ini hukumnya halal.
Dalam
fikih ada penegasan, apabila status gratifikasi haram, dilaporkan atau tidak
kepada negara, statusnya tetap haram. Ketentuan fikih ini agaknya berbeda
dengan yang dinyatakan dalam UU No 20 Tahun 2001. Menurut UU ini, setiap
gratifikasi yang diperoleh pegawai negeri atau penyelenggara negara adalah
suap, tetapi ketentuan yang sama tak berlaku jika penerima melaporkan gratifikasi itu ke KPK paling
lambat 30 hari kerja terhitungsejak tanggal gratifikasi diterima. Ketentuan UU
ini tampaknya kalah tegas dibanding pemikiran fikih sehingga dikhawatirkan justru
terkesan melegalkan praktik suap dan hadiah yang diharamkan.
Dalam
fikih terdapat metode yang dinamakan sadd al-dzari’ah, yaitu upaya preventif
agar tak terjadi sesuatu yang menimbulkan dampak negatif. Hukum Islam tidak
hanya mengatur perilaku manusia yang sudah dilakukan, tetapi juga yang belum
dilakukan. Hal ini selajur dengan salah satu tujuan hokum Islam, yakni
mewujudkan kemaslahatan dan menghindari kerusakan (mafsadah). Penekanannya pada
”akibat dari perbuatan” tanpa harus melihat motif dan niat si pelaku. Jika
akibat atau dampak yang terjadi dari suatu perbuatan adalah sesuatu yang
dilarang atau mafsadah, perbuatan itu jelas harus dicegah. Artinya, jika suatu
perbuatan yang belum dilakukan diduga kerasakan menimbulkan kerusakan
(mafsadah), dilaranglah hal-hal yang mengarahkan pada perbuatan itu.
Walhasil,
kita perlu mendukung wacana pengaturan lebih detail terkait gratifikasi seks
dalam UU Tindak Pidana Korupsi. Bahkan, sudah seharusnya hukuman untuk
kejahatan ini lebih berat dari gratifikasi uang atau barang. Alasannya,
gratifikasi seks tak sekadar kejahatan biasa, tetapi juga menyangkut akhlak dan
moralitas. Gratifikasi seks tak sekadar melanggar peraturan perundang-undangan, tetapi juga
hukum keagamaan. Bila pelakunya pejabat, dia sudah tak layak lagi disebut
pejabat dan pemimpin. Uang saja haram, apalagi menyangkut seks. Karena itu,
jika nantinya aturan ini diterbitkan, perlu disertai penyebutan hukuman yang
lebih berat. Tandasnya, perlu ada hukumannya sendiri karena tindakan itu sudah
termasuk dalamkategori zina.
Contoh-contoh kasus yang bisa
digolongkan dalam gratifikasi, antara lain:
1. Pembiayaan kunjungan kerja lembaga legislatif oleh eksekutif, karena hal ini dapat mempengaruhi legislasi dan implementasinya.
2. Cideramata bagi guru (PNS) setelah pembagian rapor/kelulusan.
3. Pungutan liar di jalan raya dan tidak disertai tanda bukti dengan tujuan sumbangan tidak jelas. Oknum yang terlibat bisa jadi dari petugas kepolisian (polantas), retribusi (dinas pendapatan daerah) dan LLAJR.
4. Penyediaan biaya tambahan (fee) 10-20 persen dari nilai proyek.
5. Uang retribusi untuk masuk pelabuhan tanpa tiket yang dilakukan oleh Instansi Pelabuhan, Dinas Perhubungan dan Dinas Pendapatan Daerah.
6. Parsel ponsel canggih keluaran terbaru dari pengusaha kepada pejabat.
7. Hadiah pernikahan untuk keluarga pejabat dari pengusaha.
8. Pengurusan KTP/SIM/Paspor yang “dipercepat” dengan uang tambahan. (Lihat, http://id.wikipedia.org/wiki/Gratifikasi)
1. Pembiayaan kunjungan kerja lembaga legislatif oleh eksekutif, karena hal ini dapat mempengaruhi legislasi dan implementasinya.
2. Cideramata bagi guru (PNS) setelah pembagian rapor/kelulusan.
3. Pungutan liar di jalan raya dan tidak disertai tanda bukti dengan tujuan sumbangan tidak jelas. Oknum yang terlibat bisa jadi dari petugas kepolisian (polantas), retribusi (dinas pendapatan daerah) dan LLAJR.
4. Penyediaan biaya tambahan (fee) 10-20 persen dari nilai proyek.
5. Uang retribusi untuk masuk pelabuhan tanpa tiket yang dilakukan oleh Instansi Pelabuhan, Dinas Perhubungan dan Dinas Pendapatan Daerah.
6. Parsel ponsel canggih keluaran terbaru dari pengusaha kepada pejabat.
7. Hadiah pernikahan untuk keluarga pejabat dari pengusaha.
8. Pengurusan KTP/SIM/Paspor yang “dipercepat” dengan uang tambahan. (Lihat, http://id.wikipedia.org/wiki/Gratifikasi)
Berdasarkan fakta di atas, maka
status atau hukum gratifikasi tersebut harus dibedakan:
1. Jika gratifikasi tersebut diberikan oleh pemberinya karena terkait dengan jabatan penerimanya, baik untuk menyelesaikan urusan pada saat itu maupun pada masa yang akan datang, maka status gratifikasi tersebut haram. Statusnya, sama dengan suap.
2. Jika gratifikasi tersebut diberikan oleh pemberinya, sama sekali tidak terkait dengan jabatan penerimanya, tetapi karena hubungan kekerabatan atau pertemanan, yang lazim saling memberi hadiah, maka gratifikasi seperti ini hukumnya halal.
1. Jika gratifikasi tersebut diberikan oleh pemberinya karena terkait dengan jabatan penerimanya, baik untuk menyelesaikan urusan pada saat itu maupun pada masa yang akan datang, maka status gratifikasi tersebut haram. Statusnya, sama dengan suap.
2. Jika gratifikasi tersebut diberikan oleh pemberinya, sama sekali tidak terkait dengan jabatan penerimanya, tetapi karena hubungan kekerabatan atau pertemanan, yang lazim saling memberi hadiah, maka gratifikasi seperti ini hukumnya halal.
Sekian.
(Mnh)